"Usul yang gila, dan engkau seorang manusia yang mata keranjang! Siapa yang percaya bahwa engkau akan memegang janji?" Yan Hwa dengan muka berubah merah sekali bangkit dari ternpat duduknya, memandang Suma Hoat dengan mata bersinar penuh kemarahan dan keheranan setelah mendengar usul yang diajukan pemuda itu kepadanya. Mereka berada di sebuah kamar yang mewah dan serba indah, kamar tidur pemuda itu sendiri.
Suma Hoat tersenyum dan tetap duduk di atas pembaringan menghadapi gadis itu. "Tenanglah, Nona dan duduklah. Mungkin sekali aku sudah gila, dan tidak kusangkal bahwa aku adalah seorang yang mata keranjang. Hati siapakah yang takkan terpesona oleh kecantikan seperti yang kau miliki? Akan tetapi, penukaran yang kuajukan cukup adil, dan engkau harus percaya kepadaku karena banyak hal yang mengharuskan aku membebaskan engkau dan suheng-mu."
"Hemm, hal-hal apakah yang menjadi alasanmu?"
"Pertama, engkau dan suheng-mu bukanlah musuh-musuhku, bahkan tidak kukenal. Untuk apa aku mencelakakan kalian? Kedua, kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi, bermusuhan dengan kalian sungguh bukan perbuatan yang cerdik. Ketiga, kalian mengganggu Kerajaan Sung yang bukan menjadi negara yang kami bela. Nah, kalau di antara kita terikat persahabatan baik, bukankah hal itu sangat menguntungkan? Begitu melihatmu, hatiku tertarik dan timbul gairah di hatiku, Nona. Aku tidak akan memaksamu, akan tetapi kiranya engkau tidak akan menganggap aku seorang laki-laki biasa apa lagi buruk rupa. Tidak kurang banyaknya gadis yang suka kepadaku, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang menarik hatiku. Nah, bagaimana jawabanmu, Nona?"
Muka gadis itu tidak semerah tadi, namun jantungnya masih berdebar keras. Pemuda ini memang tampan sekali, akan tetapi usul dan permintaan pemuda itu benar-benar merupakan hal yang selama hidupnya belum pernah ia dengar, maka tentu saja dia merasa tegang dan malu.
"Coba ulangi lagi usulmu, agar aku tidak salah tangkap," katanya menekan hatinya agar suaranya tidak gemetar.
Suma Hoat tersenyum, diam-diam merasa geli karena dia sudah tahu betapa hati nona itu berdebar penuh ketegangan. Hal ini menyenangkan hatinya karena berarti bahwa dara kang-ouw ini tidak biasa melakukan perbuatan seperti dimintanya. Tidak jarang terdapat wanita-wanita kang-ouw yang mengumbar nafsu mengandalkan kepandaian, bersenang-senang dan memuaskan nafsu birahi dengan pria-pria tampan. Namun gadis ini agaknya bukan semacam wanita pengejar nafsu.
"Begini, Nona. Aku akan membebaskan engkau dan suheng-mu keluar dari kota ini asal engkau mau melayani aku sebagai kekasih sampai besok pagi, jadi sehari semalam."
Kembali wajah Yan Hwa menjadi merah sekali. "Usul gila!" Kembali ia mengulang karena hampir dia tidak percaya akan ada orang yang berani mengajukan usul segila ini kepadanya. "Kalau sekarang aku menyerangmu, apakah engkau kira akan dapat hidup lebih lama lagi? Betapa berani engkau!"
Suma Hoat tersenyum. "Aku sama sekali tidak berani memandang rendah kepadamu, Nona. Aku sudah cukup menyaksikan kelihaianmu dan belum tentu aku akan dapat bertahan kalau engkau menyerangku sekarang. Akan tetapi, hal itu sudah aku perhitungkan masak-masak. Aku boleh saja kau bunuh, akan tetapi apakah engkau dan suheng-mu akan dapat meloloskan diri dari sini? Dan sepasang pedang kalian yang ampuh itu, tidak sayangkah engkau?"
"Sepasang Pedang Iblis milik kami itu kau kembalikan pula kalau kami kau bebaskan?"
"Tentu saja! Aku bukan seorang pencuri pedang yang hina! Aku hanyalah seorang pencuri hati, pencuri wanita-wanita cantik seperti Nona..."
"Engkau laki-laki cabul!"
"Aku hanyalah seorang laki-laki cabul yang berterus terang, tidak seperti semua laki-laki cabul yang menyembunyikan kecabulannya di balik kemunafikan mereka. Nona, aku tergila-gila kepadamu, akan tetapi aku tidak memaksamu. Aku seperti seekor kumbang yang tertarik akan madu manis yang terkandung dalam setangkai kembang. Engkaulah kembang itu dan aku hanya mengharapkan engkau membukakan kelopak bungamu kepadaku. Aku mengharapkan sari madu cintamu, kubeli dengan kebebasan engkau dan suheng-mu. Bukankah ini sudah adil namanya?"
"Kalau engkau melanggar janji?"
Suma Hoat mengangkat muka, alisnya berkerut dan matanya bersinar. "Aku adalah seorang laki-laki, seorang jantan! Melanggar janji, apa lagi terhadap seorang wanita cantik seperti Nona, merupakan pantangan besar bagiku!"
Yan Hwa merasa terjepit, tidak ada jalan ke luar yang lebih baik. Kalau dia marah-marah dan menyerang orang ini, bahkan andai kata dia berhasil membunuhnya, hal yang masih harus diragukan karena Suma Hoat ini memiliki kepandaian yang tinggi pula, apakah untungnya bagi dia dan suheng-nya? Dia tentu akan dikepung, dan tanpa Li-mo-kiam di tangan, apa lagi suheng-nya masih ditawan, akhirnya mereka berdua hanya akan membuang nyawa sia-sia. Kalau dia menurut... ah, pemuda itu tampan dan gagah sekali, tidak kalah oleh Ji Kun.
Teringat akan Ji Kun, dia membayangkan watak Ji Kun yang kadang-kadang juga mata keranjang. Ketika mereka menawan seorang di antara gadis-gadis cantik dari kereta para siuli, bukanlah Ji Kun juga memperlihatkan kenakalannya? Apa kata suheng-nya itu? Hanya kulit yang bersentuhan, namun hati dan cintanya adalah miliknya! Hemm, kalau dia melayani permainan Suma Hoat, bukankah dia pun hanya mengorbankan kulit dan daging belaka, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hatinya yang mencinta Ji Kun seorang? Apa lagi kalau diingat bahwa 'pengorbanannya' itu untuk menyelamatkan nyawa Ji Kun pula!
"Bagaimana, Nona?" Suma Hoat mendesak.
"Kalau aku menolak?"
"Tidak ada lain jalan kecuali memanggil para pengawal agar engkau ditawan pula dan bersama suheng-mu diseret ke depan pengadilan. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak menakut-nakutimu kalau kuberi tahu bahwa hukuman bagi mata-mata adalah penggal kepala."
"Kalau sekarang aku membunuhmu?"
"Sama saja, engkau dan suheng-mu juga akan mati konyol. Bagiku mati di tanganmu yang halus itu merupakan mati yang terhormat dan menyenangkan. Silakan pilih, aku siap mendengar pilihanmu."
Yan Hwa merasa betapa jantungnya makin berdebar. Kamar ini begini indah, perabot-perabotnya serba mewah dan mahal, tempat tidur itu kelihatan amat menyenangkan dan tentu enak dipakai tidur, dan bau harum dari pembaringan itu menyentuh hidungnya. Seperti kamar seorang puteri istana saja! Dan pemuda di depannya yang memandang dengan mata bersinar-sinar, dengan bibir tersenyum, merupakan calon teman yang menyenangkan.
Dengan jantung berdebar dan suara lirih hampir tidak terdengar, Yan Hwa mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku menerima usulmu. Akan tetapi, kalau sampai engkau melanggar janji, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu dan menyayat-nyayat tubuhmu!"
"Terima kasih, engkau sungguh seorang dara yang cerdik dan menyenangkan sekali! Ahh, Nona, betapa keputusanmu itu mendatangkan rasa gembira yang hebat di hatiku. Terima kasih!" Suma Hoat melompat turun, merangkul Yan Hwa dan mencium dara itu dengan kemesraan yang membuat Yan Hwa menjadi nanar. Belum pernah dia dicium orang seperti itu. Ji Kun pun belum pernah menciumnya semesra itu! Dia tidak tahu bahwa yang mendekap dan menciuminya adalah Jai-hwa-sian, seorang yang tentu saja amat ahli dalam permainan cinta!
"Kebaikanmu harus dirayakan, Nona!" Suma Hoat menghampiri pintu, membuka daun pintu dan memanggil pelayan, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi, dan hidangan yang mewah, masakan-masakan termahal dan terlezat bersama arak yang paling baik!
Kalau tadinya Yan Hwa masih merasa berat, malu-malu, dan merasa bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan maksiat yang hina dan kotor, lambat laun perasaan itu lenyap sama sekali terganti perasaan girang dan senang yang luar biasa berkat kepandaian Suma Hoat merayunya. Kalau masih ada awan tipis menyelubunginya, segera awan itu tertiup pergi oleh hiburan paksaan berupa pendapat bahwa dia melakukan hal itu demi menyelamatkan nyawa suheng-nya!
Manusia adalah makhluk yang amat lemah terhadap nafsunya sendiri. Kelemahan ini ditambah lagi dengan bermacam perasaan bersalah karena larangan-larangan yang mereka ciptakan sendiri sehingga setiap perbuatan mereka adalah tidak wajar dalam usaha mereka menghindarkan diri dari pelanggaran larangan itu.
Demikian pula dengan Yan Hwa. Kalau memang dia tidak bersikap palsu, maka baginya hanya tinggal memilih apa yang akan dilakukannya sesuai dengan kehendak hatinya, tanpa penyesalan tanpa pura-pura dan tanpa mencari kambing hitam sebagai alasan pendorong perbuatannya. Dia seorang wanita yang lemah, mudah jatuh di bawah rayuan pria tampan seperti Suma Hoat. Akan tetapi, dia hendak menutupi kelemahannya ini dengan alasan yang dicari-cari sehingga semua perbuatannya adalah tidak wajar dan karenanya menjadi kotor.
Sehari semalam kedua orang itu mandi dalam telaga asmara, tiada bosan-bosannya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum sinar matahari mengusir kegelapan malam, keduanya mengakhiri permainan cinta mereka karena sudah tiba saatnya dalam perjanjian mereka untuk membebaskan Yan Hwa dan Ji Kun.
Dengan hati penuh kagum dan puas, Suma Hoat mencium Yan Hwa sambil berkata, "Ah, engkau dan aku cocok sekali, Yan Hwa."
Sejenak Yan Hwa membalas ciuman itu, kemudian didorongnya dada Suma Hoat sambil berkata, "Cukup, Suma Hoat. Kau tahu bahwa aku melakukan semua itu untuk menebus keselamatan aku dan suheng."
"Ha-ha-ha, tak usah kau berpura-pura, manis. Beranikah engkau menyangkal bahwa engkau pun seperti aku, menikmati hubungan kita yang pendek ini?"
"Tak perlu kusangkal. Engkau memang seorang laki-laki yang hebat. Akan tetapi aku tidak cinta kepadamu seperti juga engkau tidak mencintaku. Aku telah mencinta orang lain."
"Suheng-mu sendiri?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ha-ha, apa sukarnya menduga? Engkau telah rela mengorbankan diri untuk menyelamatkannya. Aku tidak menyalahkan engkau. Suheng-mu seorang laki-laki yang tampan dan gagah perkasa. Kalian berdua memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat, memiliki Sepasang Pedang Iblis yang mukjizat. Yan Hwa, sebelum kita berpisah dan mungkin kita tidak akan saling berjumpa kembali, mengingat akan kemesraan yang sudah sama-sama kita nikmati, maukah engkau sekarang mengaku, sebetulnya engkau dan suheng-mu itu dari perguruan mana?"
"Sudah kukatakan bahwa keadaan kami adalah rahasia kami. Harap kembalikan dulu pedang kami."
Suma Hoat menarik napas panjang, lalu mengambil Sepasang Pedang Iblis dari balik jubahnya yang digantung di sudut. "Kau lihat, hanya kutaruh di sini, tidak kusembunyikan, untuk membuktikan betapa aku telah percaya penuh kepadamu."
Yan Hwa menerima sepasang pedang itu, mengikat sarung Li-mo-kiam di pinggang sedangkan Lam-mo-kiam ia gantungkan di punggung. Ia memandang Suma Hoat dan berkata dengan senyum, "Baiklah, Suma Hoat. Di antara kita sebetulnya masih ada hubungan, biar pun hubungan di antara kita penuh dendam permusuhan. Kulihat engkau, biar pun... mata keranjang dan tukang perayu wanita, tidak jahat seperti ayahmu. Aku dan suheng adalah murid mendiang subo kami, Mutiara Hitam."
Wajah Suma Kiat menjadi pucat. "Apa...? Murid Bibi... Kam Kwi Lan Si Mutiara Hitam... dan engkau sudah tahu bahwa aku masih keponakannya?"
Yan Hwa mengangguk. "Ayahmu, Jenderal Suma Kiat amat jahat dan curang. Dia mengakibatkan kematian Supek Kam Liong dan muridnya. Agaknya semenjak dahulu antara keturunan Suma dan keturunan Kam selalu timbul permusuhan karena kejahatan keluarga Suma. Akan tetapi, kulihat engkau tidak jahat hanya... mata keranjang!"
Suma Hoat tersenyum kecut. "Tidak perlu kau ulangi lagi, Yan Hwa. Aku tidak akan menyangkal akan sifatku yang suka merayu dan bermain cinta dengan wanita cantik. Untuk itulah maka aku dijuluki Jai-hwa-sian."
"Engkau Jai-hwa-sian? Hemm, pantas! Sudahlah, mari antar aku kepada Suheng dan biarkan kami pergi. Mudah-mudahan saja jalan hidup antara kita akan bersimpangan karena aku tidak ingin merusak kenangan manis kemarin dan malam tadi dengan bentrokan karena sekali kita saling bentrok, aku takkan suka mengampunimu, Suma Hoat."
Suma Hoat mengangguk lalu mengajak Yan Hwa mengambil jalan rahasia menuju ke tempat tahanan di bawah tanah. "Kau tunggu di sini. Kalau terjadi keributan dan teriakan kebakaran sehingga semua penjaga lari meninggalkan pintu di sana itu, barulah kau masuk, bebaskan suheng-mu dan lari melalui jalan ini." Suma Hoat menerangkan jalan rahasia ke luar dari tempat itu.
Setelah Yan Hwa mengerti betul, dia lalu merangkul Yan Hwa, mencium bibirnya dan berbisik, "Selamat berpisah, Yan Hwa, aku tidak cinta padamu akan tetapi aku takkan pernah dapat melupakanmu. Kau bersembunyi di sini dan tunggu sampai ada teriakan kebakaran."
Yan Hwa mengangguk dan melihat bayangan pemuda itu berkelebat lenyap. Tak lama kemudian, benar saja seperti yang dipesankan Suma Hoat, tampak sinar api dan asap membubung tinggi dan terdengar teriakan-teriakan,
"Kebakaran...! Kebakaran...! Tolong... padamkan api...!"
Ributlah keadaan di situ. Setelah Yan Hwa melihat para penjaga yang tadinya berkumpul di pintu berlari-lari membawa ember dan lain-lain alat pemadam kebakaran, dia cepat menyelinap memasuki pintu dan menuruni anak tangga ke bawah. Dilihatnya Ji Kun meringkuk rebah miring di atas bangku di dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi. Pintu dan jendelanya kuat sekali, akan tetapi beberapa kali bacokan dengan pedang Li-mo-kiam, Yan Hwa sudah berhasil membuka pintu.
"Sumoi..." Bagaimana kau bisa bebas...?"
"Sstt, bukan waktunya bicara." Yan Hwa menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan Ji Kun, kemudian ia menyerahkan Lam-mo-kiam kepada suheng-nya dan menarik tangannya, mengajak keluar dari tempat itu.
"Bagus, agaknya engkau telah memancing mereka dengan kebakaran, Sumoi! Mari kita amuk dan binasakan mereka sebelum pergi dari sini!" Ji Kun berkata setelah mereka keluar dari tempat tahanan di bawah tanah dan dia menyaksikan api yang berkobar tinggi dan orang-orang yang sibuk memadamkan api.
"Hushhh, jangan, Suheng. Setelah susah payah aku berhasil membebaskan kita berdua, apakah akan kau rusak dengan memasuki bahaya tertawan lagi? Hayo kita pergi, ikut dengan aku!"
Dengan mengikuti petunjuk yang diterimanya dari Suma Hoat, akhirnya Yan Hwa berhasil membawa suheng-nya keluar dari istana dan tembok kota Siang-tan, kemudian melarikan diri secepatnya di dalam cuaca remang-remang karena pagi telah tiba.
Setelah lewat tengah hari dan mereka sudah jauh sekali di sebelah utara kota Siang-tan, dan napas mereka mulai memburu, tubuh penuh keringat, barulah kedua orang ini berhenti mengaso di sebuah hutan kecil. Bahkan Yan Hwa yang amat lelah dan semalam suntuk berenang dalam lautan cinta bersama Suma Hoat sehingga tubuhnya terasa lemas, segera tertidur pulas di bawah pohon, dihembus angin semilir sejuk. Ji Kun memandang sumoi-nya yang tidur nyenyak dan diam-diam ia merasa terheran-heran melihat wajah sumoi-nya mangar-mangar, bibirnya tersenyum dalam tidurnya.
Sumoi-nya kelihatan seperti orang yang bergembira, penuh kepuasan, sama sekali bukan seperti orang yang habis tertawan. Dan bagaimanakah sumoi-nya dapat menolongnya sedang pihak musuh demikian banyak dan lihai? Bagaimana pula dapat merampas kembali Lam-mo-kiam? Apa yang terjadi dengan Maya dan kedua orang perwira pembantunya? Dia tadi tidak sempat bicara karena mereka harus melarikan diri secepatnya dan begitu mereka berhenti mengaso, Yang Hwa sudah merebahkan diri dan tidur nyenyak!
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTANA PULAU ES (seri Ke 5 Bu Kek Siansu)
ActionIstana Pulau Es merupakan seri kelima dari Bu Kek Siansu, dan bercerita mengenai cinta segitiga antara Khu Siauw Bwee, Maya dan Kam Han Ki. Mereka bertarung hingga dua-duanya lompat ke laut yang sedang dilanda badai, meninggalkan Kam Han Ki sendiria...