Sepuluh kurang sepuluh, Alkan pulang membawa sirup turun panas. Beserta dua bungkus nasi uduk untuk dirinya dan Adrielle. Hasil narik empat penumpang. Baut lutut rasanya terlepas. Gemetar nan berkeringat dingin. Teh tawar buatan Audrielle subuh tadi hanya berdaya dua jam. Lepas itu, Alkan tak bisa berkonsentrasi, rasa lapar mengepung.
Peo nyenyak memeluk botol susu berisi air putih. Tadi malam, anak itu hanya menangis. Tak mau direbahkan di tempat tidur. Pada akhirnya Alkan dan Audrielle berbagi shift menggendong. Sepasang orangtua muda itu begadang sampai pagi.
"Mau makan punyaku nggak?" tawar Adrielle, pindahkan separuh nasi uduk miliknya ke piring Alkan. "Aku dikit aja."
"Kamu nggak lapar?"
Perempuan itu menggeleng. Tadi pagi, dia memasak sisa beras. Separuh sudah dicampurkan air hangat dan kecap untuk makan Peony. Anak itu tak bernafsu makan. Jadinya Adrielle habiskan sisanya.
Mereka makan dalam diam. Bahkan, bunyi gigitan kerupuk pun tak diizinkan di dalam ruangan ini. Terlalu hati-hati, takut Peony terbangun.
"Aku mau narik lagi. Kalau Peo masih tidur, kamu mending istirahat."
Gelengan. "Aku mau nyuci. Baju kotor kita banyak."
Alkan memerhatikan Adrielle. Wajah cantik yang empat tahun lalu membuatnya rela tanggalkan segalanya, kini redup. Hilang pelan-pelan. Kempot sudah pipi chubby, objek cubitan Alkan sehari-harinya. Sorot mata bahagia, jadi makin sayu dikelilingi pigura hitam. Rambut kusam, tulang-tulang leher tercetak jelas lengkap dengan cekukan dalam. Kulit tubuh menggelap.
Semua jadi tak menarik.
Padahal, umur Adrielle belum genap 20. Sorot remajanya hilang berganti aura wanita berumur, bonus sejuta beban di pundak.
Cepat-cepat Alkan tepiskan pikiran aneh saat sadar dirinya ambil peran atas situasi yang terjadi saat ini.
"Kenapa?"
Dia tak sadar, Adrielle menatapnya balik dalam sorot bingung.
"Ah, enggak apa-apa."
Wanita itu coba memulas senyum. "Aku jelek, ya?" tanyanya sadar diri. "Maaf banget nggak sempat dandan untuk kamu."
Alkan tertawa-kemudian menyurut saat dia sadar ini tawa pertama setelah dua minggu diguncang masalah-demi masalah. Ya Tuhan, apa mereka separah itu?
"Aku juga minta maaf, nggak bisa lagi jadi bintang kamu. Sinarku makin redup. Bahkan, nggak terlihat lagi." Dia tertunduk. "Kamu pasti nyesel petik bintang kayak aku."
Dulu, menjadi kekasih Alkan selalu dianggap keberuntungan bagi Adrielle. Alkan adalah bintang yang berhasil dia copot dari langit. Sekarang, segalanya menjadi suram. Bintang ini memekat. Keberuntungan berganti mala petaka mungkin.
"Nggak gitu," sahut Adrielle. Dekati Alkan demi memeluk pinggang lelaki itu. "Kamu tetap bintang aku. Dan juga Peo."
Jemari Alkan menyusup ke dalam rambut Adrielle. Helai-helai yang dulu begitu lembut itu, kini kasar di permukaan kulit. "Aku janji, akan bersinar lagi untuk kalian. Tolong sabar di samping aku. Sampai semua ini lewat."
Jawaban pasti dari Adrielle berupa sebuah pelukan yang lebih besar. Perempuan itu daratkan sebuah ciuman di bahu tegap Alkan. Membisikkan janji-janjinya bahwa dia tidak akan meninggalkan Alkhan, apa pun keadaan mereka. Susah-senang. Suka-duka, sehat-sakit. Mereka adalah tim.
"I love you," bisik Alkan. Bibirnya melata dari pipi, rahang, lengkung sikut, sampai telapak tangan Adrielle. Mengecup penuh kiriman rasa terima kasih karena mau bersabar dalam ketidakpastian. Suatu hari, tangan yang kasar dan dipenuhi gurat-gurat kerutan halus sejak menjadi buru cuci kostan ini, tidak akan dibiarkan melakukan pekerjaan kasar lagi.
Alkan berjanji.
***"Susah banget lo dihubungin!" seru Jonathan. Letakkan cameti di samping Alkan. Lalu melepas boot penunggang. Sempat-sempatnya dia menilai penampilan sepupunya itu. Wajah tampan yang tak terurus. Jeans pudar dan sepatu Vans tua. Benar-benar berbeda dengan Alkan empat tahun lalu.
"Baru juga 22 tahun, lo keliatan kayak kakek-kakek sumpah."
Jonathan juga bercelutuk bahwa kuda-kuda dalam horse stables di sana lebih terurus. Gemuk, kulit mengilap, sehat. ketimbang Alkan yang layu.
Komentar jujur yang bikin percaya diri Alkan mengecil seukuran pori. Dia lepas jaket ojol warna hijau itu lalu melipatnya dan masukan ke dalam ransel. Menyesal rasanya datang ke arena pacuan kuda ini, kalau ujungnya dijadikan bahan ledekan.
Jonathan menepuk pundaknya. "Ini kehidupan yang lo pilih?" sindir laki-laki bermata sipit itu. Dibalas buangan muka Alkan ke warm up arena.
Mereka terdiam, dilatari suara sepatu-sepatu kuda memukul arena serta gertakan para penunggang.
"Apa bayaran yang lo dapat setelah kabur dari rumah? Teman tidur gratis? Plus satu anak h-"
Alkan memungut ransel dan bangkit tinggalkan Jo. Tak suka jika hinaan itu mulai menyudut ke Peony. Sampai di arena parkiran, dia nyaris membanting helm. Kedapatan begitu frustrasi. Jongkok di samping motor dan mengusap wajah.
Saat ini, keadaan belum begitu kondusif untuk bertemu dengan keluarganya. Pertama, dia berada pada kepercayaan diri yang memudar. Kedua, dia mulai ragu-ragu pada keputusannya empat tahun lalu. Ketiga, dia takut. Sangat takut melanggar janji yang baru dia ucapkan beberapa jam lalu.
"Heh, gue panggil lo ke sini buat ini..." Jo tiba-tiba muncul. Melempar undangan ke hadapan wajah Alkan. "Seharusnnya lo nggak dapat undangan karena lo orang dalam. Tapi karena lo sendiri yang mengasingkan diri, jadi posisi lo sama kayak tamu lain."
Dia pergi setelah membuat peringatan untuk tidak datang membawa Adrielle dan Peony.
Berwarna hitam, penuh dengan ilustrasi floral. Dan typography yang menarik perhatian mata. Alkan membacanya. Ada nama Jonathan dan Valerie di sana. Mereka akhirnya penuhi goal terbesar yang sudah dicicitkan sejak dulu. Pemberkatan di salah satu Gereja di Vatikan. Resepsi khusus keluarga di New Zaeland, ala Lord Of The Rings. Dan resepsi kedua di hotel termewah.
Alkan menelan ludah. Lalu membuang undangan itu.
Dia tidak akan hadir.
Datang ke sana, sama saja membuang Adrielle dan Peony.
Tidak tidak. Alkan tidak akan meninggalkan prioritasnya. Dia sudah janji untuk pasang badan bagi keduanya. Dan selamanya, janjinya akan dipegang.
Sekali lagi Alkan merapal janji, "Nggak akan tinggalin Peony dan Adrielle."
KAMU SEDANG MEMBACA
RENGAT
RomanceSeharusnya, Audrelle tahu, kalau lelaki yang dia cintai adalah Bintang. Yang tempatnya di Langit. Tapi Audrell yakin bisa mencomot bintang itu dari atas sana, lalu dijungkirkan ke Bumi. Bahkan, dibawa ke rumahnya yang gelap, letakkan tepat di sebela...