EP4 - H E L E N A

8.6K 495 131
                                    

Aku memandang hujan yang mulai jatuh ke tanah hingga tercium aroma tanah basah yang menenangkan. Aku menyukainya, sangat menyukai hujan. Memang, ada begitu banyak hal yang aku sukai di dunia ini.

Selain hujan, aku juga menyukai es krim, makanan berbahan dasar tepung. Dan seperti manusia normal lainnya, aku juga memiliki ketakutan, yang sama banyaknya dengan kesukaanku.

Aku takut kegelapan, karena itu membuatku sesak napas. Aku takut ruangan sempit, karena tubuhku terasa sulit bergerak, dan itu seperti kematian. Diam-diam, aku juga takut pada badut, hidung merahnya seperti dilapisi darah, membuatku ngeri sekaligus penasaran.

Ah, penasaran .... Aku memang selalu penasaran pada rasa takutku, ada hal lain yang membuat aku selalu saja ingin mencoba lagi dan lagi, mendekati hal itu. Bukan hanya sekali aku membuat diriku sendiri terjebak dalam masalah hanya karena aku terus mengejar ketakutanku.

Ada yang tertinggal dan belum aku sampaikan, lebih tepatnya, aku baru mengetahuinya beberapa jam lalu, sebelum aku duduk di sini memandangi hujan. Sebuah surat pernyataan rapi dalam amplop putih masih kupegang, lalu kuremas kuat.

"Helena, apa yang kau lakukan di situ?"

Aku menoleh dan menemukan wajah bibiku yang memandang dengan bingung. Di pundaknya tersampir kain kotak-kotak.

"Memandangi hujan," jawabku santai. "Toko Bibi sudah tutup?"

Bibi mengangguk. "Bagaimana hasil tesmu?"

"Tidak lolos, Bi. Sepertinya menjadi perawat bukan takdirku," jawabku sambil berusaha tersenyum.

Bibi memandangku dengan khawatir, kemudian membuang wajahnya. "Carilah pekerjaan lain dan berhentilah bersikap realistis. Umurmu sudah nyaris kepala 3, pendidikanmu pun sudah cukup, jika tidak ada pekerjaan yang sesuai dengan bidang pendidikanmu, carilah yang lain, asalkan bisa bekerja."

Tidak ada jawaban dariku, hanya sebuah senyum yang dipaksakan kuberikan untuk Bibi.

"Tolong bantu Bibi rapikan piring di bawah, Helena," perintahnya sambil berjalan meninggalkanku.

Aku menghela napas, tinggal bersama Bibi memang berat. Ia begitu keras menuntutku agar segera bekerja. Ya memang bukan hal aneh, tapi aku hanya ingin bekerja sebagai seorang perawat, sesuai dengan bidang pendidikanku.

Masalahnya adalah, hasil tes di tanganku ini menghalangi bahkan menghancurkan mimpiku menjadi serpihan kecil dan abu. Aku dinyatakan terkena phobophile. Masih teringat dengan jelas di ingatanku saat psikiatri tadi mengatakan semuanya.

"Berdasarkan hasil tes, Anda didiagnosa memiliki masalah pada emosi," katanya sambil memandangku dengan senyum dan sedikit simpati.

"Apa, Dok?"

"Anda terkena phobophile, atau phobophilia. Itu adalah kondisi di mana Anda tergila-gila atau sangat menyukai sesuatu yang membuat Anda merasa takut. Anda cenderung menyukai sensasi dari ketakutan Anda."

"A—apa itu berbahaya?"

Dokter itu mengangguk. "Tergantung bagaimana Anda menjalaninya. Apa Anda cukup mampu menangani itu, atau malah akan terjebak dengan itu semua?"

"Kalau itu tidak berbahaya, berarti saya masih mampu mengikuti tes selanjutnya untuk menjadi perawat?"

"Sayangnya ... perawat di sini tidak boleh memiliki masalah emosi seperti itu, Nona. Emosi mereka harus sangat stabil, dan sebenarnya kondisi Anda bisa saja membahayakan diri Anda saat ini," jelas psikiatri itu.

"Maksudnya?"

"Bayangkan begini, Anda takut pada ketinggian, tapi Anda menyukai sensasi dari rasa takut yang Anda alami sehingga Anda cenderung mendekati gedung tinggi untuk mendapatkan sensasi itu. Bisa Anda bayangkan?"

Aku mengangguk. "Mungkin saja aku akan jatuh dari gedung tinggi karena terlalu sibuk dengan euforia sesaat dari ketakutanku, begitu bukan?"

Dokter itu mengangguk. "Saya hanya bisa menyarankan Anda untuk mengunjungi psikiatri di rumah sakit lain untuk perawatan lebih lanjutnya."

Air mata menetes dari sudut mataku ketika mengingat semua itu. Kelainan sialan ini, aku benar-benar tidak mengerti apa yang menyebabkanku selalu terjebak dengan kondisi sulit.

Aku bangkit dan meremas kuat amplop putih itu, lalu berjalan menuju toko Bibi di bawah. Aku masih harus menyelesaikan tugasku lebih dulu.

※※※

"Helena!"

Aku terbangun ketika kurasakan basah pada wajah dan sebagian bajuku. Cepat, kuusap wajah dan berdiri sambil memeluk lengan.

"Bibi! Ada apa? Kenapa menyiramku begini?"

"Pergi kau dari sini! Aku tidak ingin melihatmu lagi, sungguh. Aku sangat menyesal membesarkan seorang anak pesakitan sepertimu!"

Kalimatnya membuatku terdiam. Sangat menyakitkan mendengar kalimat itu dari orang yang mengenalmu pulihan tahun, bukan?

"Apa maksud penyakit menjijikanmu itu?" tanya Bibi sambil melempar amplop putih yang sudah berantakan itu. "Aku tidak membesarkan pesakitan sepertimu! Pergi!"

"Bi, aku bisa menjelaskan semuanya," kataku sambil mengiba. "Semua itu terjadi tanpa aku ketahui."

"Sia-sia aku membiayaimu dari kecil! Bahkan setelah ayah sialanmu membuangmu ke sini tanpa memberiku sepeser uang pun, aku tetap menjaga dan mengurusmu! Tapi apa yang kau lakukan sekarang? Penyakitan!"

Perkataan Bibi benar-benar membuatku sakit hati. Aku takut, sungguh. Namun, aku juga merasa begitu bersemangat saat ini. Sialan, penyakit ini, aku mulai menyadari bagaimana ia bekerja.

"Pergi! Aku sudah menelepon rumah sakit jiwa khusus dan mereka akan datang sebentar lagi! Aku tidak ingin melihat wajah menjijikanmu lagi! Pergi selamanya dan jangan pernah sekalipun kamu berani kembali!"

Sudah cukup. Aku beranjak menjauh dan mengambil tas di dalam lemari. Kumasukkan beberapa baju sambil terus berusaha menutup telinga dan menulikan diri dari hujatan Bibi yang terus menerus terdengar.

Tidak lama kemudian, aku merasa derap langkah terdengar dan sesuatu mencengkeram tubuhku. Saat itu ekor mataku melihat sebuah suntikan terarah padaku.

"Tidur nyenyak, Helena."

Dan perlahan tubuhku lemas, pandanganku gelap, lalu semuanya memudar. Aku jatuh tertidur. Dan kali itu aku berharap tidak lagi perlu terbangun.

※※※

"Nona Helena, selamat datang di rumah perawatan kami. Saya Suster Mega akan membantu Anda untuk segera sembuh dan kembali ke kehidupan normal."

Seorang suster tersenyum ramah di depan wajahku saat aku membuka mata dan mengernyit heran. Masih teringat jelas bagaimana perlakuan bibiku tadi malam, dan hatiku sangat sakit.

"Di mana ini?"

"Rumah perawatan PS. Anda akan menjalani terapi bersama Dokter Rega," kata suster itu lagi.

"Aku ingin pulang."

"Belum bisa, Nona. Tenanglah di sini, hidup Anda akan baik-baik saja."

Aku hanya membuang wajah ke samping. Tidak ada yang lebih baik sekarang. Aku dibuang, dan rumah perawatan ini adalah tempat sampah yang pantas untukku.

※※※

Labirin Memoir [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang