Sore itu hujan. Seorang gadis keluar dari gedung kantornya, berjalan menerobos hujan yang masih rintik-rintik. Tangannya yang memegang map terangkat, berusaha menutupi kepala dari air hujan. Suara ketukan heels yang dipakainya tersamarkan dengan suara kendaraan yang berlalu-lalang. Jakarta selalu macet, apalagi saat jamnya pulang. Semua kendaraan keluar, berlomba-lomba mengantar semua orang sampai ke rumah masing-masing dengan selamat.
Gadis itu melangkah menuju halte, hendak menumpang bis saja agar sampai di rumah lebih cepat. Lagi pula, jalur bis kosong saat ini. Sebenarnya, dia bisa saja memesan ojek online, tapi cuaca dan kemacetan yang tidak bersahabat menggugurkan niatnya.
Tarikan napas lega terdengar saat gadis itu sampai di halte. Dia berdiri diam, mengetukkan kakinya tidak sabaran sembari menunggu bis. Sementara hujan turun semakin deras, suara kendaraan yang bersahutan juga semakin berisik.
Menengadahkan kepala, dia memeluk diri sendiri.
"Nunggu bis juga, Mbak?" Suara seorang pria terdengar dari sampingnya.
Gadis itu menganggukkan kepalanya kikuk. Pasalnya, di dalam halte ini cuma ada dirinya dan pria itu. Dari tampangnya, pria itu memang tidak seperti orang jahat yang dia lihat atau dia bayangkan. Tapi, pria ini patut dicurigai juga, kan?
"Pulang kerja, Mbak?" Pria itu bertanya lagi.
Sang gadis mengangguk lagi, tersenyum kikuk, masih belum menengok.
Tanpa diduga, sang pria tertawa.
"Jangan tegang-tegang gitu lah, Mbak. Saya nggak kayak yang di pikiran Mbak, kok," kata pria itu, menjawab semua ketakutannya.
Gadis itu tersenyum sedikit. "Maaf ya, Mas," katanya malu. Sang gadis baru berani menoleh, menatap pria di sampingnya. Ternyata, pria ini cukup tampan, good-looking. Dia jangkung, berkulit kecokelatan, agak kurus, dan rambutnya ikal warna hitam, agak panjang sampai menyentuh tengkuk. Senyumnya manis, memperlihatkan dimple di kedua pipinya, dan sepertinya dia juga mempunyai darah campuran, karena matanya berwarna cokelat.
"Kerja di kantor itu, Mbak?" tanyanya lagi, agak mengedikkan dagu ke arah kantor yang letaknya tidak jauh dari halte.
Gadis itu hanya mengangguk.
"Jadi apa?"
"Staf akunting."
"Wah, hebat, dong. Berarti bisa jadi istri yang baik mengurus perbendaharaan, dong?" goda pria itu.
Gadis itu mulai rileks, membalas dengan tawa kecil. "Bisa jadi, bisa jadi," jawabnya sambil mengangguk-angguk. "Situ sendiri, lagi sibuk skripsi, ya?"
"Hah?" Pria itu tertawa, tak percaya dengan pemikiran si Mbak. "Skripsi?"
"Iya. Si Mas-nya masih kuliah, kan?"
Sang pria menunduk melihat dirinya sendiri, lalu menatap gadis itu lagi sambil tersenyum geli.
"Apa?" tanya sang gadis.
"Saya dokter."
Membelalak tak percaya, gadis itu tergagap bertanya, "Hah? B-beneran?"
Sang pria tersenyum geli. "Emang nggak keliatan, ya?"
"Ya mana keliatan, wong bajunya biasa aja kayak gitu, kok, cuma jeans sama sweater," sahut sang gadis sewot, sebal karena perkiraannya salah. Dia kira, pria ini mahasiswa tingkat akhir, atau bahkan murid SMA, yang sukanya godain tante-tante gitu. Yah, brondong-brondong nakal, lah. Tapi dia ternyata sudah lulus kuliah! Dokter, pula.
Malu aku.
"Ya iya, sih," pria itu menggaruk kepala sambil terkekeh geli. "Rumahnya di mana, Mbak?"
"Blok M sonoan dikit."
Sang pria mengangguk. "Jauh juga, ya."
"Si Mas juga mau pulang?" Gadis itu bertanya balik, sekadar merasa wajib. Padahal, dia juga tidak terlalu peduli.
"Nggak, saya mau ke rumah sakit."
Mata gadis itu kontan membelalak. "Mau ke rumah sakit? Kenapa nggak cepet-cepet? Nanti kalo orangnya tambah parah sakitnya gimana? Mau saya pesenin ojek online aja, biar cepet sampai ke sana?" sambar sang gadis panik sambil cepat-cepat mengambil ponselnya.
Pria itu tertawa. "Nggak kok, nggak ada yang urgent banget sampai saya harus cepet-cepet. Lagian saya tadinya mau jalan-jalan dulu, makanya berangkat lebih awal. Eh, taunya malah hujan."
Sang gadis bisa bernapas lega.
"Omong-omong tentang hujan, apa perspektif Mbak?" tanya pria itu tiba-tiba.
"Hem?" Gadis itu menelengkan kepala. "Tentang hujan?"
Pria itu hanya mengangguk.
"Mmmm..." gadis itu mendongak, menatap bulir-bulir hujan yang mengalir di kaca halte. "Entahlah. Dingin, basah, dan menyebalkan, mungkin? Saya nggak punya kenangan khusus sama hujan, sampai bisa memengaruhi perasaan kayak kebanyakan orang lain lakukan, tapi saya cukup menyukai hujan," jawab gadis itu akhirnya. "Kalau Mas, gimana?"
Pria itu juga sedang melakukan hal yang sama dengan yang tadi sang gadis lakukan. Dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam kantong celana, kepalanya mendongak, menatap aliran air yang menganak-sungai di kaca halte.
"Saya benci hujan," pria itu akhirnya mengaku. "Hujan membuat saya jadi inget tentang kenangan yang nggak seharusnya saya inget. Kalau hujan turun, saya biasanya nyari kesibukan biar nggak nyadar kalau hujan turun." Pria itu terkekeh geli, entah mengapa. "Makanya, tadi saya ngajak Mbak ngobrol. Maaf kalo bikin Mbak takut, ya."
Gadis itu mengangguk. "Ah, I see."
Senyuman menggoda terbit di bibir pria itu. "Tapi, Mbak teman ngobrol yang asik, kok."
Gadis itu memutar bola mata. "Saya anggap itu sebagai pujian. Makasih, lho."
"Sebenernya saya mau ngobrol lagi sama Mbak, tapi kayaknya kita harus pisah di sini," ucap pria itu ketika melihat bis biru Trans-Jakarta melaju menuju halte.
"Ah, iya." Gadis itu mengangguk. "Mas nggak naik sekalian?"
"Bis ini bukan jurusan saya."
"Oh." Gadis itu mengangguk lagi. "Jadi, kita beneran pisah di sini?"
Sang pria mengulurkan tangan. "Nama?"
Sang gadis hanya tersenyum. "Pertemuan selanjutnya, mungkin?"
Sang pria ikut tersenyum. "Saya percaya sama takdir."
Sore itu, di tengah guyuran hujan rintik-rintik, sebelum pintu bis tertutup, kedua insan Tuhan sedang tersenyum kepada satu sama lain, dengan keyakinannya pada takdir.
Hanya bisa bergumam dalam hati, see you next time.[]
---
Maaf ya dipublish di sini lagi, soalnya kalau mau saya jadiin novel, saya malah stuck soalnya cerita ini emang saya niatin jadi short story dari awal hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
refresher
DiversosOne shot stories. [] Untuk kalian yang pernah bersama dengan dia, mencicipi kebahagiaan bersama, saling membahagiakan satu sama lain, sebelum tahu bukan dialah yang patut kamu perjuangkan. Tapi meskipun begitu, dia pasti selalu ada di dalam sudut...