Prolog

50 4 3
                                    

"AH! Yang benar saja. Mana ada kedai kue yang masih buka di jam segini?" Seira berdecak kesal. Kakinya sibuk menendang kerikil atau kaleng yang menghalangi jalannya. Seira berhenti melangkah. Ia meniup helaian rambut yang menutupi sebagian wajahnya sambil bercacak pinggang. "Bisa-bisanya Mom menyuruhku membeli roti selai sendirian, jalan kaki pula! Semoga saja aku dapat menemukannya di mini market, jika tidak lebih baik aku tak pulang ke rumah malam ini. Membayangkan pidato panjang Mom saja telingaku rasanya sakit. Arrgghh!"


Seira melanjutkan perjalanannya. Melihat lampu jalan yang berkedip-kedip membuat nyali Seira menciut.

Srreeekk ...

Suara apa itu? —Seira membatin. Bulu kuduknya meremang, Seira berhenti berjalan. Rambutnya meliuk-liuk tertiup angin. Ia menggenggam erat ponsel di tangannya, perasaan takut dan was-was tiba-tiba menyelinap masuk ke hatinya. Yang ada di pikiran Seira sekarang adalah pergi dari tempat itu secepat mungkin. "Aku bersumpah ini akan menjadi terakhir kalinya aku berkeliaran di jalan pada malam hari, jika terjadi sesuatu—"

Srreeeekkk ...

Beberapa meter di depannya, Seira melihat lelaki berjubah hitam tengah menyeret seseorang dengan posisi kepala berada di bawah menuju pepohonan di pinggir jalan. Seira tidak dapat melihat dengan jelas dengan jarak sejauh ini. Di tambah lagi, tidak ada penerangan di sana. Ia memutuskan untuk mendekat dan bersembunyi di balik semak-semak.

Lelaki berjubah hitam itu mendudukan seorang wanita yang tadi di seretnya. Tangan wanita itu di ikat dan mulutnya di sempali kain. Wanita itu mengenakan baju kemeja warna putih dan rok selutut dengan warna senada. Surai panjangnya yang terurai tampak kusut. Lelaki itu berjongkok kemudian mengamati wanita di depannya dengan seksama, di tepuk-tepuknya pipi wanita itu untuk membangunkannya.

Saat sadar, wanita itu terkejut mendapati dirinya terikat di sebuah pohon. Seorang lelaki tengah menyeringai kepadanya, ia meronta-ronta minta di lepaskan. Namun sayangnya yang ia lakukan tidak membuahkan hasil sama sekali. Wanita itu menangis, menjerit sekuat-kuatnya.

"Mengapa kau berkeliaran seorang diri di tempat sepi seperti ini, baby?" ujar lelaki itu seraya mengusap pipi wanita itu dengan punggung tangannya kemudian usapan itu turun ke lehernya. Wanita itu menoleh ke arah lain dengan napas memburu, ia ketakutan. Usapan lembut itu berubah menjadi cengkeraman kuat di lehernya.

"Beraninya kau berpaling saat aku menatapmu!" kata lelaki itu murka. "Ah, kau belum boleh mati."

Lelaki itu melepaskan cengkeramannya. Wanita itu terbatuk-batuk kemudian menghirup oksigen sebanyak mungkin. Deru napasnya terdengar tak beraturan. Baru saja ia merasa aman, lelaki itu mengeluarkan sebuah pisau lipat dari dalam sakunya. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nikmati saja apa akan kulakukan, baby."

Mata Seira membeliak lebar saat melihat lelaki itu menghujamkan pisau lipatnya ke lengan atas wanita itu hingga bajunya sobek kemudian ia menariknya ke bawah hingga ke pergelangan tangannya membentuk satu garis lurus. "Darah! Agh, aku pasti sudah gila. Apa yang kulakukan di sini?! Bodoh! Bodoh! Ayo berpikir Seira ... bagaimana caranya pergi dari tempat ini tanpa ketahuan ..."

Seira menggingit kuku kelingkingnya, rasa takut dan cemas menyerangnya bertubi-tubi hingga ia tidak bisa berpikir jernih. Tapi rasa penasaran menahannya untuk tetap tinggal di sana. Dan apa yang di lakukan lelaki itu selanjutnya membawa Seira ke dalam mimpi buruk. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan seorang psikopat di dalam hidupnya.

Believe Tomorrow (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang