Pagi sekali, aku melihat dia pergi dari rumahnya menggunakan baju seragam berwarna oranye. Ia berjalan sepanjang kampung dengan membawa sapu lidi ditangannya. Sekali – kali dia menyapa orang disekelilingnya.
''Pagi, Buk?'' sapanya kepada salah seorang warga.
''Pagi'' balas warga itu sambil tersenyum kepadanya, sebagaimana dia juga.
Aku melihatnya, dia ramah, dan tidak sombong. Aku mengikutinya sampai akhirnya dia berhenti dipinggiran jalan raya tempat pejalan kaki. Dia mulai menyapu jalanan ketika sedang sepi dilalui kendaraan. Sekali – kali dia mengutip dedaunan yang berjatuhan.
Semakin terik, semakin banyak bercucuran keringat diwajahnya. Dia lalu beristirahat dan duduk disekitaran pinggiran jalan dibawah pohon besar.
Aku melihat sebuah mobil berjalan perlahan, dan lalu seperti membuang sebuah sampah plastik. Perasaan kesal dihatiku membara bagaikan lava, namun si Ibuk tadi hanya tersenyum dan mengambil sampahnya, lalu membuangnya. Sungguh hatiku sangat tersentuh melihatnya.
Dia sesekali menghapus keringat diwajahnya. Hatiku benar – benar sangat tersentuh melihat Ibuk itu. Aku pergi membeli minum botol dan lalu menghampirinya.
''Hai, Buk?'' aku menyapanya sambil tersenyum.
''Hai, nak'' balasnya dengan halus.
''Ibuk lelah? Nih saya membawakan minum untuk Ibuk'' aku memberinya minuman yang aku belikan tadi.
Dia tersenyum, ''tidak usah, Nak'' dia menolak.
''Sudah Buk, tidak apa. Terima saja ya Buk?'' aku memaksanya agar mau menerima minuman itu.
''Yasudah, terimakasih ya, Nak'' dia menerimanya.
Aku senang melihat Ibuk itu menerima pemberian dariku. Tapi beberapa saat setelah ia mengambil minum dari tanganku tadi, aku melihat dia menyiramkan minum itu kepada sebuah pohon tempat dia berteduh sampai habis setengah botol.
Aku heran. Mengapa dia menyiramkan minuman itu ke pohon.
''Kenapa Buk? Kok disiram ke pohon?'' aku bertanya.
''Dia haus'' balasnya sambil tersenyum. Dia yang dimaksud adalah pohon besar tadi.
Aku semakin terheran dengan kata – katanya.
''Maksudnya?''tanyaku, sembari mulai duduk disampingnya.
''Hari ini panas, dan dia butuh minum. Karena belum tentu pejabat berdasi sekalipun memberi minum pada pohon. Pohon itu makhluk hidup dan membutuhkan air, sama seperti manusia'' jelasnya
Aku tersenyum sangat terharu. Karena ku tau dia itu miskin, susah, tapi masih sempat – sempatnya memberikan air kepada pohon. Padahal dia lebih membutuhkannya.
''Selagi bumi membutuhkan saya, saya sanggup menolong.''
''Iya, Buk'' balasku sambil menyimak kata – katanya.
Aku belajar dari Ibuk itu. Dia mencintai pohon, karena dia bilang pohon juga makhluk hidup. Dia membutuhkan minum, sama seperti manusia. Kesusahan tidak menjadi hambatan untuk menolong bumi. Karena katanya, bumi lebih banyak menolong manusia, ketimbang manusia menolong bumi.