Hidup di Bawah Matahari

215 4 4
                                    

*) Catatan: Kisah ini merupakan fiksi belaka, walaupun beberapa hal seperti latar belakang tempat, waktu, nama tokoh merupakan fakta. Penggunaan Bahasa Belanda dan Bahasa Jawa dimaksudkan untuk lebih merealisasi cerita di tahun 1935, dan catatan kaki ada di tiap chapter untuk memudahkan pengartian. Mohon dikoreksi apabila terdapat kesalahan penggunaan Bahasa Belanda maupun penempatan sejarah. Selamat membaca.

HIDUP DI BAWAH MATAHARI

          Heriet melirik arlojinya. Pukul 06.45, artinya ia harus segera bergegas. Ia merapikan kembali setelannya, dan segera masuk ke Mercedes-Benz 170V yang sudah menunggunya di depan rumah.

           “Sudah siap Heriet?” tanya ayahnya di sampingnya. Ia membalasnya dengan anggukan dan sedikit senyuman. Sebenarnya, ia kurang menyukai kota ini, kota Semarang. Ia terpaksa harus pindah dari Den Haag untuk mengikuti ayahnya untuk melakukan penelitiannya disini.

            Ia melemparkan pandangannya keluar. Tidak ada yang bagus, hanya banyak pejalan kaki yang berlalu-lalang. Gedung-gedungnya juga tidak menarik, Batavia lebih bagus, batinnya. Dua bulan keluarganya tinggal di Batavia untuk mengurus masalah administrasi, sebelum pindah ke Semarang.

            Dan yang paling membuatnya tidak betah untuk tinggal di kota ini adalah, udaranya yang panas menyengat. Lebih panas daripada Batavia, apalagi Den Haag. Serasa hidup tepat di bawah matahari.

            Mercedez-Benz 170V berhenti di depan pagar Hogere Burger School. Akhirnya sampai juga. Heriet dan ayahnya menuju ruangan kepala sekolah. Bangunannya sangat megah, bergaya art deco, menurutnya sangat tidak cocok untuk dijadikan sekolah. Lebih baik dijadikan gedung pertunjukan, atau hotel, kota ini akan tambah semakin menarik.

            “Meneer1) Janssen, dan ini pasti Henrietta Janssen,” pria dengan kumis yang sangat panjang, yang sebetulnya menambah suasana kusam dengan setelan jas coklat abu-abu yang ia pakai saat ini. Edwin De Bruin, begitulah nama yang tertera di meja kerjanya yang terlihat sangat tertata.

            Setelah mengurus berbagai keperluan sekolah, Meneer Janssen beranjak pergi.Heriet kemudian diantar oleh Kepala Sekolah menuju ruang kelas. Ada sekitar 20 orang, dan ia mulai memperkenalkan diri.

            “Hallo, ik ben2)Henrietta Janssen. Bel mij3)Heriet. Saya dari Den Haag.”

            Seisi kelas terdiam. Ia tak tahu apa yang ada di pikiran mereka, apakah tertegun mendengar kalimatnya yang terakhir itu, atau merasa tak tertarik dengan murid baru. Ibu guru menyuruh Heriet untuk duduk di kursi yang kosong di samping gadis  berambut sebahu. Gadis itu tampak diam saja, memandang ke luar jendela, lalu menoleh ke arah Heriet.

            “Jadi, kamu dari Den Haag, ya?” Wajahnya yang bulat menatap Heriet. Sebelum Heriet mencoba menjawab, ia langsung memotongnya. ”Sebetulnya disini sangat jarang anak yang asli berasal dari Belanda, kebanyakan yang disini adalah orang Belanda yang lahir disini.”

            “Ayahku kebetulan peneliti, jadi keluarga kami pindah disini.”

            Heriet memandang gadis di hadapannya lekat-lekat. Ia tampak berantakan sekali, dari pakaiannya, caranya berbicara, bahasa tubuhnya, namun di dalam dirinya terpancar aura seperti ‘aku wanita yang kuat’ atau ‘mental baja’ dan sebagainya.

            “Penampilanmu yang tampak biasa walau berasal dari Belanda.” Heriet tak bisa menyimpan keterkejutannya. Ia sangat blak-blakan. Bahkan ia tampak tak bersalah setelah mengucapkan kata-kata itu. Heriet menenangkan dirinya bahwa Semarang jauh berbeda dengan Belanda, orang-orangnya, budayanya, dan Heriet membalasnya dengan senyum kecil.

            “Oh iya, namaku Miens Mulder. Senang bisa berkenalan denganmu.”

            Dan kelas pun dimulai.

***

            “Kapan-kapan aku akan mengajakmu ke restoran ujung jalan ini. Makanannya enak-enak.” Kami berjalan pulang melewati samping sekolah. Pohonnya sangat besar dan rindang. Bunga boegenville-nya juga banyak.

            “Toko Oen bukan? Katanya es krim tutti frutti-nya enak.”

            “Domino es krim juga enak, kue-kuenya paling enak menurutku. JanHagel, Kaasstengel, BoterKransjes4), hmmm, bahkan lebih enak daripada buatan ibuku sendiri.”

            “Besok minggu kita kesana yuk. Biar aku yang traktir ya.” Ajak Heriet. Miens mengambil sepedanya.

            “Benarkah?” Miens meloncat kegirangan. Dan Heriet juga ikut-ikutan meloncat saking kagetnya. “Oke, hari minggu. Dank je wei5), aku senang sekali. Doei6)

            Sepeda Miens menjauh. Heriet hanya duduk di depan sekolahnya. Ayah pasti lupa menjemputku, batinnya dalam hati. Tadi ia mendengar ayahnya akan pergi ke pinggiran Semarang sepertinya. Dan sampai sekarang sepertinya belum kembali, Heriet memutuskan naik trem menuju rumahnya.

            Untuk menaiki trem, Heriet harus berjalan terlebih dahulu ke ujung Bodjongweg, dekat Wilhelminaplein7),tepatnya di depan kantor kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij8).Kantor itu memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar dengan bergaya gothic-art deco, menjulang tinggi melebihi rumah dinas gubernur di sampingnya.

            Hari semakin panas, dan  trem yang ditunggu belum datang. Hidup di bawah matahari, Heriet tidak pernah membayangkan akan tinggal di tempat seperti ini. Bahkan ia lebih menyukai Batavia jika ia benar-benar disuruh tinggal di Netherland-Indische. Disini terlalu biasa. Cukuplah dirinya saja yang tampak biasa saja. Jika ia terlihat biasa saja di tempat yang biasa, bukankah sama saja dengan  hidup membosankan?

            Heriet berdiri menunggu. Tampak kejauhan ada seorang nenek tua, Belanda, dandanannya sangat berkelas. Sangat tidak cocok untuk menunggu trem di depan pohon asam. Ia memakai scraf biru lembayung yang cantik sekali mengelilingi lehernya yang mungil. Tas orange yang ia jinjing membuat dirinya terlihat segar. Dia nampak seperti bangsawan, dan penampilannya sekarang ini memang tampak tidak mencerminkan umurnya sama sekali. Heriet melirik ke dirinya sendiri, dan sejenak ia tampak malu.

            Braaaaaak. Isi tas berhamburan. Wajah sang nenek merah padam. Si penunggang sepeda, pria pribumi, merapikan isi tas yang berceceran di jalan.

            “Hei inlander menjijikan, jangan sentuh, atau aku lapor polisi.” Sang nenek merampasnya dari tangan pria itu. Dan mendorongnya sampai terjatuh di tengah jalan. Dan memukulinya berulang kali. Pribumi itu hanya meringis kesakitan, dan semua orang hanya bisa diam seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

            “Neem me niet kwalijk , Mevrouw.”9)Wajah pribumi itu memelas. Bukankah kesalahan pria pribumi itu cuma menabrak tas sang nenek, tidak menabrak tubuh sang nenek,  apalagi membuatnya terluka? Tas dan barang bawaannya juga tidak rusak. Lalu apakah yang membuat semua orang nampak begitu kejam, apakah gara-gara ia seorang pribumi?

            Heriet sadar, pria itu satu sekolah dengannya, terlihat dari rompi yang ia kenakan.  Sebelum Heriet bisa berbuat banyak, trem menuju Stasiun Jomblang sudah di depan mata, dan ia hanya melihat pria pribumi itu terhuyung-huyung menenteng sepedanya dari kejauhan.

1) Bahasa Belanda untuk Tuan

2) Hallo, nama saya

3) Panggil saya

4) Makanan ringan khas Belanda di Toko Oen, sampai sekarang masih ada

5) Terimakasih banyak (untuk suasana akrab dan untuk teman yang sudah dikenal)

6) Selamat tinggal

7) Sekarang kompleks Tugu Muda

8) Perusahaan Swasta Kereta Api Belanda (NIS), gedungnya sekarang bernama Lawang Sewu

9) Maafkan saya, Nyonya

           

            

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 25, 2012 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Little CanaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang