Pagi itu, suasana desa Srumburejo terasa sangat dingin. Burung-burung pun, enggan meninggalkan sarangnya yang hangat untuk mencari makan. Begitu juga dengan, Roni. Ia yang seharusnya membantu ayahnya bekerja di perternakan milik keluarganya, memilih mendekap tubuhnya dengan selimut tebal.
" Roni, bangun! Sudah siang, kamu tidak membantu ayahmu?" seorang wanita paruh baya, menyeret selimut Roni.
" Roni, ndak mau pergi, Bu. Dingin."
" Suasana memang dingin, tapi cuaca hari ini sangat cerah. Kamu harus membantu ayahmu di kandang sana. Kasian kalau harus mengurus hewan-hewan itu sendirian." Ibu menarik tubuh Roni.
" Ayo, buka matamu! Anak Ibu kok, malas-malasan." Rino keluar kamar langsung memasuki kamar mandi. Sementara itu, ibu menyiapkan sarapan untuk anak satu-satunya.
" Jangan lupa bawakan ayahmu, rumput yang ada di halaman." Kata Ibu. Tak lama, Roni keluar dengan wajah yang masih basah.
" Kamu mandi tidak?"
" Di mana rumput itu, Bu?" Tanya Roni, tak memperdulikan Ibunya yang kesal.
" Kamu jorok sekali, setiap pagi tak mandi."
" Di mana rumputnya?" Tanya Roni lagi, suaranya sedikit meninggi.
" Kamu tak pernah mendengarkan Ibu. Ya sudah, rumputnya ada di halaman, tadi sudah Ibu ikat." Roni melangkah keluar.
" Roni, ini sarapanmu." Roni, pura-pura tak mendengar. Ia bergegas pergi ke perternakan yang tak jauh dari rumahnya. Ibu hanya menggeleng-geleng kepala dan mengelus dadanya.
Di perternakan, Roni dan ayahnya sedang memberi makan kerbau dan sapi yang sudah 13 tahun mereka urus. Perternakan itu cukup luas. Berdiri kokoh di kaki gunung merapi. Sebelumnya, perternakan itu milik kakek Roni, namun diwariskan ke ayahnya. Roni selalu membantu ayahnya di sana, karena dari sinilah dia dan keluarganya bisa hidup bercukupan.
" Roni, tolong bersihkan kandang sapi ini!" Kata ayahnya dari arah belakang kandang. Roni langsung mengerjakannya.
" Roni, kemari sebentar." Kata Ayahnya.
" Ada apa, Ayah?"
" Lihat! Gunung itu mengeluarkan asap-asap hitam." Ayah menunjuk ke gunung teraktif di dunia.
" Gunung merapi sudah aktif kembali." Kata Roni, gemetar.
" Ayah, kita harus segera mengungsi!" Roni menarik tangan Ayahnya.
" Tenang saja, Roni. Gunung itu belum waktunya meletus. Buktinya, beberapa tahun lalu, dikabarkan akan meletus, tapi kenyataannya tidak. Kali ini pun sama seperti itu." Kata Ayahnya.
" Tapi, Ayah. Bagaimana jika sebaliknya? Benar-benar akan meletus." Roni memegang tangan ayahnya, membayangkan gunung merapi memuntahkan isi perutnya yang panas dan meratakan desa Sleman dengan sekejap.
" Roni, jangan banyak bicara. Semua baik-baik saja!" Gentak ayahnya. Roni melepaskan pegangannya dan berlari meninggalkan perternakan. Di sebuah bukit, Roni merenung membayangkan apa yang akan terjadi pada gunung itu. Dari bukit, terlihat jelas gunung merapi sedang mengeluarkan asap hitam. Makin buatnya merinding ketakutan.
" Gunung itu akan meletus. Pasti meletus. Ayah, Ibu, teman-teman, apa yang harus kita lakukan? Kita akan pergi ke mana?" Roni bergumam sendiri.
" Aku harus mempersiapkan semuanya." Roni bangkit dan berlari menuju rumahnya. Di rumah, ia sibuk memasukan semua barang berharganya ke dalam tas besar
YOU ARE READING
Bukan karena Sumpahku
Historia CortaPercaya. Rasa yang dapat menyelamatkan jiwa. Letusan gunung merapi yang meluluhlantahkan sebuah desa. Kengerian dan trauma masih melekat di hati. Kenangan dan rasa pedih campur aduk. Bukan sumpah yang menghancurkan dunia Curiga yang menghalangi ked...