Jilid 20/39

1.8K 18 0
                                    

Yan Hwa membuka matanya, lega bahwa lukanya tidak hebat. Kalau dadanya yang terkena pukulan seperti itu, agaknya dia akan tewas. Dan tahulah dia bahwa kalau Maya menghendaki dan menggunakan pukulan-pukulan dahsyat dan sakti seperti itu, tak mungkin dia dapat melawan sampai ratusan jurus. Kini dia percaya penuh. Jangankan baru dia atau suheng-nya, bahkan mendiang suhu-nya atau subo-nya sekali pun agaknya belum tentu mampu menandingi ilmu kepandaian Maya yang demikian hebatnya.

Maya menghampirinya dan menyerahkan pedang pusakanya. Yan Hwa menarik napas panjang, menerima dan menyimpan pedangnya dan berdiri dengan muka tunduk. "Maafkan aku, kini aku percaya sepenuhnya. Suheng dan aku bukanlah tandinganmu."

Mendengar ucapan yang bernada kecewa itu Maya berkata, "Tidak perlu penasaran, Yan Hwa. Ketahuilah bahwa aku adalah penghuni Istana Pulau Es, pewaris ilmu Suhu Bu Kek Siansu."

Terbelalak mata Yan Hwa memandang dan dalam pandang mata itu kini terkandung kekaguman dan sikap takluk. "Aahhhh, sungguh aku tidak tahu diri. Maya, biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu."

Maya tersenyum girang dan maju merangkul pundak Yan Hwa. Tiba-tiba mereka berdua menoleh ketika mendengar suara keluhan. Ketika memandang ke arah para perwira, mereka itu mengeluh dan menggosok-gosok mata mereka seolah-olah mata mereka sakit dan memang mata mereka terasa pedih dan gatal karena setelah pertandingan berhenti, mata mereka masih terus seperti melihat sinar kilat menyambar-nyambar menimbulkan rasa pedih dan nyeri.

Maya menghela napas, "Yan Hwa, hati-hatilah engkau menggunakan pedangmu. Pedangmu dan pedang Ji Kun adalah pusaka-pusaka yang ampuhnya menggila dan kalau kurang hati-hati atau salah mempergunakannya dapat menimbulkan mala-petaka hebat."

Yan Hwa mengangguk dan dia lalu menceritakan riwayat kedua pusaka Sepasang Pedang Iblis itu. Mendengar penuturan ini, Maya bergidik ngeri dan diam-diam ia amat khawatir akan nasib Yan Hwa dan Ji Kun yang mewarisi sepasang pedang pusaka seperti itu. Namun karena maklum akan keangkuhan mereka, dia tidak mau berkata apa-apa, baik terhadap Yan Hwa mau pun terhadap Ji Kun kelak.

Para perwira dan prajurit menjadi makin kagum terhadap Maya, juga menjadi girang karena pasukan mereka bertambah seorang perwira wanita yang luar biasa lihainya sehingga tentu saja hal ini membesarkan hati karena berarti kuatnya pasukan mereka.

Pasukan Maut terus bergerak ke selatan dengan hati-hati karena mereka telah mendekati batas-batas daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Sung dan Yucen. Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidik bahwa di depan, kurang lebih tiga puluh li dari situ terdapat sebuah barisan besar yang belum diketahui barisan kerajaan mana, Maya lalu menghentikan pasukannya dan menugaskan kepada Ok Yan Hwa dan Cia Kim Seng untuk pergi melakukan penyelidikan.

Berangkatlah Cia Kim Seng si bekas penggembala dan Ok Yan Hwa menunggang kuda melakukan penyelidikan ke depan. "Cia-huciang, karena engkau lebih mengenal daerah ini, biarlah engkau yang menjadi penunjuk jalan, aku ikut di belakangmu," kata Yan Hwa di tengah jalan.

Cia Kim Seng memandang dengan wajah berseri. Biar pun dalam ilmu silat wanita ini amat angkuh dan keras hati tidak mau kalah, akan tetapi dalam hal lain cukup jujur dan berwatak gagah, maka ia menjawab, "Baiklah, akan tetapi tentang keselamatanku di jalan, aku sepenuhnya mengandalkan perlindunganmu."

"Jangan khawatir, Cia-huciangkun aku akan selalu menjaga."

Mereka membalapkan kuda dan setelah melakukan perjalanan belasan li jauhnya, mereka tiba di padang rumput. Dari depan nampak mengebul debu tebal dan tinggi. Mereka menahan kuda dan Cia Kim Seng mengerutkan alisnya yang tebal sambil memandang ke depan penuh perhatian. Tak salah lagi, di sana terdapat barisan besar yang sedang berperang. Entah barisan mana yang agaknya sedang mengundurkan diri ke sini itu.

Tiba-tiba Yan Hwa berseru keras, "Awas belakangmu!"

Cia Kim Seng membalikkan kuda dan pada saat itu terdengar gonggongan anjing yang riuh-rendah. Ketika mereka memandang, banyak sekali serigala keluar dari padang rumput. Demikian banyaknya sehingga kuda yang ditunggangi dua orang itu meringkik-ringkik ketakutan.

"Kita lari...!" Cia Kim Seng berteriak.

"Jangan! Percuma, kuda-kuda kita akan dapat disusulnya. Tunggu!" Yan Hwa berseru karena ia melihat penglihatan yang amat aneh. Di antara serigala-serigala itu, tampak merangkak paling depan seorang laki-laki berkepala gundul, hanya memakai celana hitam sebatas betis yang sudah robek-robek ujungnya. Laki-laki ini merangkak seperti serigala, dan mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia memimpin barisan serigala itu!

"Pergunakan cambuk melindungi diri, Cia-huciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu. Tentu dia pemimpinnya!" Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas kudanya dan langsung menerkam Si Kepala Gundul.

Manusia serigala itu tiba-tiba meloncat berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya tubuh Yan Hwa dengan kedua tangan mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk menggigit! Yan Hwa merasa ngeri, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi takut dan gugup. Sambutan serangan ini dapat ia elakkan dan kakinya terayun menendang dari samping.

"Desss!" tendangan kaki Yan Hwa tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu.

Akan tetapi ternyata dia memiliki tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya terguling, dia sudah bangkit lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras. Mendengar suara ini, enam ekor serigala menerjang maju, akan tetapi dengan mudah Yan Hwa menggerakkan kedua kakinya, menendangi binatang-binatang itu sehingga terlempar jauh.

Yan Hwa sempat melihat betapa Cia Kim Seng dikeroyok banyak serigala sehingga repot mengayun pecut ke kanan kiri tubuh kudanya yang meringkik-ringkik ketakutan. Keadaannya benar terancam bahaya. Yan Hwa maklum kalau dia tidak cepat bertindak, mereka akan terancam bahaya maut dan dia merasa enggan untuk menggunakan pedang pusakanya membunuh binatang-binatang itu! Maka ketika laki-laki gundul itu menerjangnya, ia lalu miringkan tubuh, dari samping ia mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundak yang telanjang. Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram tengkuknya.

"Cepat perintahkan anjing-anjingmu mundur, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!" Ia mengancam dan jari-jari tangannya yang halus itu mencengkeram tengkuk seperti sepasang jepitan baja!

"Aduhhh..., ampun... lepaskan aku...!"

"Lekas perintahkan anjing-anjing itu mundur atau kau mampus!"

Tiba-tiba laki-laki gundul itu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing ketakutan dan... serigala-serigala itu lalu menyalak-nyalak dan mundur teratur meninggalkan Cia Kim Seng!

Dengan muka berkeringat Kim Seng melompat turun dari kudanya. "Bunuh saja manusia serigala itu!" katanya marah.

"Ampun...!" Si Laki-laki gundul berkata.

"Aku mau mengampuni kau, akan tetapi engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan kami kalau kami butuhkan!" bentak Yan Hwa.

"Baik... baik..., aku berjanji...!"

Yan Hwa melepaskan cengkeramannya dan sambil mengeluh laki-laki itu mengelus-elus tengkuknya dan memandang dengan gentar. "Ceritakan, siapa kau?"

"Aku bernama Theng Kok, keluargaku habis karena korban perang, dan aku... sejak kecil bermain-main dengan serigala-serigala di sini, aku pandai menguasai mereka..."

"Hemm, Theng Kok. Kalau kelak kau suka membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan tetapi kalau kau tidak mau, lihat ini!" Yan Hwa mengayun tangannya ke arah sepotong batu dan hancurlah batu itu.

Muka Theng Kok menjadi pucat. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. "Aku menurut... menurut...!"

Yan Hwa lalu menangkap kembali kudanya dan melanjutkan perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu yang tampak di depan mengebul makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah debu mengebul itu dan tak lama kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu yang bergerak mengundurkan diri.

Terjadilah hal yang amat aneh dan mengherankan hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua bertemu dengan pasukan Mancu yang berada paling belakang. Pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira Mancu itu begitu bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta menjatuhkan diri berlutut, dan Sang Perwira berkata, Pangeran...!"

Lenyaplah sikap Cia Kim Seng yang biasanya sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika bertanya, "Siapa yang memimpin barisan ini?"

"Panglima Durbana, Pangeran!" jawab perwira itu penuh hormat.

"Mengapa mundur ke selatan dan kini mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?"

"Ketika kami hendak bergerak ke pantai timur, kami bertemu dengan barisan besar Yucen sehingga kami terpukul mundur ke selatan. Kemarin kami bertemu dengan barisan besar Kerajaan Sung dan setelah bertempur sehari semalam, terpaksa kami mundur..."

"Memalukan! Apakah pasukan-pasukan kita sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya mundur dan lari saja? Panggil Panglima Durbana menghadap!"

"Baik, Pangeran!" Perwira itu lalu meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan.

Ok Yan Hwa memandang 'rekannya' itu penuh takjub. "Jadi kau... kau... seorang Pangeran Mancu...?"

Cia Kim Seng menggerakkan tubuh menjura dengan membungkuk setengah badan sambil berkata, "Benar, Ok-lihuciang. Aku adalah Pangeran Bharigan yang sengaja menyamar untuk melakukan penyelidikan sendiri ke arah timur. Tidak ada waktu untuk bicara panjang, kelak tentu kujelaskan semua kepada Maya-ciangkun."

Seorang panglima datang berkuda. Dia segera melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah kaki di depan Pangeran Bharigan.

"Lekas katakan mengapa engkau mundur menghadapi pasukan Sung?!" Pangeran itu menegur dengan suara marah.

"Maaf, Pangeran. Terpaksa hamba menarik mundur barisan karena pihak musuh terlalu kuat, apa lagi dipimpin oleh Jenderal Besar Suma Kiat dan pembantu-pembantunya yang berkepandaian tinggi."

Pangeran Bharigan mengelus dagunya, kemudian menoleh kepada Yan Hwa. "Ok-li-huciang. Harap kau suka segera memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai keadaan kami yang memerlukan bantuan segera."

"Baik, Cia... eh, Pangeran Bharigan." Ok Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap meninggalkan tempat itu.

Ketika tiba di perkemahan Pasukan Maut, dengan singkat namun jelas dia menceritakan kepada Maya dan para perwira lain tentang keadaan barisan Mancu, tentang pihak musuh barisan Sung yang dipimpin Suma Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng yang ternyata adalah Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu. Mendengar penuturan itu Maya menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma Kiat, berada di depan!

"Bagus! Kita akan berpesta menghancurkan barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa penggembala domba itu ternyata seorang Pangeran Mancu!"

Pada saat Maya mempersiapkan pasukannya untuk membantu pasukan Mancu menggempur bala tentara Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah pasukan kecil, terdiri dari lima puluh orang. Maya menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan kecil itu ternyata adalah pasukan yang dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari timur setelah memenuhi tugasnya melapor kepada Panglima Laut Bu Gi Hoat yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.

Hati Maya menjadi tegang dan memandang penuh perhatian kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun, suheng dan sumoi yang bertemu di tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling pandang itu.

"Hemm..., kiranya engkau di sini?" terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak pernah melepaskan wajah sumoi-nya.

"Kalau engkau cukup berharga menjadi pembantu di sini, mengapa aku tidak?" Ok Yan Hwa menjawab pula. Suaranya mengandung ejekan dan tantangan, namun sinar matanya yang bersinar dan kedua pipi yang kemerahan itu tak dapat menyembunyikan rasa rindu dan senangnya berhadapan dengan pemuda tampan itu.

Dua orang ini aneh, pikir Maya. Untung saat itu mereka sedang sibuk menghadapi serbuan ke tempat musuh, maka segala urusan pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu berkata, "Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid-murid tersayang dari Bibi Mutiara Hitam! Suma Kiat adalah musuh besar kita karena dialah yang menjadi biang keladinya sehingga Menteri Kam Liong, uwa guru kalian, tewas secara menyedihkan. Semenjak dahulu, keturunan Suma selalu melakukan kejahatan, dan kini tiba saatnya bagi kita untuk membersihkan dunia dari keturunan jahat itu. Ji Kun, engkau memimpin pasukan sayap kiri, dan Yan Hwa memimpin pasukan sayap kanan. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya langsung dari depan bersama pasukan-pasukan Mancu. Kalian berdua jangan ikut menerjang maju karena tugas kalian hanya menjaga kalau Si Keparat itu melarikan diri. Kalian harus mencegahnya lolos dan begitu bertemu dengan dia, lepaskan panah api sebagai isyarat."

Kedua orang suheng dan sumoi itu mengangguk.

"Jangan khawatir, Si Tua Bangka keparat Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!" kata Ji Kun sambil meraba gagang pedangnya.

"Belum tentu! Agaknya akulah yang akan berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!" Yan Hwa tidak mau kalah.

Maya tersenyum. "Kita sama lihat sajalah. Hanya, sebagai atasan kalian aku tidak akan memberi ampun kalau sampai kalian memberi kesempatan kepadanya untuk lolos."

Setelah melepas pandang mata penuh wibawa dengan sinar tajam seperti menembus dada mereka, Maya lalu tersenyum dan berkata, "Ji Kun, engkau baru datang, beristirahatlah. Aku akan mengatur barisan dan menjelang senja nanti kita berangkat."

Ji Kun mengangguk dan membalikkan tubuh menghadapi Yan Hwa. Kembali mereka itu saling pandang dengan sinar mata penuh rindu. Maya yang sudah meninggalkan mereka, tiba-tiba teringat akan pandang mata mereka itu, lalu menengok. Alisnya berkerut dan berbagai pertanyaan aneh timbul di hatinya ketika ia melihat kedua orang muda itu sambil berpegangan tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa! Jelas sekali sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka saling mencinta!

Memasuki perkemahan berdua dengan sikap seperti itu? Hemmm... diam-diam Maya makin terheran-heran mengapa di samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang sungguh tidak pantas dipegang pendekar, juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam, telah memberi pendidikan batin yang keliru sehingga kini kedua orang suheng dan sumoi itu agaknya saling mencinta, bukan seperti saudara seperguruan, melainkan seperti seorang pria dan wanita. Hemmm... tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya panas. Mengapa dia merasa tidak senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji Kun saling mencinta?

Mereka adalah dua orang muda yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah perkasa. Sedangkan dia sendiri... dia pun jatuh cinta kepada Kam Han Ki, Suheng-nya! Ah, betapa pun juga, tidak seperti mereka berdua itu yang secara terang-terangan di siang hari memasuki perkemahan berdua! Sungguh tidak patut! Itu pelanggaran susila namanya! Belum menjadi suami isteri, di siang hari, di depan mata semua anggota pasukan, memasuki perkemahan untuk bermain asmara! Benar-benar tidak pantas!

Akan tetapi... apa pedulinya? Maya mengangkat kedua pundak dan mengusir bayangan kedua orang itu dari dalam kepalanya, lalu menyibukkan diri untuk mengatur barisan yang senja itu juga akan diberangkatkan untuk bersama barisan Mancu menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat.

Barisan Mancu sendiri, setelah melihat kehadiran Pangeran Bharigan yang gagah perkasa dan kini langsung memimpin mereka sendiri, timbul semangat baru, apa lagi ketika mendengar bahwa mereka kini dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat terkenal dipimpin oleh panglima wanita bersama pembantu-pembantunya yang lihai. Segera Pangeran Bharigan yang sudah mengadakan kontak dengan Maya menyusun barisannya dan mengatur siasat yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk bersama-sama menyerbu barisan Sung pada malam hari itu.

Bala tentara Sung yang dipimpin oleh Suma Kiat itu memang kuat. Bukan hanya lengkap peralatan perangnya, akan tetapi juga besar jumlahnya dan dipimpin sendiri oleh Suma Kiat yang bukan saja amat tinggi ilmu silatnya, juga amat pandai mengatur barisan dalam perang. Apa lagi, di sampingnya terdapat pembantu-pembantunya yang lihai, di antaranya yang menjadi pembantu utamanya adalah selir mudanya sendiri, selir cantik jelita yang amat dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak pernah terpisah dari sampingnya semenjak dahulu tertangkap basah bermain gila dengan puteranya, Suma Hoat yang kemudian diusirnya.

Bu Ci Goat yang telah mewarisi ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada Siangkoan Lee murid tunggal jenderal itu, selain menjadi pembantu utama yang boleh diandaikan juga merupakan satu-satunya yang dapat menghibur dan menyenangkan hati Suma Kiat di mana dan kapan saja. Selain selir mudanya ini, tentu saja orang kedua yang dapat ia andalkan adalah muridnya sendiri, Siangkoan Lee yang kini juga merupakan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Semenjak Suma Kiat berhasil mempengaruhi Kaisar untuk mencelakai orang yang amat dibencinya, yaitu Menteri Kam Liong sehingga musuhnya itu tewas bersama muridnya karena dikeroyok pasukan pengawal, Suma Kiat merasa hidupnya tidak tenang dan tidak tenteram lagi.

Kebenciannya terhadap Kam Liong yang sesungguhnya masih keluarganya sendiri adalah kebencian yang timbul semenjak dia masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia selalu mempunyai anggapan bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang selalu memusuhinya dan menghalanginya. Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara misannya sendiri. Dia tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi perbuatannya, menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, terutama Menteri Kam Liong, sedangkan dia selalu mengumbar nafsu dan tidak segan melakukan perbuatan yang amat jahat.

Memang demikianlah keadaan manusia yang belum sadar batinnya, sukar sekali untuk dapat mengenal kekurangan pada diri sendiri. Orang yang belum sadar selalu tinggi hati, terlalu tinggi menghargai diri sendiri, selalu merasa sebagai orang terbaik, terpandai, dan segala sifat baik yaitu diawali 'ter' lagi karena dia mempunyai perasaan lebih dari pada siapa pun di dunia ini. Mereka paling pandai, paling baik, paling benar karena itu paling patut dianugerahi, paling patut dikasihani, dan lain-lain.

Orang yang belum sadar batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan dirinya sehingga dia menjadi terbiasa dan mabok, tanpa disadarinya menyeret dia menjadi hamba nafsu keakuannya, pertimbangan akalnya miring dan budinya digelapkan. Sebaliknya, manusia yang sudah sadar batinnya akan selalu berhati-hati dalam setiap sepak terjangnya, setiap kata-katanya, selalu mawas diri dan meneliti diri pribadi agar setiap perbuatannya tidak akan menyusahkan atau merugikan lain orang hanya demi keuntungan diri sendiri.

Menilai diri sendiri lebih dulu yang dianggap jauh lebih penting dari pada menilai diri orang lain dengan kesadaran bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG MELANDA DIRI BERADA DI DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar batinnya, setiap kali tertimpa sesuatu hal, baik yang menyenangkan mau pun yang menyusahkan, selalu akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk mencari sebab musababnya sebelum mencari sebab-sebab itu di luar dirinya
.

Ketika menteri Kam Liong masih ada, Suma Kiat yang menjadi jenderal dan menduduki kursi panglima itu merasa tidak bebas, seolah-olah sepasang mata saudara misannya yang tajam itu selalu mengikuti dan mengawasinya. Dia selalu beranggapan bahwa kalau Kam Liong sudah dibinasakan, tentu akan merasa senang dan bebas, merasa tidak ada musuhnya lagi.

Akan tetapi, setelah keadaan membantunya, yaitu keadaan yang ditimbulkan oleh hubungan cinta antara Kam Han Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia berhasil melenyapkan Menteri Kam Liong yang dibencinya, bukan kesenangan dan kebebasan yang didapatnya, melainkan sebaliknya!

Kematian Menteri Kam Liong itu membangkitkan kemarahan di hati banyak pembesar dan terutama di hati orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga Suma Kiat malah dimusuhi banyak orang! Sudah banyak orang gagah berusaha menjatuhkannya, dan biar pun dengan kepandaian dan kedudukannya dia berhasil mengalahkan mereka, namun dia selalu merasa tidak tenteram dan tidak aman.

Pemberontakan-pemberontakan yang timbul karena terutama sekali disebabkan oleh kematian Menteri Kam Liong membuat Suma Kiat merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di mata Kaisar, maka dia sendiri yang memimpin pasukan untuk membasmi para pemerontak.

Di dalam melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi oleh selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan, juga oleh muridnya, Siangkoan Lee. Dengan adanya dua orang pembantu ini, bersama pasukan yang kuat dan besar, dia merasa agak aman sungguh pun dia selalu berhati-hati meneliti para pembantu di kanan kirinya, kalau-kalau ada di antara mereka yang menjadi pengagum mendiang Menteri Kam Liong dan merupakan orang berbahaya baginya.

Ketika tiba di perbatasan utara dan bertemu dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat segera mengerahkan pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu ke utara kembali. Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan pesta dan pencatatan pahala bagi para perwira dan tentaranya. Sehari itu pula dia sendiri bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta sambil memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Namun penjagaan tetap dilakukan dengan ketat dan para penyelidiknya tetap melakukan penyelidikan di sekitar daerah itu untuk mengawasi gerak-gerik musuh.

Tentu saja Suma Kiat yang memandang rendah pasukan Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang telah dipukul mundur itu sehabis menderita kekalahan dari pasukan-pasukan Yucen, kini bangkit kembali semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada di tengah mereka. Apa lagi karena pasukan Mancu ini percaya akan kekuatan Pasukan Maut yang dipimpin Panglima Wanita Maya yang membantunya dan telah mengatur siasat untuk menyerbu barisan Sung di malam itu. Yang didengar oleh Suma Kiat dari para penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak lagi melarikan diri, melainkan menghentikan gerakan mereka lari dan kini agaknya sedang menyusun kekuatan dan membuat perkemahan di lereng bukit.

Mendengar itu Suma Kiat tertawa dan memberi perintah kepada para perwiranya, "Biarkan mereka hari ini. Kalau kita menyerbu, selain pasukan kita masih lelah juga kedudukan mereka di lereng membuat mereka kuat dan tentu kita akan mengorbankan banyak prajurit. Biarkan prajurit-prajurit kita beristirahat. Tentu mereka malam ini akan melakukan penyerbuan balasan, dan kita siap untuk menyambut dan menghancurkan mereka. Ha-ha-ha!"

Setelah memberi perintah, Suma Kiat menggandeng tangan selirnya memasuki kamar. Setelah menutupkan pintu kamar, langsung ia memeluk, memondong dan menciumi Bu Ci Goat penuh nafsu, membawanya ke pembaringan.

Akan tetapi Ci Goat melepaskan diri dan berkata, "Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya mereka menyerbu. Mengapa engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan waktunya untuk kita bersenang-senang."

Suma Kiat memandang selirnya yang muda, merangkulnya dan tertawa. "Ah, mengapa engkau pusingkan hal itu? Melawan sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul mundur, apa bahayanya? Biarkan mereka mengira bahwa kita lengah, dan biarkan mereka malam ini menyerbu untuk menemukan maut, seperti sekumpulan nyamuk menerjang api, ha-ha-ha! Ci Goat, engkau semakin manis saja!" Ia memeluk dan menciumi lagi, dan kini Ci Goat tidak menolak, bahkan membalas dengan belaian yang dapat memabokkan jenderal tua itu.

Akan tetapi sepasang alis wanita itu agak mengerut. Dia tidak melayani pencurahan kasih sayang suaminya dengan sepenuh hati karena hanya tubuhnya saja yang melayani, akan tetapi hati dan pikirannya penuh kecewa dan terbayanglah wajah tampan seorang perwira muda yang sebetulnya selama ini telah direncanakan untuk menjadi temannya melewatkan malam dingin!

Memang, di samping kecerdikan Suma Kiat sebagai seorang panglima perang, dia memiliki kelemahan. Menghadapi selir mudanya ini, dia seolah-olah buta tidak melihat kenyataan betapa selirnya ini hanya berpura-pura saja puas mempunyai suami yang jauh lebih tua, akan tetapi sebenarnya secara diam-diam dia cerdik. Setiap ada kesempatan, Bu Ci Goat selalu mencari teman bersenang-senang melewatkan malam dengan perwira-perwira muda yang jauh lebih muda, tampan dan memuaskan dari pada suaminya!

Penyelewengan Bu Ci Goat ini hanya diketahui oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi orang muda muka buruk seperti kuda ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam hal seperti itu. Dengan modal wajah cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat berhasil membuat Siangkoan Lee terpeleset ke dalam pelukannya dan menikmati cinta kasih birahinya! Hal ini bukan dilakukan oleh Ci Goat karena dia suka kepada Siangkoan Lee, sama sekali bukan. Mana mungkin seorang wanita hamba nafsu birahi seperti dia tertarik kepada seorang pemuda yang mukanya seperti kuda itu?

Dia sengaja menyerahkan diri kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa murid suaminya ini telah mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan Lee telah diberi kesempatan bermain cinta dengannya, tentu saja pemuda ini tidak lagi berani mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma Kiat, sebab dia sendiri merupakan seorang di antara mereka yang berani mencemarkan kehormatan Sang Panglima!

Suma Kiat adalah seorang panglima perang yang cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tentu saja dia pun bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita seperti Ci Goat, yang pernah mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya itu dia usir, akan dapat melayani dia seorang diri tanpa jemu. Dia menduga bahwa kalau ada kesempatan pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu birahinya yang tak kunjung padam dan puas itu dengan pria-pria muda dan tampan. Akan tetapi dia tidak mau peduli, yang penting tidak menyolok di depan matanya!

Memang, seorang pria seperti Suma Kiat yang tak tahu diri, adalah sebodoh-bodohnya orang. Dia pun menjadi lengah oleh nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia bersenang dengan selirnya, ada beberapa orang perwiranya yang mengadakan pertemuan rahasia dan saling berbisik-bisik mengatur rencana. Mereka itu bukan lain adalah para perwira yang sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi, yaitu Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu pernah menjadi rekan Khu Tek San. Mereka ini diam-diam mendendam atas kematian Menteri Kam Liong dan perwira Khu Tek San. Mereka itu hanya menanti saat baik, dan mendengar betapa pihak Mancu mengadakan persiapan, diam-diam mereka menanti saat itu untuk mereka pergunakan apa bila keadaan memungkinkan.

ISTANA PULAU ES (seri Ke 5 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang