RAYN menyandarkan punggungnya di belakang pintu kamar sambil membolak-balikkan amplop surat berwarna biru. Tidak ada nama pengirim di sana. Tapi nama yang tertera di amplop itu meyakinkan dirinya bahwa surat itu tidak salah kirim, namanya tertulis dengan rapi di sana. Rayn Stumberg.
Beberapa menit yang lalu Rayn menerima telepon dari nomor tak dikenal, mengatakan padanya untuk segera ke kotak surat. Sesaat Rayn mengernyit bingung, namun tak urung ia ke luar rumah dan segera memeriksa kotak surat karena rasa penasarannya. Ia kaget saat mendapati sebuah surat yang ditujukan untuknya.
Dengan langkah kaku, Rayn berjalan menuju meja belajarnya. Perlahan, tangannya tergerak membuka amplop itu. Belum sempat menarik keluar kertas di dalamnya Rayn kembali menerima telepon. Kali ini dari Sean, orang yang ditemuinya lima hari yang lalu. Rayn menarik napas panjang sebelum menjawab telepon itu.
"Halo?" sapa Rayn.
"Sudah menerima surat yang kukirim?"
Rayn menatap surat yang ada di tangannya seraya berkata, "Oh, surat darimu rupanya. Iya, sudah kuterima."
"Baguslah, pikirkan baik-baik sebelum kau menandatangani surat itu. Seperti yang kukatakan kemarin, kau akan terdaftar dalam catatan imigrasi ke luar negeri. Dan kau tidak diperbolehkan mengunjungi keluargamu selama 4 tahun ke depan."
"Aku akan menerima konsekuensinya."
"Baik, silahkan nikmati waktu bersama keluargamu. Aku memberimu waktu sampai lusa, jika kau tak memberiku kabar akan kuanggap kau menolak penawarannya."
Setelahnya sambungan terputus. Rayn menghela napas lelah. Yang Rayn takutkan sejak dulu adalah jauh dari keluarganya. Tapi keputusan Rayn sudah bulat, ia akan menerima penawaran itu. Rayn melakukan itu untuk keluarganya, jadi ia tidak perlu ragu.
Anak sulung memiliki tanggung jawab yang besar. Keputusanku tidak salah. -Rayn meyakinkan dirinya.
Tatapannya terkunci pada amplop di atas meja belajarnya. Sampai sebuah ketukan pintu mengalihkan perhatiannya.
TOK! TOK! TOK!
Tidak lama setelahnya terdengar sebuah suara, "Mom boleh masuk?"
"Tentu, mom!" seru Rayn setelah menyelipkan amplop surat yang tadi tergeletak di atas mejanya di antara buku-bukunya.
Pintu kamar Rayn terbuka. Tampaklah seorang wanita paruh baya yang masih cantik diusianya yang tak lagi muda. Kemudian pintu kamar kembali tertutup. Wanita paruh baya —Katy Hill— itu mendekat ke arah Rayn. Tangannya memegang amplop surat berwarna cokelat. Ia tersenyum pada Rayn seraya meletakkan amplop itu di meja.
"Ada surat untukmu," ujar Katy.
Sesaat, Rayn menautkan kedua alisnya, bingung. Lagi?! Dari siapa pula ini? Tapi kemudian ia buru-buru mengubah ekspresinya menjadi datar.
"Thank's, mom."
"Apa kau harus pergi, dear?" Katy merangkul pundak Rayn dari belakang, menempatkan dagu lancipnya di atas kepala Rayn.
Tiga hari yang lalu Rayn mengutarakan keingingannya untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Rayn mengatakan pada orang tuanya kalau dirinya mendapatkan beasiswa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe Tomorrow (Hiatus)
Mistero / ThrillerIni tentang seorang lelaki yang ditarik paksa ke arah masa lalunya. Tentang dia yang berjuang melupakan namun dengan angkuhnya takdir kembali mempertemukan. Bukan untuk saling mencintai, tapi saling menyakiti. Berharap waktu akan membuat keduanya me...