PART THREE

46.1K 300 7
                                    

IMELDA :

Aku terbangun keesokan paginya karena cacing di dalam perutku sudah berubah menjadi naga raksasa, siap menyemburkan apinya, bisa menabuh genderang perang kalau nggak segera di isi. Masalahnya badanku terlalu lemas, otot-ototku sakit semua, jiwaku rasanya masih separuh melayang. Seperti ada buldozer menekan dan melindasku. Berat sekali sampai rasanya sulit bergerak.

Bulu mataku berkerjap cepat beberapa detik, barulah setelah itu aku menyadari, kalau ada sepasang lengan kokoh dan kuat membungkus pinggangku. Menolehkan kepalaku ke balik bahuku, hampir saja aku memekik kaget ketika melihat wajah tampan Kak Abri yang terlelap tenang.

Dia memelukku dari belakang! semalaman?!

Langsung saja aku ingat, kami kan sudah menikah. Menjadi Suami Istri yang sah baik di mata hukum ataupun Tuhan.

Suami Istri??

Kata-kata itu membuatku merona. Dan, ya ampun, Kak Abri cakep banget ya kalau sedang anteng begini.

Perlahan aku membalikkan badanku hingga berhadapan dengannya, tangan kananku sekarang menjadi bantal. Lalu aku cuma bisa terdiam. Menganggumi keindahan wajahnya. Rahang tegas di penuhi guratan keras, menunjukkan segala kemaskulinitasannya.Hidungnya mancung runcing agak mirip hidung  orang-orang ras Kaukasia. Aku terpesona selama cukup lama pada deretan alis lebat tebal hitamnya.Terakhir, turun ke bibirnya.

Jenis bibir tebal berisi di bagian bawah, sedikit tipis di atas, tapi agak kemerahan. Kalau kata Misa, sahabat baikku sejak SMA, ini yang di sebut dengan bibir sensual.

Semua teman-temanku langsung berteriak kegirangan begitu ku kirimkan foto Kak Abri, hanya beberapa jam setelah kami resmi berpacaran. Bahkan Misa secara terus terang berkata kalau Kak Abri jauh lebih tampan berkali-kali lipat dari mantan-mantanku sebelumnya, apalagi yang terakhir.

Kepala Kak Abri bergoyang sedikit, membuatku menjadi salah tingkah, takut terpergok sedang memandangi dia. Walaupun kami sudah menikah, rasanya masih sulit membuang semua sifat pemaluku jika sudah berurusan sama kata  'keintiman'.

Hingga, dorongan biologis dari dalam perut yang menggebu-gebu, membuatku tanpa sadar menyentuh sedikit kaus putih tipis pembungkus tubuh seksinya. " Kak...kak Abri...bangun dong Kak..." kataku lirih.

Tidak ada respon. Kasian, dia pasti capek banget setelah seharian kemarin.

" Kak.." desakku lagi. Kali ini setengah mengguncang bahunya.

Ekspresi muka Kak Abri berubah, seperti macan jika ketenangannya di usik. Kuperhatikan lamat-lamat sewaktu otot-otot mukanya bergerak-gerak, hidungnya mendengus beberapa kali, lalu akhirnya kelopak matanya perlaha-lahan terbuka. Sepasang retina coklat teduhnya masih sedikit kemerahan, tanda dia cukup mengantuk.

" Pagi sayang...tumben udah bangun?" tanya Kak Abri. Suaranya parau, serak-serah basah. Jenis pita suara yang bisa membuat Steven Tyler bahkan Ariel Noah sekalipun bisa merasa sirik.

Jawabanku kali ini bukan berasal dari bibirku, melainkan isi perutku. Gemuruhnya keras banget sampai-sampai aku menutupi wajahku karena malu. 

Seketika Kak Abri tertawa lepas. " Kamu laper?" sekarang dia sudah betul-betul bangun.

Aku mengangguk pelan. " Maaf ya, kemarin makannya sedikit soalnya" jawabku.

" Nggak apa-apa, kalau emang waktunya lapar sebaiknya jangan ditunda" Kak Abri bangun dari tidurnya, menggeliat satu kali, membuatku nyaris meneteskan air liur melihat bisep yang menonjol dari kedua tangannya. Sangat menggoda.

" Mau makan di sini aja atau di bawah?" tanyanya. Meraih telpon di atas meja samping kasur berukuran king bed tempat kami tidur.

" Sini aja deh Kak. Imel masih lemess banget. Males juga ke mana-mana" jawabku.

PENGANTIN BARUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang