Sartini Menghilang

245 24 56
                                    

Talu-taluan kentongan riuh memekakkan udara malam Dusun Pakuan. Titik-titik cahaya obor berkelip menerobos malam mendingin di kaki gunung. Teriak-teriakan pemuda menyusuri tepi hutan. Sartini menghilang.

Ibunya meraung-raung histeris. Pakaian Sartini ditemukan tersobek di celah pagar semak belukar pembatas tebing curam.

"Sabar lah, Marjinah! Anakmu akan ditemukan." Tinah mencengkram tangan Marjinah yang terus mencakar tanah. Marjinah terus meraung. Seperti hilang akal dia menangis sejadi-jadi. Parijan, suaminya, duduk lemas di tepi balai bambu di ruang dapur. Sobar dan Danu bersamanya.

"Bagaimana mungkin ini terjadi, Ya Gusti! Anakku ...Tini, anakku!" Marjinah terus histeris. Para tetangga dan kerabat ramai mendatangi rumah Sartini. Sartini menghilang.

Tiga hari lalu Sartini diundang menari di pernikahan putri pertama Juragan Wira. Dia mengenakan kebaya merah dengan riasan khas ronggeng yang membuatnya kian bersinar di atas pentas. Semua orang membicarakannya. Kemolekan Sartini memang telah menjadi pujaan semua pemuda bahkan hingga dusun sebelah. Pembahasan tentangnya tidak akan habis meski malam berganti pagi.

Para juragan dan saudagar berebut memanggilnya ketika hendak membuat perayaan. Pesta panen, pernikahan, khitanan, atau sekedar syukuran keberhasilan juara adu domba. Sartini tidak pernah sepi kerjaan. Panggilan menari bahkan telah diterimanya dari Bupati di kota sana.

Sekali dia pernah menari dalam perayaan hari jadi kabupaten di atas panggung yang besarnya sebanding lapangan tenis. Gemuruh penontonnya sudah seperti suara air bah dari gunung, seperti longsor di tebing curam. Sartini memang cantik. Pantas jika Saudagar Sardi dan Juragan Pedro (begitu orang biasa memanggilnya) memperebutkannya, seperti kata orang.

***

Sartini berpamitan pada ibunya sebelum pergi menari.

"Bu, Tini mau pergi dulu, ya. Ibu baik-baik di rumah. Bapak jangan lupa disuruh minum obat biar penyakitnya tidak kambuh lagi!" Sartini mencium tangan ibunya. Kemudian dibalas kecupan di kening oleh ibunya.

"Hati-hati, ya, Nduk! Pandai-pandailah jaga diri! Mbok mu ini masih pengen lihat anaknya kawin," gurau ibunya sambil meneruskan pekerjaannya membuat kue wijen.

Ibunya menjajakan kue wijen setiap hari. Bapaknya sakit-sakitan sehingga sudah tidak mampu merawat kebun. Ponijan, adiknya yang menggantikan bapak menjaga kebun setiap sepulang sekolah.

Seperginya Sartini, Marjinah termenung sejenak, lupa pada kuenya yang masih setengah tercetak. Sepintas ada sesuatu dalam hatinya yang ingin mencegah kepergian Sartini. Entah kenapa, bayangan Sartini yang lamat-lamat memudar di telan jarak memberikan peri tersendiri pada jantung tuanya yang mudah lelah. Marjinah menyambat Tuhan. Mendoakan anak gadisnya agar selalu terlindungi.

"Bu, Sartini sudah berangkat?" Parijan tergopoh-gopoh keluar dari kamar.

"Sudah, Pak. Bapak mau kemana? Mbok, yo istirahat saja toh, Pak!"

"Bapak bosan, Bu. Ingin cari angin sebentar. Sambil lihat istriku yang cantik bikin kue wijen. Hehe." Marjinah tersipu. Di usianya yang tidak muda lagi, mendapat pujian seperti itu dari suami merupakan humor tersendiri bagi Marjinah.

Hening sejenak. "Bu, kok Bapak, merasa tidak enak hati, ya, Bu?" tanya Parijan sambil ringkih terduduk di balai bambu.

Seketika Marjinah tercenung. Bulu kuduk di lengannya berdiri. Hatinya juga merasakan sesuatu, begitu juga suaminya. Apa maksudnya ini? Hatinya diam-diam bertanya. Dia ingat sosok Sartini. Tiba-tiba dia khawatir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sartini MenghilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang