Fajar Keemasan (2)

8 2 1
                                    

* untuk setiap awal bab, saya akan menyertakan kuatren. Kurang lebih untuk menggambarkan atau merangkum bab. Bahkan memprediksikan keadaan bab berikutnya.


Akankah pelangi datang berkunjung

Lewati hamparan laut gunung

Tabiat mustahil diubah sekejap

Perlukah lagi kita berharap



Bila kita menutup mata. Berpura seakan semalam tak pernah ada. Apakah kita akan melupakan segalanya. Sia-sia. Muka yang tercoreng tak bersih begitu saja. Tanpa perjuangan tak ada hasil katanya. Masalahnya memperjuangkan apa?


Ibu tak mau lagi memandikanku. Aku juga harus memakai seragamku sendiri. Kesal rasanya. Padahal tak berapa lama yang lalu aku masih bisa bercanda-canda dengan ibu. Sekarang dia disibukkan hal lain di pagi hari.

Cepat-cepat kuselesaikan mandiku. Kupakai seragamku asal saja.

Seragam yang baru. Hari yang baru. Benarkah?

Ketika sedang mengancingkan, kancing-kancing terakhir kemeja, aku melihat ibu tekun sekali. Aku mendekat kepadanya, mencoba melihat apa yang sedang ditulisnya di meja. Kujinjitkan kaki, yang bisa kulihat hanyalah kata laporan di banyak lembaran kertas yang sedang ditulisnya.

Ibu menoleh kepadaku. Mata kami bertemu. Beliau tersenyum.

Melihat seragamku belum dikenakan dengan sepatutnya, ia mencoba merapikan. Aku menarik diriku menjauh darinya, tak mau didekati. Aku berlari menuju meja makan tanpa menoleh.

Benhard telah menunggu di meja makan. Menggantikan ibu yang biasanya mengoleskan selai ke rotiku.

"Selamat pagi, tuan." ia menyapa dengan ramah.

Aku hanya mengangguk tak acuh. Merentangkan kedua tangan, menunggunya menempatkanku di kursi.

Setelah duduk, aku langsung menyendokkan krim telur ke dalam mulutku. Dengan lahap mengunyah, irisan daging panggang yang menyertainya. Cepat-cepat ingin kuakhiri sarapan pagi yang merepotkan ini dengan menyeruput kasar mangkuk sup yang baru datang. Panas rasanya.

Melihat aku yang kepanasan, Benhard sigap menuang susu ke dalam gelas. Kusambar gelas dari tangannya, menumpahkan sedikit ke meja.

"Pelan-pelan, tuan."

Aku menyeka mulut seadanya dengan serbet. Melompat turun dari kursi dan bergegas menuju pintu depan.

Kudapati ayah sudah menunggu di mobil. Menyandar di depan pintu, menghirup perlahan udara pagi dengan sebatang cerutu menyala di tangan.

Kubuka pintu penumpang dan buru-buru mendudukkan diri. Ayah memasukkan kepala ke dalam mobil, bertanya, "Mana tasmu?"

Astaga. Aku lupa. Kubuka pintu dan berlari kembali ke dalam rumah tanpa menutup pintu mobil. Kulihat Benhard sedang menenteng tasku dan tangannya yang satu lagi sedang memegang roti lapis yang dibalutnya dengan sapu tangan.

Aku memberikan punggungku agar mudah baginya mengenakan tasku. Kemudian ia memberikan roti lapisku.

Tanpa menoleh ke belakang aku berlari lagi ke depan. Dia mengucapkan salam, "Semoga beruntung, tuan."

Mobil pun melaju. Di sepanjang perjalanan ayah bersenandung. Tak ada percakapan diantara kami.

Aku melirik jam tanganku. 8.15.

Gemuruh Abu-abuWhere stories live. Discover now