Terimakasih, Mas!

161 12 4
                                    

Seharusnya aku sudah menduga saat sekali malam, sebelum tidur, dia pernah berkata.

"Dek, ada pengajar Tahfiz baru di pondok. Namanya Ruliana Sari. Mas pernah sekali ngga sengaja denger dia ngaji. Bagus bener loh dek."

Aku anggap lalu ceritanya malam itu. Karena kami memang terbiasa bertukar cerita tentang kegiatannya di pondok Tahfiz miliknya. Jadi komentar yang ku beri hanyalah,

"Alhamdulillah kalau gitu Mas. Semoga ngajarnya juga sebagus ngajinya ya."

Dia menoleh padaku, menampakkan senyum yang selalu menjadi kesukaan ku. Lalu bergumam "Aamiin".

Mestinya aku juga sudah menyadari. Saat selepas sholat Isya di hari Senin, dia pulang dan menolak makan malam.

"Tadi Mas ikut buka puasa bersama di pondok dek. Mas udah kenyang."

Padahal saat itu yang satu ini cukup membuatku heran. Tidak biasanya dia makan berat saat buka puasa di pondok. Biasanya dia hanya memakan kurma dan minum air putih lalu makan di rumah setelah dia pulang selepas Isya. Keheranan yang cukup mengganggu hingga aku bertanya, "Loh, makan kurma bisa kenyang Mas? Bukannya biasa makan di rumah bareng?"

Dia tersenyum. Mengelus kepala ku seperti permohonan maaf karena tidak bisa makan bersama. "Tadi Ruli kasih kita semua nasi kuning dek. Katanya syukuran ibunya yang baru sembuh dari operasi."

"Ya sudah Mas. Aku makan berdua Nilam aja."

"Maaf ya dek. Mestinya mas kirim pesan jadi kamu ngga nungguin. Udah laper ya?"

Aku menggeleng maklum "Ngga apalah Mas."

Dan sepantasnya aku mulai merasa cemas saat suatu siang dia menelepon dengan nada sedikit panik sambil berkata,

"Dek, Mas mau berangkat keluar kota sama beberapa pengajar yang lain. Kakek Ruli meninggal. Dia panik dari tadi, jadi Mas dan yang lain ikut melayat. Mas kurang tau bisa pulang hari ini atau enggak."

Dan kali itu mendengar suara paniknya, aku ikut panik dan berpesan agar dia hati-hati sambil berdoa untuknya semoga selamat dalam perjalanan.

Lalu di sinilah aku sekarang. Duduk terdiam di ranjang kamar, di rumah orang tua ku. Mulai meresapi bahwa selama ini aku sudah melihat tanda, namun aku abaikan.

Nilam sudah tertidur nyenyak di samping ku, mungkin karena lelah menangis seharian.

Ku elus surai rambut anak ku satu-satunya itu. Sejak tadi aku tidak menangis, tapi membelai wajah tidur Nilam membuat tangis ku pecah.

Ingatanku terlempar pada kejadian tiga jam yang lalu. Saat aku dan dia berbicara di ruang tamu.

Aku bingung kenapa dia memilih ruang tamu untuk berbincang saat biasa kami melakukannya sambil berbaring di kamar. Kini aku tau alasannya, karena Nilam sedang tidur disana dan dia tidak bisa menduga bagaimana reaksi ku atas obrolan ini.

Aku sudah merasakan perasaan tidak enak saat dia bilang ingin berbicara di ruang tamu. Tanpa ku minta, resah menyelimuti ku.

"Dek, kamu ingat Ruli?" Katanya mengawali.

"Ingat Mas." Aku menjawab sekenanya.

"Mas mohon ampun kalau ini menyakitkan Dek. Tapi Mas nggak tau lagi jalan yang lebih baik dari ini."

Aku menekan degub jantung ku, diam tidak menyela. Aku tau dia belum selesai.

"Ruli... Entah sejak kapan, tapi tiba-tiba keberadaannya mempengaruhi Mas. Semakin hari Mas semakin ingin memperhatikan dia. Akhir-akhir ini Mas bahkan sulit mengalihkan pandangan dari dia Dek. Mas takut semakin lama Mas semakin mendekati zina."

Terimakasih, Mas!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang