Altingia excelsa

24 5 1
                                    

"Ujian adalah bahasa Tuhan dalam menyatakan cinta"

- - -

"Nanti saya akan berlangganan tiap bulannya, kabari saja jika ada yang baru"

"Ok kawan, ditinggal dulu, senang berbisnis denganmu"

Jingga lalu pergi dengan Honda "pitungnya", setelah delapan kali diengkol. Pencapaian yang cukup apik hari ini, mengingat biasanya paling tidak perlu sepuluh terjangan kaki penuh sabar, yang amat kontradiksi dengan wajah kesal simbah keringat, kombinasi yang mengagumkan sekaligus bipolar demi menghidupkan motor kesayangannya ini, motor pabrikan tahun 1980-an dan merupakan cikal bakal motor bebek di Indonesia, aih legenda hidup. Sepuluh tahun mengenal bukanlah waktu yang singkat untuk menjadi akrab apalagi jika pertemanan yang didasarkan atas persamaan rasa sakit, kembar kecewa, sepenanggungan nasib dan rasa tolong-menolong level menengah ke atas. Bahkan cenderung nepotisme. Seumpama buah mentah yang terasa pahit getir, menuju mengkal menjadi masam, lalu teramat manis setelah ranum. Waktu membawa semua menjadi indah. Kiranya begitukah?

"Kau membeli buku lagi, bukumu kan sudah banyak"

"Iya Bu, seperti biasa dari Jingga"

"Dia tadi kesini? kenapa tak kau ajak masuk, sudah lama rasanya dia tak bermain kesini"

"Dia tak mau, mungkin sibuk dengan kios bukunya"

Ibu-ibu gendut itu kembali melanjutkan rajutan double knitt, setelah berkata

"Oh ya sudahlah"

Di kamar 3 kali 4 meter ini, yang lebih mirip perpustakaan balai kota skala kecil. Tampak tak kurang ratusan buku berjajar rapi di rak kayu yang memanjang pada dinding, Bak kereta kertas yang mengarungi lintasan Trans-Siberian Railway yang sesekali dihadang monster cecak berahi tinggi, bersiap melumat apapun didepannya, tak senonoh. Belasan poster foto berbagai ukuran, hitam-putih, warna-warni, terang-terangan gelap, motif bunga lili, aih itu gorden jendela. Ikut meramaikan. Nampaknya terpampang Chairil Anwar, Nagoib Mahfouz, Charles Dickens, Jalaluddin Rumi, Edgar Allan Poe, Pramoedya Anata Toer, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Coulzoum Bachri, Wiji Thukul, Joko Pinurbo dan aih satu lagi, foto siapa itu?, tak pernah lihat, tak terkenal, beberapa orang mengerikan berwajah tambun bulat pipi gembil macam bakso gajih bernyawa. Oh!, foto keluarga nampaknya. Beberapa poster foto penulis prominem itu lengkap dengan kata-kata bijak mereka. Sementara di atas ranjang mata tajam lelaki gondrong berkaus terakota itu nyalang pada sebuah buku berjudul "The Crying of Lot 49", buku berjudul rumit yang baru didapat dari kawannya, tentu dengan harga murah.
                             - - -

Salah satu pagi buta di kota yang secara morfologi berbentuk mangkuk raksasa. Bandung, kota yang mempunyai gaya gravitasi eksotis di dalam pesona otonomi keindahannya. Di kota ini pula dingin berlaku tidak tahu diri, dibuatnya sebagian mata-mata makhluk hidup terutama umat manusia, kawanan bengkarung dan burung limbuk masih membeku kala fajar termaktub di cakrawala. Namun, berbeda dengan Jingga, selepas shalat shubuh, tepatnya kala matahari meninggi seukuran batang tombak di lingkup horizon atau menurut perhitungan waktu kalender masjid Al-Ikhlas adalah waktu isyraq. Ia sudah sibuk terjaga penuh membereskan lapak dagangannya. Bagai air mata jatuh ke perut, semua kesedihan, pilu, kalut, gundah, nestapa, tekanan batin harus bisa segera reda. Bagi Jingga dalam menghadapi hidup bukan dengan cara diam apalagi menoleh ke belakang, apa mau dikata kehidupan terus berjalan, dan itu kedepan. Jingga merupakan keturunan Tionghoa peranakan. Menurut cerita ayahnya. Nenek moyang Jingga adalah tentara laut Khubilaikan (Jhengiskan) etnis Tionghoa yang melakukan perjalanan ekspedisi dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaan, armada ini sempat  berlabuh di sebuah pantai bernama Loa Sam, sekarang disebut pantai Lasem, dan akhirnya mendarat di tempat bernama Sam Toa Lang Yang, kemudian hari bernama Semarang. Elok Keindahan dan kekayaan Indonesia saat itu membuat armada tentara ini jatuh cinta, bahkan beberapa memilih menetap dan menikahi orang asli pribumi, termasuk nenek moyangnya. Mungkin hal inilah yang membuat ia menuruni sifat kuat dan militan dari nenek moyangnya yang seorang serdadu lautan, sekaligus kepandaiannya berdagang, sebagai rumpun Tionghoa.
Hari tengah mengarah pagi. Pemandangan pusat kota. Jalanan aspal becek berlubang mulai dilintasi sepeda anak-anak sekolah, becak berisi ibu-ibu cerewet mengarah ke dunia pasar. Kuli kasar, kuli lembut, pegawai negeri, pekerja kantoran, polisi Republik Indonesia, polisi Pamong Praja, polisi tidur, pegawai PDAM, bencong, bukankah mereka biasanya keluar malam?, mungkin persediaannya bedaknya habis, dan harus membelinya, gerobak bakso, gerobak cilok, tukang air, tukang parkir, tukang todong, tukang colong, mulai berhamburan, seolah sudah menjadi hukum alam tiap pagi mereka melakukan aktivitasnya bersama dalam keteraturan dan probabilitas yang itu-itu jua. Membosankan. Tanpa disadari, mobil pribadi, mobil dinas, mobil perusahaan, mobil PDAM, mobil sedot tinja, mobil bodong, telah tumpat memadati jalan, ditambah berbagai jenis motor, motor bebek, motor sport, motor matic, motor limbung, motor parkir, salip menyalip tak sabaran, jual beli bunyi klakson, berkecamuk bising. Memberikan irama riuh bertalu-talu yang identik dengan kesan macet. Seumpama Ibu kota negara. Jakarta misalnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 02, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pada Halaman Terakhir Buku Ini & Setelah Itu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang