Entah sudah setinggi apa aku menerbangkan harap. Hingga rasanya tak usai ku gulung benang ini. Mungkin aku terlalu terlena dengan angin senja yang menggoda. Menghembuskan dingin yang tak menusuk, mendatangkan tenang dengan kehadirannya. Aku terbawa suasana -nyaman- tak ingin melewatkan seditikpun belaiannya diwajahku. Hingga benang yang mengaitkan harap terulur tinggi tanpa ku sadari dan menggores jari yang menggenggamnya erat. Semakin lama, semakin tinggi saja. Hingga harap itu tak lagi tampak oleh mata.
Aku lupa bahwa ia adalah angin. Sekeras apapun usahaku untuk menggenggamnya, tetap tak bisa ku genggam. Pun aku coba meraihnya, tetap tak mampu ku raih. Aku lupa bahwa ia adalah angin senja. Angin yang hadir hanya untuk senja. Angin yang setia pada jingganya. Hingga kelabu malam menyadarkanku bahwa ia juga akan berlalu bersama senjanya.
Tinggallah kini aku seorang diri di bawah sisa-sisa langit jingga sore tadi. Bersama benang yang ku genggam. Bersama harapan tuk bisa memilikinya. Dengan kewarasan ku yang tersisa, aku kembali menggulung benang ini. Benang harap yang tanpa sadar ku layangkan. Benang harap yang meski menyayat jari, tetap ku gulung tanpa henti.
Aku tak menyalahkan angin senja. Ini salah ku yang mudah jatuh. Mungkin dari awal angin senja tak berniat menggoda. Ia hanya berhembus sebagaimana mestinya. Aku yang terlalu terbawa suasana, dan melukai diriku dengan harap yang mengudara.
.
.
.
YOU ARE READING
Poem is My Wor(l)ds
PoetryTerkadang ada kata yang tak mampu terucap lisan. Pada saat itulah sajak dan puisi bekerja, saat lisan memiliki batas ucapan. Membantu lisan merangkai kata hingga makna tersampaikan pada dunia. . . .