"Tapi aku masih ragu. Takut nanti dia menolakku ...."
Aku menekur, menatap lantai ruangan dengan gamang. Semua karyawan yang lain, sudah pulang lebih dulu. Sementara, aku dan Fikri masih berbicara dari hati ke hati, di ruanganku.
Mendengar keraguanku. Fikri tersenyum arif. Dia menepuk bahuku pelan.
"Mintalah petunjuk dari Allah. Dengan sholat Istikahroh. InsyaAllah, kamu akan mendapat jawaban dari semua keraguanmu."
Fikri tersenyum lebar, seakan hendak mengalirkan semangat yang membara di jiwaku."Terima kasih, Fikri. Akan kucoba malam nanti," ucapku penuh tekad.
Fikri mengangguk puas. Kemudian kami melangkah beriringan meninggalkan ruangan kantor.
---------
Setiap di pertigaan malam, aku bangun untuk menunaikan sholat malam. Bermunajat, memohon petunjuk dari Allah. Setelah seminggu lebih melakukan sholat Istikharoh. Jiwaku terasa lebih tenang. Terasa ada sedikit kekuatan, yang mendorongku untuk segera mengambil keputusan.
"Bagaimana Rud, sudah ada keputusan?" tanya Fikri, suatu kali.
Aku hanya tersenyum misterius. Sengaja tidak menjawab pertanyaannya. Namun, diam-diam aku sudah menyiapkan sebuah rencana. Dan untuk saat ini, aku belum berniat untuk menceritakannya kepada Fikri. Ya, sebuah rencana yang akan memberi pengaruh besar dalam kehidupanku, selanjutnya.
Sementara itu, kusadari dan kurasakan, kuncup-kuncup cinta semakin bermekaran. Tanpa bisa kutepis apalagi menolak. Pesonanya begitu kuat menjeratku.
Puncaknya, ketika kami sedang membahas rancangan proyek berdua. Tak sengaja dia menjatuhkan pena. Benda itu jatuh menggelinding tepat di ujung sepatuku. Reflek aku membungkuk, untuk meraihnya. Bersamaan dengan itu, dia pun ikut membungkuk, hendak mengambil penanya yang terjatuh. Ops! Hampir saja, jemari kami bersentuhan. Untungnya tidak kesampaian. Karena dengan cepat dia menahan gerakan tangannya.
Pandangan mata kami bertemu. Sempat kulihat, semburat merah jambu di kedua pipinya. Aih ... cantiknya, jika sedang tersipu malu. Membuat hatiku semakin membuncah. Terasa hasrat untuk mengungkapkan perasaan ini, semakin besar.
Baiklah. Mungkin secepatnya, kuturuti saja saran Fikri untuk segera melamarnya. Rasanya tidak nyaman juga. Bila setiap hari berjumpa dengan perasaan harap-harap cemas begini. Bukankah, aku sudah melakukan sholat istikharoh? Dan aku sudah pasrah apapun hasilnya nanti.
Aku mulai menyiapkan sebuah kejutan. Rencananya, sore ini hendak kutinggalkan sebuah pesan manis untuknya. Tadi malam, aku sudah menulis puisi yang paling romantis. Di kertas lembar nan wangi, berwarna merah jambu. Tak lupa, di bawah puisi tersirat untaian kata untuk segera meminangnya. Pesan itu, nanti akan kuletakkan di atas meja kerjanya. Setelah semua orang pergi meninggalkan kator.
Tak sabar menunggu sore hari. Rasanya sudah tak tahan memendam gejolak ini. Seharian tadi, jantungku berdebar-debar tak menentu. Berharap semua rencanaku berjalan dengan lancar.
"Rudi. Ayo pulang ...."
Sosok Fikri menyembul di ruanganku. Sebelah tangannya masih memegang hendel pintu. Sebelah lagi, merapikan letak tali ransel di pundaknya.
"Duluan, aja, Fik. Aku mau menyelesaikan laporan ini dulu," tolakku. Pura-pura mengetik laporan di laptop. Padahal sedari tadi, laporan itu telah ku kirim ke email Presiden Direktur.
"Perlu bantuan?" tawar Fikri. Hendak melangkahkan kakinya, mendekatiku.
"Nggak usah, Fik. Pulang saja duluan. Kasihan anak istrimu, mereka pasti sedang menunggumu di rumah," tolakku, untuk yang kedua kalinya.
Mendengar jawababku, Fikri mengerutkan dahinya. Menatapku dengan tatapan aneh.
"Ada apa, Rud? Kamu seperti merahasiakan sesuatu. Apakah kamu sudah mengambil keputusan untuk Clarisa?" todong Fikri bernada curiga.
Ah ... ternyata aku memang tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari temanku yang satu ini.
"InsyaAllah, besok aku ceritakan semuanya. Sekarang, pulanglah duluan. Please ...." kataku setengah memohon.
"Baiklah. Aku pulang dulu. Assalamu'alaikum ...."
Fikri berbalik, kemudian melangkah meninggalkanku. Aku menarik nafas lega, mengurut dada. Hampir saja rencanaku gagal. Jika Fikri bersikeras untuk mengajak pulang bersama.
Ketika semua ruangan kantor telah sepi. Dengan langkah berdebar, kumasuki ruangan pimpinan. Bau harum farfum ruangan yang lembut, langsung menyergap indra penciumanku. Khas perempuan. Perlahan kudekati meja kerja. Berukuran cukup besar. Terletak di tengah-tengah ruangan. Di atasnya, tampak map-map yang tersusun rapi. Sebuah Laptop yang tergeletak malas. Dan sebagai pemanis meja, ada rangkaian bunga anggrek sintetis berserta vas mungil yang unik.
Akan tetapi. Baru saja hendak meletakkan sepucuk surat, dan setangkai mawar merah. Tiba-tiba pandangan mataku, tertuju pada sebuah kertas tebal, bersampul plastik berwarna jingga di sudut meja. Cepat kuraih kertas itu dan membacanya. Apa-apan, ini?!
Hampir saja aku terpekik karenanya. Ternyata kertas itu, sebuah undangan pernikahan. Tertulis dua nama yang akan bersanding di pelaminan. Bryan Bin Aldo dengan Clarisa Binti Hanggoro.
Seketika lututku menjadi lemas. Pandangan mataku berkunang-kunang. Kuulang-ulang mengeja nama kedua calon pengantin yang tertera. Berharap penglihatanku salah. Sungguh aku tak percaya ....
Siapa lelaki yang bernama Bryan itu? Selama ini, tak pernah sekalipun Risa atau siapapun di kantor ini, yang menyebut namanya. Biasanya setiap berita atau gosip apa saja, akan langsung tersebar seantoro kantor.
Tapi mengapa berita pertunangan atau isu-isu rencana pernikahan seorang pimpinan, tidak ada seorang pun yang mengetahui? Sekonyong-konyong undangan pernikahan Risa sudah ada begitu saja di atas meja. Sialan! Ternyata aku sudah kedulan dari Bryan. Aku mengutuk dalam hati. Apa sih, kelebihan lelaki itu? Apakah wajahnya lebih tampan dari aku?
Orang-orang bilang wajahku mirip Tom Cruise versi Melayu. Tingkat Pendidikanku pun, terbilang lumayan. Karena beberapa hari lagi, aku akan wisuda Strata Dua. Gajiku sebagai Wakil Direktur, di Perusahaan Bonafit ini, juga lebih dari cukup. Sebagai modal untuk membangun rumah tangga. Lantas, apa yang masih kurang? Kenapa dia memilih Bryan? Segudang pertanyaan yang menjengkelkan berdengung-dengung di telingaku.
Aaargh ... aku menggeram marah. Rasa cemburu yang teramat sangat, menghantam kewarasanku. Hatiku hancur berkeping. Oh ... nasib, nasib! Baru pertama kali, aku berniat hendak menjalin hubungan serius dengan wanita. Tapi kenapa begini jadinya.
Dengan langkah gontai, kuseret kaki meninggalkan ruangan pimpinan. Kuncup di hatiku, seakan layu sebelum berkembang. Harapan untuk menjadikan Bos Cantik, sebagai Ratu dalam rumahtanggaku kelak, sirna seketika.
Berselimutkan rasa hampa. Kutinggalkan ruangan kantor. Semangatku yang tadi sempat menggebu-gebu, perlahan-lahan mulai melemah. Mulai besok terpaksa kuajukan cuti mendadak. Karena tak ingin berjumpa sementara hatiku terluka. Jadi kuputuskan untuk libur bekerja, sampai galauku sedikit mereda.
Semua impianku untuk meraih bahagia bersamanya berakhir sudah. Apa mau dikata. Mungkin kami memang belum berjodoh. Bisa jadi, ini merupakan jawaban hasil dari sholat istikharohku. Mau tak mau, aku harus menerima kenyataan yang ada.
Kuhirup nafas panjang. Mencoba menguatkan hati. Berharap aku mampu melewati kegagalan ini. Kuayunkan langkah menuju pintu utama. Dengan membawa surat dan setangkai mawar merah. Yang semula hendak kutinggalkan sebagai pesan manis untuk Risa.
Pelan kututup pintu. Terlihat kotak sampah, berdiri pasrah di samping teras bangunan utama. Tanpa pikir panjang, kubuang sepucuk surat dan setangkai mawar merah yang masih dalam genggaman. Kedua benda itu, kini tiada gunanya lagi bagiku. Hatiku sakit. Aku terluka.
TAMAT
Cerbung ini, akan berlanjut ke episode kedua yang berjudul : #Prahara (Cinta Segi Empat).
So, tetep pantengin, ya. Don't miss it😀
Tapi sebelumnya, saya mau nulis kisah #SELIR, terlebih dahulu.Jangan lupa, siapapun yang sudah membaca cerbung ini. Harap tinggalkan jejak, berupa tanda bintangnya.
Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bos Cantik (End)
Teen Fiction"Apa?!" Suara Pak Gun menggelegar, mengagetkan karyawan lain, yang juga tengah sibuk mengetik laporan seperti diriku. Tak kusangka, gelengan kepalaku tadi, disalah-artikan oleh Pak Gun. Padahal gelengan kepala itu murni kulakukan untuk mengusir pena...