Chapter 2

4.4K 267 10
                                    

Ketika terlalu besar berharap pada manusia, maka bersiaplah menerima kekecewaan yang besar pula.

🦋🦋🦋

Pagi-pagi sekali Afif bangun. Biasanya memang bangun pagi, karena tiap hari keluarga mereka sholat subuh berjamaah. Namun,  sesudah sholat Afif pastilah tidur, berbeda dengan hari ini. Ia langsung mandi dan sudah berpakaian rapi. Ninja kesayangannya itu juga sudah dilap semengkilat mungkin.

Dengan wangi parfum yang semerbak Afif menuruni anak tangga dengan heboh, berlari-lari sambil menyilangkan kaki, bernyanyi-nyanyi sambil bersiul. Pecicilan, itulah dirinya. Sampai membuat uminya yang sedang mengiris bawang itu kesal.

"Afif, berisik ah! Tetangga masih enak tidur."

"Ya ampun Umi! Kan habis subuh itu gak boleh tidur kata umi. Masa sih tetangga kita masih tidur, kalah sama anak muda yang ganteng ini." Afif memuji dirinya sendiri.

"Baru sekali juga gak tidur habis subuh udah ngebangunin satu RT," kata Ainun.

"Ga papa dong Umi, dapat pahala Afif bangunin mereka."

Ainun bergeleng, ada saja jawaban Afif yang membuatnya kalah berdebat. "Mau kemana udah rapi aja? masih jam enam, belum ada toko yang buka untuk ngajakin Afifah jalan."

Ainun memang sudah mengenal Afifah, jauh sebelum anaknya itu mengenali. Sedikit cerita dimana saat itu Ainun pernah mengalami kecelakaan dan kebetulan saat itu ada seorang perempuan baik hati yang hendak membantu dan membawanya ke rumah sakit, orangnya adalah mama Afifah. Itu kejadian tiga tahun lalu, ketika Afifah masih kelas tiga SMP dan Afif masih mondok di pesantren yang tabiatnya pas lulus tidak seperti anak santri. Kenal dan kenal, lama-lama menjadi akrab sampai Vita, mamanya Afifah memasukkan anaknya ke sekolah milik suami Ainun.

"Loh kok Umi tau? peramal ya Mi atau psikolog?" Afif terkekeh.

"Udah ah, mending kamu bantu Umi ni." Ainun menunjuk sayur yang tengah diirisnya.

Mata Afif membulat sempurna. "Anaknya udah ganteng gini masa disuruh ngiris sayur?"

"Emang kenapa?"

"Ya luntur nanti kegantengan Afif. Afifah jadi gak mau lagi."

"Emang Afifah gak mau sama kamu."

"Ya Allah, Umi jahat banget."

"Makanya bantu Umi, biar Afifah mau."

"Walaupun Afif bantu Umi kalo Afifah gak mau ya tetap gak mau."

"Loh itu kamu tau." Ainun tertawa kecil.

"Udah masak, Mi?" Zoni datang dengan sarung yang masih melekat di kakinya.

"Belum lah Bi, makanya bantuin Umi biar cepet masak," celetuk Afif suka-suka.

"Afif!" Ainun melotot. "Gak sopan! Umi tadi nyuruh kamu bantuin kenapa jadi nyuruh abi?!"

Afif terkekeh kecil.

"Mau kemana kamu, fif?"

"Ah Abi mah kepo!"

"Kamu ini Abi nanya baik-baik malah dibilang kepo."

"Mau jemput calon mantu Abi lah."

Zoni menggelengkan kepala. "Kamu itu sekolah yang bener dulu!"

"Wih udah bener ini, Bi."

"Bener apanya, hampir tiap hari kamu ketauan bolos," protes Zoni dan Afif hanya cengengesan tak jelas.

Beberapa kilometer dari rumah Afif. Seseorang perempuan dambaan hatinya sedang membaca novel karangan 'Asma Nadia' sambil mendengarkan musik mellow yang berhasil menitikan air matanya.

"Fah!" panggil perempuan parubaya yang memakai blazer abu dan high heels tinggi.

Afifah mendengar panggilan itu, tapi ia enggan merespon. Ia sudah tau apa yang akan dikatakan mamanya.

"Sayang, mama pergi dulu ya, hari ini ada sidang perceraian klien. Bes—"

"Iya!" Afifah pun segera memalingkan tubuhnya, berbaring membelakangi Vita.

Vita bisa memaklumi sikap anaknya yang seperti ini. Karena dirinya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga tak ada kesempatan untuk meluangkan waktu liburan bersama Afifah atau sekedar mengobrol biasa. Perempuan karir tersebut hampir dua puluh empat jam berada di kantor. Pergi jam tujuh pagi, pulang jam sepuluh malam, pernah jam dua belas. Hal inilah yang membuat hubungannya dengan Afifah agak renggang. Apalagi semenjak sang suami memutuskan untuk berpisah, Afifah jadi semakin kesepian bahkan sudah pas dikatakan anak broken home.

"Ya udah, kalo mau apa-apa panggil Bibi dibelakang ya. Mama pergi dulu!" Vita segera melangkah kakinya menuju garasi dan siap meluncur ke tempat kerjanya.

🦋🦋🦋

Cukup sekali menekan bel, pintu sudah dibuka. Seorang asisten rumah tangga tersenyum ramah dan mempersilahkan Afif untuk duduk sembari dirinya memanggil Afifah.

"Non, di depan ada mas Afif."

"Suruh pulang aja bik, aku gak mau ketemu."

"Baik non." Sebenarnya Minah agak sedikit tidak enak hati jika harus mengusir Afif, karena ini bukan pertama kali. Tapi bagaimana lagi? perintah Afifah merupakan tugasnya.

Minah berjalan ke arah Afif dengan sangat pelan, menggaruk-garuk kepalanya yang memang gatal. "Maaf mas, non Afifahnya lagi gak mau diganggu."

Afif berdiam sejenak. Memikirkan balasan WhatsApp dari Afifah yang mengatakan 'terserah' ketika ia ajak jalan. Giliran ia sudah menjemput Afifah enggan pergi bahkan untuk keluar kamar pun tidak.

"Boleh gak bik, aku ke kamarnya Afifah?"

"Loh untuk apa, mas?" tanya Minah kaget.

"Mau ngobrol sebentar, cuma di depan pintu kok. Ayolah bik?!"

Pasrah kelihatannya, Minah pun mengangguk. "Tapi sebentar aja ya, mas."

"Oke bik." Dengan berlari kecil ala cool-nya. yang hampir membuat Minah membeku.

"Untung saja kamu masih muda mas-mas. Kalau tidak sudah Bibi jadikan suami," ujar Minah asal celoteh.

"Fah, masa kita gak jadi pergi sih? Aku udah siap ni, udah ganteng, udah wangi demi kamu tapi kamu demikian." Afif diam memikirkan ucapannya barusan. "Eh kok aku ya, kan kita belum jadian. Maksudnya gue."

"Gue gak mau pergi. Kalo lo mau pergi, pergi aja sendirian!" kata Afifah setelah itu ia menghidupkan musik dengan keras agar tidak mendengar kalimat Afif selanjutnya.

Tidak bisa memaksa. Afif hanya menuruti dan pergi dengan muka masam. Padahal ia sudah sangat berharap bisa pergi berdua bersama Afifah, nonton film romantis terus makan berdua dan keliling-keliling tempat wisata. Tapi semua angan belaka, kekecewaan yang didapati. Begitulah jika berharap pada manusia. Jadinya Afif pergi ke rumah salah satu temannya.

🦋🦋🦋

Selamat membaca, tinggalkan jejak kalian.

Ketika Mantan Jadi ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang