Jilid 2/39

2.8K 19 0
                                    

Kaisar merasa suka bertemu dengan Han Ki, kagum melihat pemuda yang lemah-lembut, tampan dan gagah perkasa itu. Apa lagi ketika Kaisar mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah adik sepupu dari menterinya yang setia, kepercayaannya bertambah dan ia menerima Han Ki dengan gembira. Bahkan memberi ijin kepada pemuda itu untuk 'melihat-lihat' keadaan di sekeliling istana, mengagumi taman bunga istana yang amat indah itu.

Setelah menghaturkan terima kasih, Han Ki lalu memasuki taman, meninggalkan twako-nya yang masih bercakap-cakap dengan Kaisar mengenai keadaan pemerintahan. Pemuda ini kagum bukan main. Taman itu amat luas, pula amat indahnya sehingga dia merasa seolah-olah tersesat ke alam sorga di dalam mimpi. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan bunga-bunga yang demikian banyak macamnya, serba indah, bangunan indah dalam taman dan burung-burung yang dipelihara dalam sangkar beraneka warna.

Saking tertariknya, pemuda yang selama hidupnya baru sekali itu menyaksikan tempat yang demikian indahnya, sampai lupa diri dan tidak tahu bahwa dia telah memasuki daerah terlarang, yaitu taman puteri yang terpisah dari taman umum dengan pagar bunga mawar berduri yang tinggi. Namun bagi Han Ki tentu saja pagar itu tidak berarti apa-apa. Ketika menjenguk dan melihat betapa taman di sebelah pagar itu jauh lebih indah lagi, dengan bangunan-bangunan mungil dan kolam-kolam ikan, serta sangkar-sangkar burung berkilauan agaknya terbuat dari pada perak dan emas, ia menggenjot tubuhnya dan melompati pagar bunga mawar.

Dia sampai berdiri bengong dan menahan napas menyaksikan segala keindahan itu. Rumput-rumput yang tumbuh di tempat ini pun bukan sembarangan, melainkan rumput yang teratur dan amat indah seperti permadani dari beludru. Seperti dalam mimpi ia berjalan terus, melangkah ke arah sekumpulan bangunan yang dicat merah. Tiba-tiba telinganya mendengar suara wanita menjerit-jerit kebingungan, bahkan lalu mendengar wanita menangis. Cepat ia menyelinap di antara pohon bunga, berlompatan mendekati suara yang datangnya dari balik kelompok bangunan.

Ketika ia tiba di situ dan memandang dari tempat sembunyinya di balik pohon, ia bengong, matanya tak berkedip memandang ke depan dan napasnya seolah-olah terhenti sama sekali. Kalau tadi ia kagum dan merasa dalam mimpi menyaksikan keindahan taman, kini ia terpesona menyaksikan seorang dara jelita yang kecantikannya seolah-olah membuat denyut darahnya tiba-tiba membeku.

Seorang dara jelita berpakaian serba merah jambon sedang menangis di bawah pohon, dihibur oleh empat orang wanita muda cantik-cantik dan beberapa orang di antara wanita-wanita itu ada yang sibuk menjentikkan jari tangan sambil meruncingkan bibir merah dan mengeluarkan bunyi bercicit seperti burung.

"Kalau dia tidak mau kembali dan terbang pergi... ah bagaimana?" Dara cantik yang berpakaian indah itu terisak.

Perhiasan dari batu permata berbentuk burung hong yang menghias rambutnya mengangguk-angguk karena gerakan tangisnya. Empat orang yang menghiburnya itu pun cantik-cantik, akan tetapi dibandingkan dengan dara berpakaian jambon, mereka itu seperti empat ekor burung gereja di dekat seekor burung hong!

"Tenanglah, Siocia. Kalau kita tidak dapat menangkapnya, nanti hamba minta bantuan tukang kebun," seorang di antara empat pelayan itu menghibur.

"Apakah tukang kebun dapat terbang? Mana bisa menangkap seekor burung? Aihhh, kalau Hongsiang (Kaisar) mengetahui, tentu tidak apa-apa, akan tetapi aku khawatir sekali terhadap kemarahan Hong-houw (Permaisuri), burung ini adalah kesayangannya." Dara itu menangis lagi.

Han Ki merasa kasihan sekali. Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini. Mengapa ia tiba-tiba merasa kasihan sekali kepada dara berpakaian jambon itu? Padahal mengenalnya pun belum dan apa urusannya pun dia belum tahu. Hanya melihat dara itu berwajah demikian gelisah dan melihatnya menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.

Ia memandang ke arah pohon dan tampaklah olehnya seekor burung kecil berwarna kuning yang indah sekali. Ketika melihat sangkar kosong di dekat puteri itu tahulah dia bahwa Sang Puteri itu agaknya telah membikin burung tadi terlepas dan kini merasa bingung bagaimana akan dapat menangkapnya kembali.

Terdorong oleh rasa kasihan, Han Ki menjadi nekat lalu dia melompat ke luar dan berkata, "Harap Siocia tidak khawatir, saya akan menangkap burung itu!"

Dara berpakaian jambon ini terbelalak dan menahan jeritnya, sedangkan empat orang pelayan itu pun menutup mulut saking kaget dan herannya. Han Ki yang melihat sikap mereka menjadi heran, hanya mengangkat pundak kemudian tubuhnya sudah mencelat naik ke atas pohon. Burung itu terkejut dan terbang, akan tetapi Han Ki sudah mendorongkan telapak tangannya. Angin bertiup dari telapak tangannya dan burung itu tertahan terbangnya, lalu disambarnya dengan tangan kanan dan dibawanya melompat turun.

"Nah, ini dia, Siocia, sudah dapat saya tangkap kembali."

Dara itu girang bukan main, lupa akan keheranannya melihat munculnya seorang pemuda tampan dan seorang di antara pelayan lalu mengambil sangkar kosong dan tak lama kemudian burung itu sudah aman berada di dalam sangkar kembali. Kini barulah lima orang wanita itu memandang Han Ki dengan bengong dan tiba-tiba wajah puteri itu menjadi merah sekali, lalu ia menunduk dan membuang muka karena ia melihat sinar kagum jelas sekali terpancar keluar dari pandang mata pemuda yang tampan itu.

"Eh, orang muda, apakah kau pandai terbang?" seorang di antara empat pelayan bertanya.

"Apakah engkau tukang kebun baru?" tanya yang ke dua.

Tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang menunduk dari puteri itu Han Ki menggeleng kepala. "Aku tidak pandai terbang dan bukan tukang kebun."

Kini puteri itu memutar tubuh dan memandang ke arah wajah Han Ki penuh kemarahan dan bibir yang merah itu merekah, lalu terdengar suaranya yang bagi Han Ki seperti nyanyian bidadari.

"Kalau engkau bukan tukang kebun, bagaimana engkau bisa berada di sini?"

Han Ki tak gentar menghadapi pandang mata para penjahat yang liar dan bengis, tidak berkedip menghadapi serangan pedang dan golok. Namun kini, mata yang memancar ke luar dari sepasang mata indah itu membuat ia gugup dan jantungnya berdebar tidak karuan!

"Aku... aku... melihat-lihat taman dan melompati pagar bunga mawar!"

"Aihh! Orang muda yang kurang ajar!" Seorang di antara para pelayan membentak. "Kau bicara seenaknya saja di depan seorang puteri Kaisar!"

Han Ki terkejut sekali, akan tetapi perasaannya sebagai seorang laki-laki yang gagah membuat ia pantang untuk bertekuk lutut, maka ia hanya menunduk dan berkata lirih. "Maaf, maafkan saya, Siocia. Saya tidak tahu... ah, saya bersedia dihukum karena kesalahan ini...."

Aneh sekali. Kini puteri itu tersenyum simpul, matanya mengerling wajah tampan itu, jantungnya berdebar, kemudian ia berkata, "Kalau pengawal tahu engkau masuk ke daerah terlarang ini, engkau akan dihukum mati! Karena itu, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini. Eh, pelayan, berikan hadiah kepadanya yang telah menangkap kembali burung yang terlepas."

"Tidak, Siocia. Saya tidak membutuhkan hadiah. Memang burung itu tentu saja ingin sekali bebas karena betapa pun indah sangkarnya, dia hidup terkurung. Lihat, bukankah dia nampak bersedih? Sungguh pun begitu, dia seekor burung yang bodoh sekali, mengapa ingin bebas...?"

Sepasang alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis itu bergerak ke atas dan kembali Han Ki merasa jantungnya tertusuk oleh sinar mata itu.

"Engkau bicara aneh dan tidak karuan. Tadi kau katakan bahwa tentu saja burung itu ingin bebas, kemudian kau mencelanya sebagai burung bodoh! Apa maksudmu?" Puteri itu memandang tajam dan kembali jantungnya berdebar aneh ketika melihat lebih jelas lagi betapa wajah pemuda di depannya itu benar-benar amat tampan dan menarik hatinya.

"Dia bodoh sekali, Siocia. Kalau saya menjadi dia, saya... saya akan merasa bahagia sekali dikurung dalam sangkar dan berada di sini selamanya!" Han Ki yang masih merasa dalam mimpi itu bicara sejujurnya menurutkan suara hatinya.

Kembali sepasang mata itu terangkat dan sepasang mata indah itu melebar. "Mengapa?"

"Karena... karena setiap hari akan dapat melihat Siocia dan dapat bernyanyi untuk Siocia...."

"Aiihhh...!" Puteri jelita itu membuang muka. Wajahnya menjadi merah sekali melebihi warna bajunya, matanya seperti orang bingung, bergerak-gerak pandangnya tanpa tujuan seperti mata kelinci terjebak, akan tetapi bibir yang merah dan manis itu tersenyum-senyum malu, tersipu-sipu!

"Weh-weh, kau laki-laki kurang ajar! Kau bisa dihukum mati kalau bicara seperti ini," kata seorang pelayan, juga tiga orang yang lain marah-marah. "Siapa sih engkau berani mati seperti ini?"

Han Ki menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang kemerahan itu dan memang dia bukan menjawab Si Pelayan melainkan berkata ditujukan kepada puteri itu. "Saya bernama Kam Han Ki, pengawal pribadi dan juga adik sepupu Menteri Kam Liong. Saya diperkenankan oleh Hongsiang untuk melihat-lihat taman, akan tetapi telah tersesat ke sini, harap Siocia sudi memaafkan."

"Oohhh... Kau... kau... adik sepupu Menteri Kam?" Puteri itu berkata lirih dan kemarahan lenyap dari pandang matanya, terganti kekaguman. Juga empat orang pelayan yang tadi marah-marah, kini tersenyum-senyum memandang nona majikan mereka.

Sang Puteri dapat menangkap kerling dan senyum ini, lalu membentak, "Mau apa kalian tersenyum-senyum?"

Empat orang pelayan itu menunduk, akan tetapi tetap tersenyum dan seorang di antara mereka yang paling berani lalu berkata, "Hamba sekalian mengira bahwa dia adalah tukang kebun yang rendah, Siocia. Kiranya adik Kam-taijin, seorang pemuda bangsawan yang gagah perkasa, malah pandai terbang melebihi burung. Hemm...."

Puteri itu tersipu-sipu, akan tetapi memaksa diri menghadapi Han Ki yang masih bengong terpesona karena wajah puteri itu makin dipandang makin mempesona, lalu berkata lirih, "Kam-taihiap, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini. Kalau ketahuan Hongsiang, selain engkau dihukum aku pun akan mendapat malu. Harap suka pergi dan... terima kasih atas bantuanmu tadi."

Han Ki mengangguk, merasa kecewa sekali harus pergi dari depan puteri ini. Akan tetapi ia pun maklum bahwa kehadirannya di situ akan mendatangkan bencana bagi Sang Puteri, maka dia berkata, "Maaf...!" lalu membalikkan tubuhnya melangkah pergi menuju ke pagar bunga mawar dengan kedua kaki lemas.

Mengapa. hatinya seperti hilang dan semangatnya kabur ke manakah? Terasa seperti tubuhnya yang lemas saja yang pergi, akan tetapi semangat, dan hatinya tertinggal di depan kaki Sang Puteri. Sampai di pagar, dia menengok. Puteri itu ternyata memandang ke arahnya dengan bengong. Sejenak dua pasang mata bertemu, bertaut seolah-olah melekat dan sukar dilepas lagi. Kemudian puteri itu menunduk.

"Maaf, Siocia. Saya Kam Han Ki telah berlaku lancang dan berdosa terhadap Siocia. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah saya menambah dosa lagi dengan mengetahui nama Siocia. Bolehkah?"

Sunyi sejenak. Tanpa mengangkat muka puteri itu berkata lirih. "Namaku... Hong Kwi..."

"Terima kasih!" Han Ki berkata dengan girang dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari situ melompati pagar.

Demikian cepat gerakannya sehingga, empat orang itu berseru, "Dia... dia menghilang. Jangan-jangan dia... setan...!"

Puteri itu tertawa, suara tawanya seperti nyanyian burung, tanda bahwa hatinya gembira sekali. "Hushhh! Bukan menghilang! Mana ada setan di siang hari? Dia seorang Taihiap, seorang pendekar besar, tentu saja loncatannya cepat sekali. Dia adik Kam-taijin yang memiliki kepandaian luar biasa, tentu saja...!"

"Hebat... Betulkah, Siocia? Hi-hihik!" para pelayan tertawa.

"Hushh! Apa ketawa? Kusuruh cambuk kau, seribu kali!" Sang Puteri menghardik.

Akan tetapi empat orang pelayan itu masih terkekeh genit dan seorang di antara mereka yang sudah dapat mengetahui rahasia hati puteri asuhan mereka itu, berkata sambil berlutut. "Hati hamba sekalian gembira sekali, Siocia. Jangankan dicambuk seribu kali, biar selaksa kali hamba terima!"

Tentu saja mereka hanya bergurau karena kalau betul-betul dicambuk, jangankan selaksa kali atau seribu kali, baru dua puluh kali saja kulit-kulit tipis punggung dan pinggul mereka tentu akan pecah-pecah dan nyawa mereka melayang!

Demikianlah, semenjak saat itu hati Han Ki tercuri oleh Puteri Hong Kwi yang cantik jelita. Puteri ini adalah puteri Kaisar dari selir yang memang terkenal cantik jelita. Dan semenjak saat itu, Han Ki selalu mencari kesempatan untuk tersesat atau lebih tepat 'menyesatkan diri' ke dalam taman terlarang sehingga dalam waktu sebulan itu, beberapa kali ia 'kebetulan' bertemu dengan Sung Hong Kwi, puteri selir itu yang selalu ada di taman itu. Bahkan kini puteri itu amat sering datang ke taman untuk duduk termenung sambil memandang burung kuning dalam sangkar! Kini puteri ini tidak lagi menyimpan rahasia hatinya kepada empat orang pelayannya yang tentu saja merahasiakan pertemuan antara Han Ki dan Hong Kwi.

Pada saat malam terang bulan, Hong Kwi duduk melamun di taman. Empat orang pelayan duduk tak jauh dari situ, berbisik-bisik dan tidak berani mengganggu Sang Puteri yang mereka tahu sedang murung memikirkan Han Ki yang sudah beberapa hari tidak tampak.

Hong Kwi memandang ke arah burung kuning dalam sangkar. Pikirannya melayang-layang jauh. Dia tidak melihat burung di dalam sangkar itu, melainkan wajah Han Ki! Dari bibirnya berbisik-bisik "Mungkinkah...? Akukah yang seperti burung dalam sangkar? Bagaimana mampu bebas dan terbang berdua dengan burung di luar sangkar? Ah! Kam-taihiap...!"

Seolah-olah mendengar jeritan hatinya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Han Ki telah berdiri di hadapannya!

"Kam-taihiap...!" Hong Kwi terkejut sekali. Betapa beraninya pemuda ini! Malam-malam datang di tempat itu! Kalau ketahuan, mereka berdua bisa celaka!

Akan tetapi sikap Han Ki tidak gembira seperti biasa. Biar pun biasanya pertemuan antara mereka berdua hanya lebih banyak pertemuan pandang mata saja dari pada percakapan, namun Han Ki selalu bersikap gembira. Namun malam ini, di bawah sinar bulan, wajah yang tampan itu kelihatan muram.

"Siocia..., saya datang... untuk berpamit..."

Dara jelita itu terkejut, mengangkat muka memandang penuh selidiki. "Berpamit...? Kam-taihiap... mengapa? Apa yang terjadi? Engkau... hendak pergikah?"

Pemuda itu hanya mengangguk, kemudian memandang ke arah empat orang pelayan dan berkata, "Bolehkah saya bicara berdua saja denganmu, Siocia?"

"Ahhh... tapi... tapi..." Ia meragu, lalu menoleh ke arah empat orang pelayannya sambil berkata lirih. "Kalian pergilah sebentar."

Empat orang pelayan itu saling pandang, lalu tersenyum dan bagaikan empat ekor kupu-kupu mereka berlarian menjauh dan bersembunyi di dalam bangunan kecil, agak jauh dari tempat itu.

"Tai-hiap, engkau hendak pergi ke manakah?"

"Siocia, saya mendapat tugas dari Menteri untuk melakukan penyelidikan ke negara bangsa Yucen...!"

"Aihhh... Bangsa yang biadab itu...!" Sang Puteri berseru kaget sekali.

"Karena itu, maka harus diselidiki keadaannya, Siocia. Demi kepentingan kerajaan ayahmu saya harus berangkat besok pagi-pagi. Karena inilah maka saya memberanikan diri menghadap Siocia untuk berpamit."

"Kam-taihiap, berapa lamakah kau pergi...?"

Han Ki menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa tahu, Siocia? Tergantung keadaan di sana dan... hemmm, kalau saya sampai tidak kembali menghadap Siocia itu berarti bahwa saya tentu tewas di sana... Eh...! Siocia...! Siocia...!"

Han Ki cepat menubruk dan merangkul dara itu yang tiba-tiba menjadi lemas dan pingsan mendengar ucapannya itu. Dia merangkul leher dara itu penuh kasih sayang, penuh kemesraan, lalu memondongnya dan memangkunya sambil duduk di bangku tepi kolam. Ia tahu bahwa dara itu hanya pingsan karena kaget, maka perlahan-lahan ia mengurut belakang kepalanya.

Muka itu tengadah, agak pucat namun bibirnya masih merah segar. Pernapasan merasa lega sekali dan tanpa disadarinya ia menunduk mencium dahi yang putih halus itu. Sang Puteri sadar dan berteriak ketika mendapatkan dirinya dipangku dan dahinya dicium.

"Ahhh, Kam-taihiap...!" Ia merintih dan kedua lengannya merangkul leher.

"Hong Kwi... Hong Kwi...?" Han Ki juga mengeluh, sakit hatinya karena maklum akan keadaan mereka yang seolah-olah terpisah jurang kedudukan, dan kini malah akan berpisah!

Ia menjadi terharu, bercampur cinta kasih mendalam dan tanpa mereka sadari dan tanpa mereka ketahui siapa yang memulainya, muka mereka saling berdekatan dan bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman mesra, ciuman yang mereka lakukan tanpa sadar, seolah-olah ada tenaga gaib yang mendorong mereka karena selama hidup mereka belum pernah berciuman seperti itu. Tercurah seluruh kerinduan hati, seluruh keharuan, seluruh cinta kasih sehingga sambil berciuman yang seolah-olah takkan pernah terlepas lagi. Saat itu mereka terisak, naik sedu-sedan dari dada mereka ke tengorokan.

Mereka terengah-engah, terbuai oleh gelombang asmara yang hebat, baru melepaskan ciuman setelah napas tak tertahan lagi, saling rangkul seolah-olah tak hendak melepaskan lagi.

"Hong Kwi...!"

"Koko... Kam-koko...!"

Entah berapa lama mereka saling rangkul, entah berapa kali mereka saling berciuman. Tiada bosan-bosannya Han Ki mencium dahi, alis, mata, hidung, pipi, bibir dan leher wanita yang dicintanya, seolah-olah hendak menghisap semua itu dan menyimpannya ke dalam lubuk hatinya. Mereka lupa diri, lupa waktu, lupa keadaan.

"Siocia...!" Suara pelayan menyadarkan mereka. "Hamba mendengar suara peronda...!"

Puteri itu melepaskan diri dari atas pangkuan Han Ki, berdiri gemetar sambil memegang lengan Han Ki yang kuat. "Koko... bagaimana dengan kita...? Ahh, Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku pergi... mari kita minggat malam ini juga..."

Han Ki menutup mulut itu dengan ciuman mesra, tidak peduli lagi bahwa perbuatannya ini kelihatan oleh pelayan yang cepat membuang muka dengan sungkan.

"Hushhh, jangan berkata demiklan, kekasihku. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali membawa jasa dan tentang masa depan kita, harap jangan khawatir... Twako Kam Liong tentu akan membantuku dan engkau akan dilamar secara resmi. Mengingat akan kedudukan dan jasa Menteri, kiranya pinangan itu takkan ditolak oleh Hongsiang. Nah, selamat berpisah, manisku. Itu peronda datang..." Han Ki melepaskan pelukannya dan hendak meloncat pergi.

"Koko ..." Ahh, Koko...!" Puteri itu merintih.

Han Ki meloncat kemibali, memberi ciuman yang mesra sekali yang seolah-olah menghisap hati dara itu, kemudian tanpa menoleh ia sudah meloncat cepat lenyap dari situ. Untung bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat sehingga munculnya peronda tidak mengakibatkan sesuatu karena peronda-peronda itu tidak melihat atau mendengar kehadiran Si Pemuda yang nekat dan berani mati karena asmara itu.

Para peronda memberi hormat kepada Puteri Sung Hong Kwi yang telah menguasai hatinya dan tanpa mengeluarkan kata-kata dara itu kembali ke kamarnya diikuti empat orang pelayannya yang diam-diam saling towel, saling cubit dan menutupi senyum dengan tangan mereka.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kam Han Ki berangkat melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya oleh Menteri Kam Liong, yaitu menyelidiki ke kota raja bangsa Yucen untuk menyusul Khu Tek San, yaitu murid Menteri Kam Liong yang diselundupkan ke Kerajaan bangsa Yucen.

Ada pun Menteri Kam Liong sendiri tak lama kemudian juga pergi seorang diri setelah mendapat perkenan Kaisar, pergi ke Khitan untuk menyelidiki kerajaan adiknya yang ia tahu terancam perang besar dengan bangsa Yucen, bahkan barisan Sung sendiri atas pimpinan panglima-panglima perbatasan yang sudah disetujui oleh Kaisar juga membantu bangsa Yucen menyerang Khitan. Ia merasa khawatir sekali, apa lagi karena ia pun tahu bahwa bangsa Mongol sedang berkembang dan selalu mengintai daerah-daerah perbatasan!

ISTANA PULAU ES (seri Ke 5 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang