Aku telah hidup sendiri dan mandiri cukup lama. Orang tuaku telah tiada, kemudian diasuh oleh pamanku, namun akhirnya ia pergi entah kemana rimbanya. Aku sendirian hanya dengan ilmu yang terus kuselami di lembaran-lembaran buku yang tebal dan membosankan. Tak ada satupun pengalaman, hidupku datar. Hanya tinggal di rumah seluas lapangan futsal dan hanya bertetangga satu orang saja. Sekelilingku hanya padang rumput.
Selama hari-hari aku menyendiri selalu penuh harapan. Apa yang kuharapkan? Sesuatu yang baru, pengalaman yang lebih dari sekadar di baris tulisan, pemandangan indah yang selalu menyegarkan mata. Menyendiri di dalam rumah yang jauh dari keramaian tidak menjadikan diriku damai, tetapi lebih kesepian dan membosankan. Aku ingin pergi, mencari diriku yang sebenarnya. Kemudian bersinar, itulah yang kuharapkan sejak lama. Dunia menungguku bersinar, tetapi ikatan tali keterbatasan mengikat erat diriku.
Aku selalu bermimpi, pintu kesempatan terbuka lebar, semua menyambutku dengan ramah. Ikatan tali pada diriku akan terlepas dan membayangkan suatu ketika jika tak ada rintangan satupun dan dunia akan menjadi milikku. Aku ingin merasakan semuanya. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk pergi dari lembah keterbatasanku, menuju puncak bersinarku dan melihat dunia dengan jelas, serta menemukan siapa diriku sebenarnya. Aku melakukan hal ini karena aku ingin memberanikan diri, menatap cakrawala yang tiada habisnya. Maka, dari hal itu aku tersenyum bahagia dan serasa terbang di angkasa.
Kutempuh perjalanan mencari diriku hingga nanti berhasil. Banyak jalan yang harus aku lewati, setiap persimpangan, tanjakan, turunan, kelokan, dan semua bentuk jalan. Setapak, becek, beraspal, berbatu semuanya kutempuh dengan satu tujuan. Aku tidak menginginkan jalan yang menuju tujuan lain. Tak jarang juga kutemui orang lain yang memiliki latar belakang yang sama denganku. Dua orang teman, berangkat dengan penuh harapan.
"Halo, kawan. Tampaknya kau ingin melakukan ekspedisi diri yang panjang," kalimat kali pertamanya, Ade, menanyakan padaku. Aku menjawab "Iya, kau ingin bergabung? Silahkan." Ia pun bergabung. Kemudian, Dane, ia bergabung dengan kami setelah menolongnya karena berjalan sempoyongan menyusuri jalan becek. Senyumnya manis dan bahagia, karena ia menemukan orang yang tepat.Kami bertiga berangkat dan menemukan banyak petualangan yang baru, serta ada di sekitar kami. Kami menerapkan apa yang ada di teori-teori yang kami pelajari, sehingga membentuk sebuah realisasi yang menunjang petualangan kami lebih berwarna dan bermakna. Dari teori itu, kami memecahkan banyak misteri yang tak dapat kami lupakan seumur hidup kami. Sebenarnya masih banyak yang harus kami lihat, lakukan, dan kami jadikan sebagai pengisi hidup. Kami tidak ingin semuanya berakhir dan berhenti begitu saja.
Selama perjalanan, tak sedikit kami melihat orang-orang dalam kesulitan. Kami menolongnya, terkadang sampai merelakan barang kami untuk orang tersebut. Tetapi kami ikhlas memberinya, tak lupa senyuman pun kami berikan pula. Kami bertiga selalu kompak, sama-sama menerjang derasnya hujan, melawan teriknya matahari. Tetapi kami tahu batasan kami untuk beristirahat.
Cukup lama kami mengembara dari kampung halaman, dan sekarang kami di pusat khalayak ramai, yaitu kota. Kami menemukan penemuan-penemuan yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Aku tepukau dengan segala yang ada disana, begitu pula Ade dan Dane. Tapi, kami tak berhenti di kota, kami harus meneruskan perjalanan. Yaitu ke puncak bukit, menyaksikan cakrawala, apapun keadaan kami.
Aku bertanya pada orang yang ada disekitar itu. Ia tampaknya berumuran 40 tahunan.
"Permisi, tuan. Anda mengetahui kemana arah bukit ini?" kataku sambil menunjukkan gambar bukit indah yang kusimpan sejak lama.
"Banyak yang bilang bahwa bukit ini bisa ditempuh melalui kota ini," kata Dane.
"Berjalanlah menuju Utara, temukan tujuanmu disana," kata orang itu. Aku tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih. Akhirnya, tujuan kami akan tercapai.
Kami berjalan terus ke utara. Dengan alat seadanya, tanpa ponsel. Hanya kompas dan barang-barang di punggung kami, kami menyusuri kota yang begitu padatnya. Baru setengah jalan, rintangan terbesar menghalangi kami. Sekelompok pencuri mencuri barang-barang kami, termasuk kompas kami. Kami mengejar kelompok pencuri itu. Namun hasilnya, kami hanya mendapat separuhnya. Tersisa buku-buu catatan kami, foto, peta lama, gelas aluminium, beberapa makanan dan sebotol besar air putih. Uang tabungan yang sangat sedikit hilang begitu saja. Tapi kami tak menyerah. Kami terus berjalan dengan barang seadanya, tanpa kompas. Setiap kami menemui orang di jalan, kami bertanya kemana arah Utara.
Sejak pagi menyusuri kota, kami hampir sampai di dasar bukit saat petang. Kami lelah, lapar, dan berkeringat. Sudah lima hari kami mengembara dan ini adalah puncaknya. Dan akhirnya, aku akan mendapatkan apa yang kuharapkan. Aku mengajak dan memompa semagat mereka untuk berlari ke puncak bukit. Tertatih-tatih, hingga terpeleset, kami tidak apa-apa, terus berjalan dan tidak mempedulikan luka kami.
Akhirnya kami sampai di puncak, kami benar-benar melihat cakrawala, walau sudah tenggelam. Kami tak kecewa, kami berhasil.
"Indah," sepatah kata dari Ade.
"Jadi.... inilah diri kita?" kata Dane. Aku membuka catatan kecilku, dan melihat tulisan dari kata-kata motivasi ayahku saat ia masih ada.
Apa yang kau lakukan sebelum mencapai tujuan, itulah dirimu. Sikap, proses, pemikiran, harapan, langkah, ketekadan, dan keberanianmu adalah yang membentuk dirimu.
Aku merenung dan melihat cakrawala itu. Aku memahami maksudnya. Seketika angin menggoyangkan rumput dan dedaunan, seakan mereka menyambut kehadiran kami. Burung-burung terbang menuju arah cahaya, seakan mereka memberikan kami ucapan selamat.
"Sebenarnya.... kita telah menemukan diri kita sebelum sampai di sini," kataku. Dane dan Ade heran. "Kita sebenarnya berani, pantang menyerah, selalu semangat, selalu ingin tahu, peduli dengan orang lain, penuh kasih sayang, rela berkorban, ikhlas, dan pandai. Kita telah menemukan jawaban dari pertanyaan diri kita sebelum sampai di bukit ini. Kita bertekad menemukan diri kita, dan sekarang kita telah menemukannya walau tanpa disadari," sambungku. Mereka mengangguk.
"Walau dari sebaris tulisan..." kata Dane.
"Jika penuh tekad untuk melakukannya...." sambung Ade.
"Kita temui hasilnya dan akan terasa luar biasa akhirnya." Tuturku. Kami saling berangkulan dan tersenyum bahagia menatap cakrawala yang meninggalkan siangnya menuju malam yang berkilauan. (*cbf)
Dasar lagu : Wind in My Hair, Mandy Moore – Tangled the Series
Cerpen ini dibuat berdasarkan lirik lagu yang digunakan sebagai alur cerita
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Pena dan Kebahasaan
De TodoHanya berisi sebuah kumpulan cerpen-cerpen buatan saya (Antologi cerpen) yang mungkin bisa digunakan sebagai referensi, inspirasi, atau sekedar dibaca saja. Bila ada kesalahan penulisan kaidah kebahasaan, mohon beri komentar yang baik. Salam Novelis...