Part 6 Pertimbangan

403 31 0
                                    


Sudah dua hari Mika ada di apartemen ditemani suster Rani. Mas Adam datang dan pergi tanpa suara dan peringatan ke apartemennya.

Bahkan di hari kedua Mika memutuskan untuk turun ke lobby dan mampir ke Gift Shop miliknya dan dia disambut dengan gembira oleh beberapa stafnya. Mika berhasil meminta suster Rani untuk tetap di apartemen untuk memasak dan itu membuatnya sedikit tenang.

Tapi Mas Adam barusan menelepon dan bertanya mengapa dia tidak bersama suster Rani. Mika mendesah. Seharusnya dia tahu, suster Rani adalah kaki tangan Mas Adam. Mas Adamlah yang menggajinya jadi tentu saja dia akan melaporkan apa saja yang terjadi dengannya kepada sang majikan, di mana pun dia berada.

Jika sudah begini Mika betul betul merasa diperlakukan seperti anak kecil yang tidak kompeten dan itu membuatnya sangat kesal.

Mas Adam memutuskan untuk makan siang dengannya. Dia tidak meminta, tidak menawarkan, melainkan langsung memutuskan. Karena dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Mika baik baik saja.

Mika terpaksa mengiyakan demi meyakinkan Mas Adam bahwa dia memang betul betul dalam keadaan baik.

Mas Adam mendorong kursi rodanya menuju Warung Kita yang terletak di sudut lantai dasar apartemen mereka, tak jauh dari Gift shopnya. Tadi, beberapa pelanggan yang kebetulan sedang ada di toko, terang-terangan memperhatikan Mas Adam dengan wajah penuh kekaguman dan membuat Mika merasa harus cepat-cepat pergi dari sana.

Mika memesan sop buntut sementara Mas Adam memesan nasi Bali. Lalu setelah waiter pergi membawa pesanan mereka, Mas Adam duduk tegak sambil menatapnya.

"Jadi kamu sudah betul-betul sehat?"

"Lihat sendiri, kan? Aku baik baik aja. Suster Rani juga pinter masak jadi aku makan dengan teratur sekarang."

Mas Adam mendesah. "Kau seharusnya lebih memperhatikan diri kamu sendiri, Mika. Apa susahnya makan 3 kali sehari, sih?!?"

"Iya! Iya! Ini juga udah 3 kali kok makannya. Suster Rani disuruh pulang aja ya, Mas Adam. Aku sudah bisa sendiri kok," rayunya sambil menatap lelaki yang mendadak mengeras wajahnya itu.

"No." jawabnya pendek. Lalu mereka terdiam karena minuman pesanan mereka datang.

"Look, Mika. Aku sudah menimbang nimbang untung dan ruginya." ujar Adam tiba tiba.

Mika mengangkat kedua alisnya. "Tentang?"

"Tentang kita Mika. Aku tidak bisa begini terus sama kamu. Itu melanggar aturan dalam agama kita."

Mika menunggu. Jujur dia tak mengerti arah pembicaraan Adam. Adam memperhatikan wajah polos gadis di hadapannya dan mendesah. Tiba tiba saja merasa sangat gugup dengan usul yang akan diajukannya. Padahal kemarin malam, pada saat akhirnya dia membuat keputusan besar itu, dia merasa yakin sekali.

Perdebatan tanpa henti antara dirinya dan Ayah selama di Bogor sudah membuat kekesalan Adam memuncak.

Ayahnya terlalu menyetir hidupnya. Terlalu menekan dirinya dengan alasan demi kebaikannya.

Kalau semua desakan ayahnya memang untuk kebaikan dirinya, mengapa Adam tidak merasakan ada kebaikan sedikit pun baginya?

Yang ada dia lebih sering merasa dipojokkan dan dibuat tidak nyaman jika menolak apa pun permintaan ayahnya.

"Maksudnya mas Adam apa, sih? Apanya yang melanggar aturan agama kita?"

"Us! Like this! Berdua-duaan padahal kau bukan mahromku!"

"Oh!"

"Kok Oh? Menurut kamu gimana?"

"Aku gak pernah menyangka Mas Adam akan kerepotan mengurusiku terus, sih. Aku minta maaf sudah banyak menyusahkan."

Hati Tak Bisa Dipaksa, Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang