Chapter 3

3.8K 212 3
                                    

Setelah hari Minggu yang menyebalkan. Afif memutuskan untuk melupakan dan memulai strategi baru mendekati Afifah. Lelaki itu berjalan ke arah Afifah yang sedang berkumpul bersama sahabat-sahabatnya. Ada Rere, Dian dan Ica.

"Fah, Afif jalan ke sini loh," ujar perempuan berjilbab yang disampirkan ke bahu sama seperti yang dikenakan Afifah sembari mencoel sikut sahabatnya itu. Ia adalah Ica, perempuan ceria nan heboh, dijuluki Ibu Jahal karena hobinya menggosip. Padahal Abu Jahal di zaman Rasulullah kan penyebar fitnah. Meski demikian ia berhati baik dan suka membantu.

Afifah menoleh pada Afif, memberi sorot mata tajam dan membuang pandangannya.

"Pagi, Fah! hari ini kamu cantik banget," puji Afif yang sudah tiba dihadapan Afifah dan sahabatnya. Ia menarik kursi dan duduk disamping Afifah, sebelumnya Afif mengusir Rere dulu agar perempuan itu memberinya tempat duduk didekat Afifah.

"Lo tuh suka banget sih ngerebut kebahagiaan orang." Sempat protes, namun Afif abaikan. Alhasil Rere yang tomboi itu pun meninju lengan Afif.

"Aw! gila sakit banget, itu besi apa tangan?"

"Makanya jangan ngambil tempat orang!"

"Bentar elah, ini demi kepentingan sahabat lo juga. Biar dia gak sedih lagi kalo didekat gue."

Entah apa saja yang dikatakan Afif, yang penting Afifah tidak perduli. Rere menggeram kesal. Untung Afif ganteng, kalau tidak sudah lama Rere jadikan perkedel manusia itu anak.

"Kemaren kenapa gak jadi jalan, Fah?" Afif membuka pembicaraan pada Afifah.

"Lagi gak mood jalan."

"Tapi kan setidaknya lo bisa temuin gue gitu, masa iya gue udah jauh-jauh dari rumah pas datang diabaikan. Sakit hati Abang. Dek," tukas Afif sambil manyun-manyun ala bocah.

"Ya terserah gue dong."

"Gak boleh gitu, Fah. Kan ada haditsnya 'man katana yu'minu billahi wal yaumil akhiri fal yukrim doyfahu' barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah menghormati tamunya." Itu Dian. Ia yang paling dewasa dan bijak diantara ketiganya, juga yang paling religius. Terlihat dari hijab yang ia kenakan terjulur ke bawah dan lebar.

"Tuh denger kata Dian, hari ini aku maafin. Besok jangan lagi ya!" kata Afif sembari terkekeh. Dengan begitu percaya diri ia mengatakannya, seolah Afifah sudah mengemis maaf darinya.

"Fif," panggil Afifah.

"Iya, sayang?"

Afifah kontan memukuli Afif dengan buku ditangannya.

"Mampus lo." Rere tertawa, Dian menjelit agar temannya itu diam. Sementara Ica sibuk merekam kejadian dari awal.

"Ya Allah, apa salah dan dosaku say—" Afif menggantungkan kalimatnya, "yang. Eh Afifah maksudnya." Cengir Afif.

"Gak ada faedahnya banget ngomong sama lo! Gue sibuk, mau ke perpus."

"Eh tunggu, Fah!" Ica langsung membuntuti sahabatnya itu, karena video yang direkam belum selesai.

"Astaghfirullah, Afif... Afif... Lo gak ada kerjaan banget sih," gumam Dian.

🦋🦋🦋

Berhubung UN akan dilaksanakan seminggu lagi, dan semua kegiatan tryout, UAS, ujian praktek beserta embel-embelnya itu sudah selesai Zoni selaku jabatan tertinggi disana, ia memerintahkan siswa- siswi untuk berkumpul.

Didampingi wakilnya Syaifullah. Zoni memberi kata sambutan dan berbagai instruksi. Di aula yang cukup besar ini siswa-siswi sengaja dipisah duduknya. Dari awal pembukaan dan hampir selesai Zoni berbicara, ia tidak melihat batang hidung Afif sedikit pun. Lelaki berumur 45 tahun itu sudah mengedarkan pandangannya, tapi tak jua menemukan keberadaan anaknya.

Ketika Mantan Jadi ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang