start

734 65 8
                                    

disclaimer: tidak ada keuntungan finansial yang diambil dari pembuatan karya ini, yang dibuat untuk kepentingan hiburan semata.

.

.

Wendy keluar dari gedung itu dengan senyuman puas pada wajahnya. Ia memeluk amplop cokelat itu erat-erat, lalu memasuki mobilnya sambil bernyanyi-nyanyi riang.

Tujuannya berikutnya adalah sebuah cat café di sudut kota. Tempat yang menjadi favoritnya setelah ia menemukannya tiga bulan lalu. Sebelumnya sudah ada tempat serupa, tetapi ia kurang suka makanannya. Yang sekarang makanannya jauh lebih lezat, dan tentu saja, kucing-kucingnya.

Perempuan itu menuju salah satu ruang sesuai janji. Ruang itu biasanya untuk reservasi khusus, tetapi hanya tertutup tirai tipis agar kucing-kucing dalam kafe bisa bebas keluar-masuk. Ruang itu bercat biru muda, ada jendela kecil yang berbingkai putih. Di dalamnya ada meja rendah yang muat untuk empat orang.

Dari luar Wendy sudah mencium aroma olahan daging favoritnya. Di dalam, pesanannya baru saja disajikan oleh pelayan. Pelayan itu menunduk padanya dan segera pergi.

"Hey."

"Tepat sekali. Dagingnya sudah hampir masak"

Wendy meletakkan amplopnya di sudut meja dekat dinding. Lawan bicaranya langsung melirik benda itu, turut tersenyum sama seperti Wendy. "Mulus?"

"Lancar!" Wendy membentuk gestur OK dengan jarinya. Seekor kucing melompat ke pangkuannya. Di lehernya ada kalung dan lempengan logam bertuliskan 'Louis', kucing favorit Wendy, Wendy bahkan punya panggilan khusus, 'Lou'. "Sekarang, kau mau bergabung, Chanyeol-oppa?"

Chanyeol tertawa renyah. Dia mengulurkan tangan di atas meja, Wendy menyambut jabatan tangannya sambil tertawa pula. Mereka menggoyangkan tangan mereka seperti sedang bermain-main. Wendy betah sekali menatap lelaki itu lama-lama, semakin lama dia terlihat semakin matang saja, apalagi sekarang ia memelihara rambut pendeknya.

"Kita mulai dari mana?" Chanyeol mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabar.

"Dengan ini." Wendy menunjuk seluruh makanan yang telah mereka pesan. "Makan dulu, baru bisnis."

Chanyeol tergelak. Wendy mengapresiasi sekali tawa itu.

. . .

"Dan ini, hyung, inilah La Boca!" Kai memutar ponselnya agar Chanyeol bisa melihat apa yang ada di sekelilingnya, hampir 360 derajat. "Di sana—"

"Iya, iya, tahu, kau sudah mengatakannya tiga kali," Chanyeol mendekati layar ponselnya sehingga wajahnya terlihat penuh di sisi Kai, "hei, sebentar, apakah itu Seulgi?" Ia menunjuk-nunjuk dengan tidak sabar ke bagian belakang Kai, di sana ada Seulgi yang berlari ke arah lelaki itu lalu mengejek Kai dari belakang, dengan jarak yang agak jauh. "Kenapa dia bisa ada di sana?"

"Lupa, ya, dia juga pergi belajar di Amerika Latin?"

"Seingatku kau cuma pergi sendiri, Jongin-ah. Mencurigakan."

"Aku memang sendiri di Argentina, dia di Puerto Rico."

"Lalu kenapa dia juga ada di Buenos Aires?"

"Teman lama membuat janji di kota orang, apakah itu hal yang tidak pernah ada?"

Chanyeol sengaja batuk-batuk. "Sudahlah. Apa kau menemukan apa yang kuminta?"

"Aman, sudah kutaruh di koper. Sekarang, mau kuceritakan soal air terjun Iguazú atau—"

light on meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang