Bagian 1

59.5K 2.2K 23
                                    

"Aduh!"

Hesa mengaduh seraya menggosok tulang belikatnya samar. Sakit yang begitu menusuk. Saking terburu-burunya, gadis delapan belas tahun itu tak menduga akan tersandung kaki bangku yang memang disediakan di depan pintu satpam. Jikalau ada yang menunggu bisa duduk sambil beristirahat. Untung saja ia tak jadi tersungkur, karena keseimbangan yang patut ia acungi jempol sendiri.

"Hati-hati, Hesa!" ujar seorang pria berpakaian resmi yang langsung menyongsong tubuhnya.

"Aku nggak sabar, Om. Kangen sama Papa," sahutnya cepat. Tanpa aba Hesa langsung memasuki kendaraan Jeep yang terparkir tepat di samping pintu gerbang seraya memasang seat bealt. Kini Hesa sudah duduk manis di samping pengemudi.

"Sabar dong, Sayang. Papamu pasti lebih kangen." Pria itu mengacak rambut Hesa hingga membuat poni rapinya berantakan.

"Iiih ... om Hakim! Jangan berantakin rambutku. Susah tahu ngaturnya." Cebik Hesa membetulkan letak poninya.

Hakim hanya tersenyum dan sesekali menimpali celotehan gadis berseragam putih abu-abu ini.

Maheswati Primaningtyas Baskoro. Salah seorang anak dari kolega bisnis dan juga orang yang sudah dianggap saudara sendiri oleh Hakim. Gadis ini sudah menjadi menghuni rumahnya sejak masih berusia 10 tahun. Ayahnya sengaja menitipkan Hesa karena kesibukan bisnis yang sering kali memakan waktu. Meskipun kadang sifatnya masih kekanakan, Hesa sudah seperti kakak bagi Jinan dan Jihan, putri kembar Hakim yang hanya berselisih enam tahun. Perasaan sayang itu menelusup ke dada Hakim, menganggap gadis ini seperti putrinya. Meski bukan darah dagingnya sendiri, tapi ia begitu menyanyangi Hesa.

Selama ini Hesa hanya memiliki seorang ayah. Sementara ibunya telah lama pergi, tepatnya saat proses kelahirannya di dunia. Dan saat akhirnya bernaung di keluarga Hakim, gadis ini kembali menemukan sosok Ibu yang tak dapat ia rasai dari Ibu kandungnya. Tapi sosok tersebut kini telah pergi. Sosok yang ia panggil Tante Prisa. Tante Prisa adalah istri dari Om Hakim. Beliau pergi untuk selama-lamanya karena kecelakaan maut.

Rasa berkabung meliputi penghuni keluarga Hakim Lazuardi Rahman. Kenyataan tentang istrinya yang telah tiada membuat jiwa Hakim terguncang, seakan ikut pergi hilang bersamanya. Namun demi kedua buah hatinya, apapun akan Hakim lakukan, meski harus menembok tegar.

"Pokoknya ya, Om. Aku besok nikah kudu sama cowok yang sifat dan sikapnya kayak om Hakim."

Hakim mengerut tak paham. "Kenapa gitu?"

"Soalnya om Hakim tuh baik hati dan tidak sombong."

Tawa Hakim pecah mendengar jawaban garing Hesa, tapi anehnya membuat lelaki berusia tiga puluh tiga tahun ini menarik sudut bibirnya lebih tinggi.

"Dih, dibilangin nggak percaya." Rutuk Hesa manyun.

"Manyun mulu, Hes!"

"Om, sih!" Hesa melipat kedua tangannya di dada dengan wajah masam.

"Kok Om, sih?"

"Iya! Soalnya om nggak percaya. Kalo besok aku udah gedhe, maunya nikah sama cowok kayak om Hakim." Tukas Hesa dengan nada judes tersamar.

Hesa mana bisa ngambek sama paman kesayangannya ini. Bersama Om Hakim dan Tante Prisa, Hesa merasa mempunyai orang tua lengkap. Mereka hanyalah orang asing, namun kasih sayang mereka tak sungkan-sungkan tercurah semuanya. Dan impian Hesa adalah menikahi lelaki dengan paras, sifat, dan sikap seperti Om kesayangannya ini.

"Om! Ini kan bukan jalan pulang." Hesa memanjangkan lehernya, melongok ke arah jalan raya yang asing.

"Iya. Mau ketemu papa kan?"
.
.
.
"Papa! Kenapa bisa kayak gini sih, Pa? Bangun, Pa! Bangun!" Raungan Hesa memenuhi ruang rawat inap yang sunyi. Air matanya menganak sungai di kedua belah pipinya.

"Cup, cup, Sayang." Hakim mendekap Hesa. Mencoba melakukan apapun yang bisa menghentikan tangisnya. "Kalau kamu nangis, papa akan ikut sedih. Jangan nangis, Hes. Ada om di sini."

Baskoro mengidap penyakit komplikasi diabetes sejak lama, dan Hesa sama sekali tak mengetahui itu. Ayahnya ini menyembunyikan rapat-rapat penyakitnya, tidak memberi akses siapapun untuk tahu, meskipun kepada pamannya sekalipun. Selama itu, ternyata, ayahnya sudah melakukan banyak pengobatan demi kesembuhannya di rumah sakit di berbagai negara yang sempat ayahnya kunjungi. Tapi takdir tak bisa ditawar. Sekarang, Baskoro hanya bisa bernapas menggunakan alat bantu pernapasan dalam kondisi koma.

"Mohon maaf, pak Hakim, mbak Hesa, ada pesan dari Bapak sebelum beliau koma. Bisa saya sampaikan sekarang?" Seorang pria paruh baya yang mereka kenal sebagai tangan kanan Baskoro menghampiri.

Hakim mengangguk, mempersilakan.

Mereka bertiga lalu duduk di sofa yang tersedia di sudut ruang vvip tersebut. Pria itu menyampaikan semua yang telah Baskoro amanahkan. Hakim terkesiap, begitu juga Hesa yang tidak percaya dengan apa yang sudah dikatakan pria di depannya itu.

"Jangan ngacok ya, Pak!" sela Hesa marah. "Om Hakim ini om aku! Nggak mungkin papa jodohin kita!"

Hesa beranjak dari tempat duduknya dengan perasaan murka, emosinya merangkak naik ke ubun-ubun. Ia ingin menyudahi pembicaraan konyol dengan orang itu. Namun, genggaman tangan besar pamannya lebih cepat mencegah. Menyimpan lengan Hesa dan menariknya untuk duduk kembali.

"Om ...." Jerit Hesa.

"Kita dengarkan dulu sampai selesai, Hes! Ini pesan dari papamu loh." Kesabaran Hakim sempat surut saat menghadapi tingkah sang ponakan.

Pria paruh baya itu menyerahkan amplop pada Hakim.

Untuk Hakim.

Aku tak pandai berbasa-basi, jadi langsung saja. Aku ingin kamu menikahi putriku Hesa, sebagai balas budi atas pertolongan yang kuberikan padamu dulu. Meskipun aku melakukannya dengan ikhlas.

Maaf. Seharusnya tak seperti ini, jujur saja aku tak tahu harus meminta tolong pada siapa selain padamu. Mungkin terdengar konyol, tapi kamu satu-satunya harapanku untuk melindungi Hesa juga menuntunnya menjadi wanita yang lebih baik.

Terdengar naif, tapi aku percayakan putriku padamu. Hanya padamu, karena setelah pernikahanmu maka seluruh aset-asetku akan menjadi milikmu.

Dengan kamu menikahi putriku, aku bisa pergi dengan tenang.

Tertanda,
Baskoro.

Hakim meremas surat itu, lalu menggenggamnya erat-erat. Ini seperti mimpi.

Bagaimana bisa seorang yang sudah ia anggap kakak menyuruhnya menikahi gadis yang juga ia anggap anak sendiri. Meskipun menurut hukum dan agama mereka sah melakukan pernikahan karena tidak memiliki hubungan darah, namun tetap saja hati nurani Hakim menolak keras. Kendati demikian, ia tidak bisa menghindar dari permintaan pria yang tengah melalui masa-masa hidup dan mati itu. Semua titahnya bagai firman suci yang harus Hakim jalankan.

Di sisi lain, Hesa masih dengan ekspresi murka, tak terima dengan keputusan pamannya. Sekilas ingatan Hesa langsung terlempar pada ucapannya saat perjalanan menuju rumah sakit beberapa jam yang lalu. Demi apapun, Hesa ingin memotong lidahnya saat ini juga, karena sudah sembrono merapalkan harapan yang seperti mantra untuk mengutuk dirinya sendiri. Dengan kesadaran 100% ia berharap bisa menikahi laki-laki yang memiliki paras, sikap dan sifat seperti pamannya. Lantas, bila sekarang semesta benar-benar mengabulkan harapannya, bolehkah Hesa memberontak?

OMG Hellow ... tenggelamkan saja gue di samudra Arktik. Daripada menjadi istri seorang duda! batin Hesa menjerit.

Ruang rawat inap menjadi semakin sunyi. Perasaan aneh tiba-tiba menelusup di hati keduanya. Yang awalnya baik Hakim maupun Hesa santai dalam bercanda sekarang jadi sama-sama canggung dan tak tahu harus membahas apa. Bahkan Hesa yang biasanya ceplas-ceplos juga lebih banyak diam.

Hakim pun dirundung enggan hanya untuk memulai percakapan. Penolakan Hesa seolah mempengaruhi hatinya. Membuat moodnya anjlok ke tanah. Hakim tersinggung, dan merasa ... kesal? Sangat aneh sekali, bukan? Hakim tak paham sebab apa yang membuatnya seperti ini.

MAHESWATI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang