"Sori, lama." Hesa berujar seraya mendaratkan pantatnya di kursi.
Cowok yang duduk di depannya itu hanya tersenyum tipis menyambut kedatangannya. "Aku yang harusnya bilang sori, udah ganggu waktumu."
"Apaan sih, aku nggak sesibuk itu."
"Tapi nyatanya kamu baru bisa nemuin aku sekarang kan?"
Keduanya lantas saling pandang dalam bisu untuk beberapa saat.
"Aku minta maaf, Edzard," beo Hesa tercekat.
"Edzard?" ulang cowok itu. "Oh, memang harus memanggilku seperti itu."
Hesa tersenyum sedih. Satu bulan tak bertemu, cowok di depannya ini tampak berbeda. Sorot matanya redup. Seolah sinar bahagia telah lama menghilang. Mungkinkah Edzard belum bisa melupakannya?
"Aku cuma mau kasih ini." Cowok itu menyodorkan paper bag berukuran sedang tepat di hadapannya. "Aku baru nyampe semalem."
"Oh, yang kata Salma kamu liburan di Swiss?" gumam Hesa sembari meraih barang itu. Dan betapa kagetnya ia saat mendapati peralatan sketching profesional yang ia idam-idamkan selama ini. "Oh my God! Ini ...."
"Suka?"
"Suka banget!" pekik Hesa tanpa basa-basi. "Aku bener-bener nggak percaya bisa pegang ini. Ini mahal banget,Edzard! Astaga!"
Setelah puas mengotak-atik, gadis itu memasukkan kembali barang tersebut ke tempatnya. Ia lantas melempar tatapannya pada cowok yang sejak tadi terus mengamatinya. Hesa memberi senyum simpul pada cowok itu. "Kamu apakabar?"
Cowok itu menghembuskan napas pelan. "Baik. Lebih baik dari sebelumnya. Nggak mungkin juga aku nekat macarin istri orang kan?"
"Kamu ...." Hesa kaget bukan main. Bagaimana mungkin Edzard mengetahui statusnya sekarang?
"Iya, aku udah tahu semuanya. Om kamu sendiri yang ngasih tahu."
Hesa menganga.
"Dan kamu juga ngerahasiain dari Salma. Kamu benar-benar sudah berhasil membuat kita semua kecewa."
"Edzard, please kamu nggak akan ...."
"Bukan kapasitasku ngasih tahu orang lain. Kehilangan kamu udah cukup bikin separuh hidupku hilang."
Seketika rasa bersalah hinggap menghantam benak Hesa. "Kita masih bisa berteman, Edzard. Please, aku benar-benar minta maaf."
Cowok itu hanya mengangguk-anggukkan kepala pelan. "Aku juga mau pamit."
"Kamu mau kemana?"
"Kuliah di Malaysia."
"Kenapa? Kamu bahkan nggak suka sekolah jauh-jauh?" Lagi-lagi Hesa menanyakan hal yang bodoh. Sudah pasti semua karena dirinya, bodoh!
"Asal kamu tahu, Hes. Satu tahun kita bareng. Kita udah lalui banyak hal. Dan itu nggak mudah buat aku lalui sendiri. Setiap sudut dan titik di kota ini selalu ingetin aku sama kamu." Cowok itu menghentikan kalimatnya, meraup udara dalam-dalam seolah tengah menahan gejolak emosi yang tertimbun amat besar di dadanya. "Aku pengen nyusul kamu yang bisa secepat itu melupakanku."
Hesa membekap mulutnya. "Edzard ...."
"Sampai jumpa. Jaga dirimu baik-baik."
"Maafkan aku, Edzard. Maaf ...."
.
.
.
Gadis itu mengusap sisa-sisa air matanya, meski sesak masih terasa menghimpit hati. Edzard adalah cowok baik dan sangat sopan. Selama menjalin kasih dengannya, cowok itu senantiasa mendukung Hesa dalam segala hal. Menemaninya mengikuti kursus menggambar. Saat bersama Hesa, dengan ajaib cowok itu akan menjelma menjadi sosok yang dewasa. Seolah ingin mengimbangi sifat Hesa yang kekanakan. Mengingat itu Hesa terasa dilempari perasaan salah bertubi-tubi."Edzard mana? Belom dateng?" Salma melempar tatapannya ke sekitar sebelum mendaratkan bokongnya di kursi dekat Hesa. "Heh, Edzard mana?"
Sedari tadi Salma menunggu di mobil, alasannya karena tidak ingin ikut campur.
"Balik duluan," jawab Hesa singkat.
"Terus itu muka lo kenapa? Sepet amat."
Hesa menengadahkan wajahnya. "Mon, gue nggak tega sama dia, Mon. Kasian, Mon."
"Ya terus gimana? Kejar dong, ajak balikan." Salma mengangkat tangan memanggil pramusaji dan memesan sesuatu. Setelahnya, cewek itu kembali bersuara, "Eh, jangan sih. Lo kan nggak cinta sama dia. Yang ada nanti malah tambah nyakitin dia."
"Gue emang udah nyakitin dia. Gue emang jahat banget."
"Yaudah sih. Mau gimana lagi. Cinta nggak bisa dipaksakan. Kalo lo paksa tetep sama dia, pastinya lo bakal tersiksa juga, orang lo nggak cinta."
Hesa diam terpekur.
"Apaan nih?!" seru Salma. Sambil jemarinya meraih benda berlogo produk luar negeri tersebut. "Ini dari Edzard? Emang terniat sih tuh anak. Pantes lo langsung baper."
"Gue sedih, bukan baper. Lagi pula nggak ada hubungannya sama ini!" bantah Hesa tak terima.
"Tapi dikit banyak, ini juga bikin lo segalau itu kan?" Salma meletakkan benda itu kembali di atas meja.
Hening. Hesa malas menanggapi.
"By the way, tadi gue liat tantenya si kembar. Doi nggak balik-balik ih."
"Apa urusannya sama lo sih? Lagian lo tuh ya, kalo kasih info itu yang jelas dong. Orang Kak Sefia nggak bisa main ice skating."
Salma menggaruk tengkuknya sambil menampilkan ekspresi meringis. "Ya, gue sudah terlanjur baper aja liat adegan pegang-pegangan. Gue pikir mereka akhirnya ada hubungan."
Hesa berdecak.
"Tapi, lo nanya gitu ke Om lo?"
"Yaiyalah, hak gue dong nanyain."
"Hak? Maksud loh?"
Plak! Keceplosan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESWATI (TAMAT)
RomanceMaheswati rasanya ingin menangis. Di saat ia kehilangan orang tua satu-satunya yang tertinggal, ia juga kehilangan status lajangnya. Apalagi ia harus menikahi lelaki yang usianya terpaut lima belas tahun, yakni pamannya sendiri. "Aku masih muda, mas...