RENGAT - TIGA

6.6K 1.4K 137
                                    

"I Love you."

Dua setengah tahun lalu, tepatnya di ruang persalinan, kuping Adrielle terakhir kali disapa kalimat itu.

Sejak Peo lahir, segalanya makin berat. Biaya hidup meroket, hujan gunjingan, pemutusan hubungan sepihak oleh keluarga. Mereka bagai samsak yang diterpa tinju dari berbagai sisi.

Adrielle tahu, masa sulit tak memberi ruang untuk pikirkan bagaimana perasaan mereka satu sama lain. Apa yang dirasakan Alkan terhadapnya, begitu juga sebaliknya, itu tak penting lagi. Toh, mereka punya Peo.

Sedingin-dinginnya Alkan setiap kali Adrielle menangis lihat anaknya hanya minum air putih selama dua hari karena tak punya uang beli susu, atau semurka-murkanya lelaki itu, kala mereka bertengkar, dia tak akan pergi karena Peo selalu jadi alasan untuk tinggal.

Tadi, kembali mendengar tiga kata itu, pohon rasa yang nyaris gundul di hati, bertunas lagi. Sangat berarti bagi Adrielle. Nilainya setara dengan sebuah tali penyelamat kala dirinya hampir masuk dalam pusaran pasir isap.

Adrielle senang, mengetahui bahwa dirinya juga masih dijadikan alasan atas bertahannya Alkan.

Itu saja sudah cukup.

Satu i love you dari Alkan akan mengawetkan daya tahannya berada di sebelah lelaki itu. Dalam masalah besar sekalipun.

Sepanjang hari itu Adrielle habiskan dalam senyum yang tak pernah puas melintang di bibirnya.


***

Pagi hari, Adrielle tengah menggantung cucian di halaman belakang kostan. Sedang riang hatinya. Sang buah hati sudah bisa ditinggal bermain bersama anak-anak penghuni kost lain. Sekali dua kali tawanya yang mampir di kuping Adrielle, rambatkan hangat sampai ke dada. Senyum Adrielle tak putus dapati kuncir kuda anaknya tertiup angin.

Memikul status sebagai ibu, Adrielle rasakan kekutan bisa datang bahkan dalam masalah besar sekalipun. Sakitnya anak bisa dijadikan motivasi supaya lebih giat kerja. Apalagi saat lihat anaknya tertawa dengan cekikikan melengking seperti ini? Rasa lapar pun bisa ia skip berhari-hari.

"Mama, Mama!" Peony tiba-tiba datang.

"Iya, Sayang?"

Peo tak bilang apa-apa. Jemari kecilnya menunjuk si kembar, Vio dan Via. Yang duduk di rumput, saling berebut sekotak donat McD.

Longsor lagi rasa gembira Adrielle. Begitu cepat wajahnya berganti slide. Kini, dia sedang memakai topeng suram. Pedih itu terlihat pada urat-urat leher, pada putih matanya yang memerah. "Nanti. Kita beli, ya?" hiburnya. Padahal di kepala, memikirkan bagaimana caranya dapatkan uang untuk penuhi keinginan Peo.

Anak itu menggeleng. "Peo mau itu!"

"Iya. Nanti, kalau Papa Al udah pu-"

"Peo mau donat!" jeritnya, menarik-narik daster lusuh Adrielle. "Mau donat!"

Adrielle coba menenangkan. Sampai perhatian mama si kembar tercuri. Wanita gemuk itu memanggil Peo. Ambil satu buah donat lalu dibelah menjadi tiga. Dia jelaskan bahwa donat ini dibeli kemarin malam. Dan memang hanya tersisa satu di dalam kotak. Si kembar bahkan memprotes karena bagian mereka semakin sedikit. Sang Kakak-Via-coba merebutnya dari cengkraman tangan Peo. Anak itu keras kepala melindungi bagiannya. Sampai serpihan-serpihan terlempar terkena cakaran.

Geram karena tak berhasil, Via mendorong Peony hingga tersungkur ke rumput. Kepingan donatnya terlempar.

"Via!" tegur sang Mama. Anak empat tahun itu masih marah-marah.

Cepat-cepat Peo memungut donat-nya. Lalu berlari ke kamar. Adrielle berterima kasih sebelum membuntuti sang anak. Di belakang, tangisan Via mengudara. Dia serukan permintaan agar donatnya dikembalikan.

Di kamar, Peo bersembunyi di samping meja tempat mereka menaruh dispenser dan rice cooker. Kalap, anak itu memakan donat. Seolah takut, akan ada yang merebut. Kunyahan buru-burunya, sorot mata khawatir, serta gestur waspadanya bikin hati Adrielle porak paranda di dalam dada. Di akhir, Peony bahkan rakus menjilat toping yang menempel di permukaan telapak.

Adrielle tinggalkan Peonny. Di luar, Via masih menangis dan berteriak menuntut donatnya dipulangkan. Kepala Adrielle berdenyut. Pura-pura perbaiki susuanan baju di lemari kecil itu. Padahal di sana, dia menangis dalam diam.

Dua setengah tahun, anaknya belum pernah makan donat mahal. Jangankan itu, susu yang kebutuhan utama saja sering kali tak terpenuhi.

Jika waktu bisa dibalik, Adrielle ingin menyiapkan diri. Benahi segalanya agar lebih baik. Naikkan kualitas diri supaya bisa bekerja di tempat yang layak. Tak perlu kaya seperti keluarga lain, asal bisa membawa apa pun yang ditunjuk Peo, ke dalam genggamannya. Tanpa mengelabuhi ini-itu seperti yang mereka lakukan selama ini.

Peo menunjuk sepeda, Alkan mengisi anaknya ke dalam ember pencucian lalu mendorong, memutar-mutar di rumput sampai anak itu terhibur dan melupakan permintaan awalnya.

Peo ingin main Barbie seperti anak tetangga kost, mereka membuat boneka dari kaus kaki bekas.

Segalanya serba ditipu.

Anak itu masih dua setengah tahun. Bisa dialihkan dengan hal lain. Kelak, saat dia sudah lebih paham, tentu segala upaya mendistraksi tak lagi mempan. Adrielle tak tahu bagaimana cara dirinya dan Alkan mengelabuhi.

Pintu terbuka. Segera Adrielle keringkan mata yang sembab. Alkan paling benci jika dia pulang dalam keadaan lelah, lalu disuguhkan pemandangan tangisan. Bisa dipastikan Adrielle langsung kena marah.

Lihat anaknya sembunyi-sembuyi di sudut sambil menjilat tangan, Alkan keheranan. "Peo ngapain di situ?" Mendekat. "Makan apa?"

"Do..."-mengemut pucuk-pucuk jemari-"Donat."

Laki-laki itu menoleh pada Adrielle. "Dapat dari mana, Drie?"

Angkat bahu. Adrielle berdoa semoga tangisnya tidak meledak. Dia takut dimarahi. Tapi gejala menangis semakin meningkat. "Dari ma... mamanya si kembar."

Perempuan yang baru saja disebut namanya itu terdengar meneriaki anaknya di luar sana agar diam. Kerutan berkumpul di dahi Alkan. "Si kembar kenapa? Kok nangis-nangis minta donat dibalikin?"

Tak tahan lagi, Adrielle tumpahkan tangisnya lalu melapor kejadian detail.

"Kamu nggak bisa bujuk dia apa?" komentar Alkan. Menarik tubuh anaknya keluar. "Malu, Drie. Dikira Peo nggak pernah makan yang begituan."

"Ya memang nggak pernah, kan, Al?"

Lelaki itu malas menyahut. Adrielle dalam simbahan air mata adalah hal terakhir yang ingin dia lihat hari ini. Alkan pusing, dia pulang ingin keluhkan bahwa uangnya habis mengganti ban dalam yang pecah, malah dapati keluhan lain.

Masalah demi masalah.

Keluhan berbalas keluhan.

Begitu saja terus sampai kenyang.

"Ayo, Peo. Kita main di luar." Ajaknya, tinggalkan Adrielle dalam isak.

RENGATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang