project

256 50 3
                                    

Di apartemennya, Wendy punya satu walk-in-closet yang diubah menjadi sebuah perpustakaan kecil. Pakaian-pakaiannya tak sebanyak itu untuk disimpan di dalam ruang khusus hingga penuh, sehingga baginya lemari di kamar pun cukup.

Chanyeol sering menyusup masuk ke bagian itu, meminjam beberapa buku, entah untuk dibaca di tempat atau dibawa pulang. Wendy biasanya hafal letak buku-bukunya sehingga ia tahu kapan Chanyeol meminjam diam-diam atau terlambat mengembalikan.

Hari ini, Chanyeol mendapati sebuah bagian baru di rak Wendy. Buku-buku itu tidak terlihat baru, tetapi ia yakin ia baru melihatnya sekarang. Diambilnya salah satu.

Seperti biasa, buku milik Wendy hampir seluruhnya berbahasa Inggris. Chanyeol jadi sedikit terbiasa membaca literatur berbahasa itu karena sering mengintip koleksi Wendy. Buku itu berisi tentang teater, penampilan panggung, drama, tragedi, Chanyeol pun meletakkannya kembali. Bukan sesuatu yang sering ia nikmati.

"Wah, aku bahkan belum baca yang itu." Wendy tiba-tiba datang, menaruh sebuah buku di sudut yang berbeda dengan Chanyeol.

"Teater. Bukan favoritku. Aku juga tidak membacanya. Cuma melihat-lihat sekilas."

"Aku membeli dari toko buku bekas. Satu bundel begitu dapat harga sepertiga dari aslinya."

"Kau suka teater?"

"Bukan suka, hanya sedang tertarik." Wendy pun menghadap Chanyeol, memeluk sebuah buku tentang mitologi, buku tua yang bersampul plastik yang pernah Chanyeol pinjam sekali tetapi langsung ia kembalikan karena dua paragraf saja sudah membuatnya mengantuk. Bahasanya berat sekali. "Mau pinjam yang mana hari ini?"

Chanyeol mengangkat bahu. "Hanya melihat-lihat. Aku cuma mau mengantarkan demo tadi, sebenarnya."

"Hmmm, baik. Kutinggal, ya. Kalau kau berubah pikiran, ambil saja satu. Kembalikan minggu depan juga tidak apa-apa."

Chanyeol pun menyeletuk, ketika Wendy sudah keluar dari lorong kecil itu, "Tumben baik."

"Hei!" Wendy menengok kembali lewat tembok. "Aku tidak sepelit yang kaukira!"

Chanyeol tergelak nyaring, kemudian ia mengambil sebuah buku berisi karya-karya Hans Christian Andersen.

. . .

"Setelah dipikir-pikir ...." Seulgi memandangi sekelilingnya. Bandara tidak terlalu sibuk pagi itu. "Aku sudah rindu tempat ini. Dan Puerto Rico."

"Kita akan kembali ke rumah, Seulgi-ah."

"Ya, tapi ... tapi rasanya berbeda. Kapan kita akan kembali ke sini lagi? Ini bukan tempat yang bisa kita kunjungi setiap hari. Seoul adalah rumah, yang kita miliki setiap hari. Tempat ini?"

Kai menggeleng-geleng sembari tertawa kecil. "Kau merindukan tempat ini karena kau datang ke sini untuk berlibur, bersenang-senang, belajar sambil menekuni hobi. Tapi, coba saja kau tinggal di sini untuk bekerja, rutinitas yang padat ... rasanya akan berbeda."

Seulgi tersenyum hambar. "Kurasa memang begitu. Kau benar juga."

Kai bersandar di kursi sambil menyelonjorkan kakinya lurus-lurus. "Aku ingin bercerita sesuatu, tetapi selebihnya, tolong jangan penasaran."

"Soal apa ini?"

"Seungwan dan Chanyeol-hyung punya satu rencana."

"Mereka berdua?"

"Lebih tepatnya Seungwan." Kai duduk tegak kembali. "Dia tidak cerita padamu?"

"Aku tahu dia punya kontrak khusus dengan perusahaan yang memberikannya privilese untuk suatu hal yang masih dia rahasiakan. Memangnya dia sudah memberi tahumu?"

light on meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang