Fajar Keemasan(3)

17 2 0
                                    

* untuk setiap awal bab, saya akan menyertakan kuatren. Kurang lebih untuk menggambarkan atau merangkum bab. Bahkan memprediksikan keadaan bab berikutnya.


Laksana samudra tenang menipu

Bersarang ancaman haru biru

Hidup serba tak pasti

Masihkah engkau berdiam diri


Ketentraman maupun kedamaian apakah tak akan berakhir?

Nikmat membutakan.

Kasih sayang menumpulkan.

Ketika diri tak siap diterpa cobaan yang datang bertubi, maka itulah akhir.

Akan tetapi apakah akhir itu sendiri adalah sebuah kesudahan? Atau malah sebuah awal baru?

Awal yang ditunggu.

Awal yang tak disangka.

Segala yang terjadi adalah hasil dari apa terjadi lampau hari.

Biuslah dirimu dengan kesenangan dan dapatilah dirimu terbangun dari mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Atau, persiapkanlah dirimu untuk kemudian terbangun dalam sebuah dunia yang kau sangka adalah sebuah mimpi indah yang mustahil menjadi nyata.


Sama seperti tahun baru yang sudah-sudah kali ini orangtua ibu datang ke rumah.

Begitu sampai di depan pintu, Kakek langsung meneriakkan namaku. Mengenali suaranya aku berlari turun ke bawah. Menyambut pria tinggi berambut pirang yang beruban disana-sini.

"Kakek!"

Kami berpelukan dan tanpa kusadari aku dilemparkan agak tinggi ke udara yang membuat kami berdua tergelak.

"Mana nenek?"

"Masih di mobil."

Berbeda dengan Kakek yang masih dapat dikatakan segar bugar di usianya. Nenek sangat renta dengan tongkat yang selalu menyertainya berjalan.

Di dalam mobil yang sedang terparkir di pekarangan depan, Nenek keluar dibantu ibu. Ayah berdiri agak jauh dari mobil.

Diiringi ibu, Nenek berjalan perlahan dengan tongkatnya. Ayah mengekor di belakang.

Melihat diriku, Nenek memanggil mendekat. Aku selalu takut dengan nenek. Dia sering bercekcok dengan ayah. Dan kalau sudah marah betul, Nenek tidak segan melayangkan tongkatnya. Memukul ayah.

Ketika aku sudah dekat, dia membelaiku dengan lembut. Ia tersenyum, membuat keriput di sekeliling wajahnya tampak jelas. Aku memaksakan senyum untuknya.

Setelah memperbaiki posisi kacamatanya yang beruntai, dia menggenggam tanganku, menuntunku menyertainya. Kami berdua, serta ibu, ayah, dan kakek pun masuk ke dalam.

Di meja makan kami semua makan tanpa ada yang bicara. Berbeda sekali saat keluarga Dinka datang berkunjung. Ayah dan Ibu yang biasanya duduk berdampingan kini duduk berhadap-hadapan. Kakek dan Nenek menikmati makanan tanpa melirik sekalipun ke arah mereka.

Memecah keheningan, Kakek berbicara denganku.

"Ramin."

"Iya kek?"

"Kudengar dari ayahmu" dia melirik sebentar ke ayah lalu melanjutkan "kamu berkelahi?"

"Hehe, iya kek. Dia masuk rumah sakit. Ramin pukul dia." aku menjawab dengan menggaruk-garukkan kepala.

Gemuruh Abu-abuWhere stories live. Discover now