Part 3 The Drum Major

775 36 0
                                    


Tahun ini adalah tahun terakhir Adam di SMA. Tahun terakhirnya menjabat sebagai drum major di kelompok marching band sekolahnya.

Besok marching bandnya akan pawai untuk memeriahkan ulang tahun yayasan dan karena ini adalah penampilan terakhirnya sebagai drum major maka Adam bertekad untuk tampil habis-habisan dalam acara pawainya besok.

Adam ada janji dengan Akbar dan Yusuf untuk gladi resik latihan marching band sebelum parade besok.

Jadi sepulang sekolah dia mampir ke rumah hanya untuk berganti baju lalu bergegas kembali ke sekolahnya, tak lupa menyandang gitar bolong miliknya di punggung untuk dibawa serta.

Akbar meminjam gitarnya untuk mengiringi paduan suara yang akan tampil besok malam, pada puncak acara peringatan berdirinya pesantren Bina Taqwa yang didirikan oleh mbah buyut Adam beberapa puluh tahun silam.

Tapi baru turun tangga dari kamarnya, suara ibu langsung terdengar.

"Mau kemana lagi, Adam Mahesa? Baru saja pulang sudah mau pergi lagi? Makan siang dulu, Nak?"

Seru beliau tanpa menyembunyikan nada gusar pada suaranya. Adam terpaksa menghentikan langkah tergesanya sambil menyeringai.

Di meja makan, dekat tempatnya berdiri sudah duduk orang tuanya, adiknya Ara, dan tamu istimewa mereka siang itu. Partner bisnis ayahnya yang dikenalnya sejak dia bayi. Papa Kevin dan Mama Ayas.

"Beri salam pada tamu dulu, Adam!"

Tegur ayahnya dengan suara lembut tetapi tegas. Suara yang tak mungkin bisa dibantahnya. Adam terpaksa menurunkan gitar dari punggungnya yang kemudian disandarkan ke anak tangga terbawah lalu berjalan pelan menghampiri meja makan yang penuh dengan aneka hidangan khas Sunda. Lalu dengan patuh dia menghampiri tamu mereka untuk mencium tangannya.

Ia sedikit terkesima melihat seorang gadis bertubuh mungil yang duduk di sebelah adiknya. Grace! Kapan mereka terakhir bertemu? Setahun lalu? Dua tahun?

"Adam kok diam aja ketemu calonnya. Disapa dong, sayang? Susah-susah Mama ajak Grace ke sini jangan dicuekkin dong?"

Itu suara nyaring Mama Ayas yang membuat wajahnya spontan merah padam.

Orang satu meja itu tertawa geli mendengar candaan Mamanya, tapi bagi Adam itu sungguh tidak lucu. Calonnya? Apa sih maksudnya? Dengan perasaan tidak nyaman Adam melirik kepada gadis itu lalu menganggukkan kepalanya sekilas.

"Hai Grace,"

Ujarnya lirih. Gadis bermata bening itu membalas sapaan kakunya dengan senyuman paling manis sedunia tapi Adam tak sempat mengagumi senyuman semanis madu itu. Tak sempat memperhatikan tatapan mata beningnya juga. Karena tiba-tiba saja dia merasa sangat gugup.

Dia buru-buru membalik tubuhnya membelakangi mereka untuk mengambil gitarnya lalu berjalan secepat yang dia bisa untuk menghindari ruangan yang dipenuhi canda tawa yang membuatnya merasa canggung itu.

Tidak mempedulikan teriakan ibunya untuk makan siang dulu sebelum pergi atau pertanyaan Papa Kevin tentang mau ke mana dia hari itu.

Sorenya Adam bertemu ayah dan papa Kevin saat hendak solat Asar di masjid desa dan ayah memintanya untuk pulang karena ibunya ingin dia mengantar Grace ke kebun anggrek.

Grace dan mamanya akan membantu mendekor panggung dan aula dengan bunga untuk puncak acara besok.

Meski jengkel Adam terpaksa menuruti perintah ayahnya.

Grace sudah menunggu di teras depan ketika Adam muncul sore itu dengan kening berkerut dan muka cemberut. Secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya karena diminta Ibunya menemani Grace ke kebun Anggrek padahal setelah gladi resik marching band dia masih harus berlatih dengan Kwadran A untuk pertunjukan perkusi di malam puncak perayaan ulang tahun yayasan.

Hati Tak Bisa Dipaksa, Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang