Fajar Keemasan (1)

13 2 0
                                    

* untuk setiap awal bab, saya akan menyertakan kuatren. Kurang lebih untuk menggambarkan atau merangkum bab. Bahkan memprediksikan keadaan bab berikutnya.


Gelombang pasang laut lepas

Bawa kebanggaan mendebur deras

Takdir baik adalah beban

Jangan sampai engkau lupakan


Hidup seseorang adalah kombinasi keadaan, individu yang berperan, dan kemungkinan (bila tidak ingin  disebut keberuntungan).

Siapa yang sangka. Siapa yang mampu menduga. Tiap orang yang kita jumpa ternyata tidak seperti yang kita baca. Betapa dangkalnya, bila kita mencoba mengukur nasib seseorang hanya dari apa yang mampu kita terka.

Hal inilah yang kurasakan. Tokoh utama cerita ini. Sepenggal kisahku kiranya dapat menjadi pelajaran bagi siapa saja yang hendak mengetahuinya.


Namaku Ramin. Aku anak pertama dari tiga bersaudara.

Lahir dalam kelimpahan dan kenyamanan. Tak ada kekurangan dalam fisikku. Malah sebaliknya, aku terlahir dan menjalani hidupku sebagai lelaki rupawan. Berkat ayahku yang mampu mencari istri yang cakap secara fisik dan finansial, seorang wanita keturunan asing, membuatku dapat melangkah dengan percaya diri dengan karakter wajah yang didominasi sumbangan ibu serta sedikit sentuhan pribumi ayah. Aku tak suka menerangkan panjang lebar mengenai diriku secara spesifik, kiranya seiring kisah ini berlanjut akan terungkap diriku yang seutuhnya.

Ingatanku yang paling awal yang mampu terbayang, adalah ketika aku berumur 5 atau 6 tahun, waktu tepatnya aku lupa. Saat itu aku masih bersekolah di taman kanak-kanak. Aku paling tidak suka dipakaikan seragam, tiap kali ibu membangunkan untuk mandi, aku meronta-ronta tak ingin pergi ke sekolah. Ketika beliau hendak memakaikanku seragam, aku berlari cepat ke arah tangga menuruni kamarku menuju taman di belakang rumah.

Hanya ada tiga tempat untuk bersembunyi disana. Semak-semak yang berbentuk kuda, patung tanpa kepala dan tangan, dan kandang anjingku Didi. Tapi ibu selalu menemukanku. Kalau tidak berjongkok di belakang semak dan patung, pasti ia mendapati diriku meringkuk di dalam kandang bersama Didi.

Tiap kali ibu mendapatiku bersembunyi di satu dari ketiganya, aku hanya mampu tersenyum senang. Lain halnya dengan beliau, dia marah. Apalagi saat aku harus bersembunyi di kandang, celana dan punggung bajuku pasti kotor, hingga ibu pun harus memandikanku lagi. Untuk meluapkan kekesalannya, ia menjewer kupingku. Memutar sedikit dengan jempolnya yang lentik dan kemudian menyentil hidungku. Aku selalu menangis setelahnya. Tapi dia menggendongku kembali ke dalam. Semakin lama aku menangis semakin keras, hal yang kusengajakan, tetapi beliau tak ambil pusing.

Kami berdua berjalan menuju pekarangan depan. Ayah menunggu di dalam mobil, dengan cerutunya. Ketika kami berdua telah duduk, dia mematikan cerutunya dan melajukan mobil. Melewati perumahan tempat kami tinggal. Pohon-pohon palem yang tinggi besar, berjajar serasi di pinggir jalan. Semua rumah punya mobilnya sendiri, tak jarang ada punya dua. Aku mengenali beberapa rumah temanku.

Hendra melambaikan tangannya. Kepalaku yang menongol di luar kaca, hanya mampu tersenyum senang, ketika hendak kubalas lambainnya Ayah sudah melaju melewati dua rumah. Sehingga anak yang kulambai pun adalah Dinka. Dia bingung, serta merta dijulurkan lidahnya mengejek.

Kami tak pernah akur. Di kelas dia selalu melempariku dengan kertas atau pensil. Saat jam istirahat, ketika aku sedang bermain dengan balok kayu atau semacamnya dia selalu hadir menemani, untuk menggangu. Kesal akan perbuatannya, sering dia kupermalukan. Aku sambar roknya sampai terangkat ketika jam sekolah usai, banyak teman yang tertawa. Kadang aku menangkapi serangga dan memasukkannya ke dalam tas Dinka. Jelas saja dia ketakutan, khas anak perempuan yang manis.

Gemuruh Abu-abuWhere stories live. Discover now