just throw it away

18.1K 1.9K 155
                                    

Segera aku memasuki kamar begitu Jimin permisi untuk pulang. Dia menghabiskan waktu hampir setengah hari disini hanya untuk menyalurkan rindu denganku yang tidak tertahankan. Barangkali, banyak waktu yang tersisa untuk kami jika ingin bertemu dan berkonversasi lebih lanjut. Nyatanya, Jimin meminta satu hari penuh ini berada dalam pandanganku. Sikap posesifnya kembali hadir setelah sekian lama terkubur jauh di dasar bumi. Kendati masih terasa asing sebab ini bagaikan jalinan hubungan pertama seperti dulu, namun Jimin merubahnya menjadi manis. Pun aku jadi tidak canggung lagi dengan sikapnya yang protektif.

"Aku tidak suka dengan Ayah tirimu," aku hanya dapat tergelak pelan saat mendengar Jimin berungkap terang-terangan seperti itu. "Dia benar-benar terlihat aneh dimataku."

"Mungkin ini pertemuan pertama mu sekaligus acara tatap muka terlama yang pernah kau lakukan bersamanya," aku mengedikkan bahu sekilas. Tersenyum geli, lekas melanjutkan, "Lagipula, dia orang yang ramah dan baik." Baiklah, aku seakan kehilangan kendali hingga harus membela Jungkook dihadapan Jimin. Sikap mesumnya apakah termasuk kategori ramah dan baik? Kurasa aku mulai gila. "Dia juga benar-benar berperan menjadi seorang Ayah dalam keluarga kami." Aku akan menjahit bibirku setelah ini.

"Kau yakin? Dia tidak berperilaku buruk, 'kan?" Jimin memicingkan matanya lucu. Mengundang kekehan geli dari bibirku. "Oh, ayolah, Ji. Aku tidak bercanda saat ini," keluhnya sembari menyandarkan kepala di sandaran sofa.

Lantas aku menggeleng pelan masih dengan sisa tawa yang hadir. "Tidak, kok. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Hela nafas lega Jimin menguar setelahnya. Sebelah tangannya naik dan bertengger di puncak kepalaku. Aku dapat melihat tatapan penuh cinta yang dilemparkan maniknya hanya untukku. Pun debaran asing itu hadir hingga wajahku kini terasa memanas hanya karena keheningan menyelimuti kami. Pun sorotan netra Jimin seakan membiusku untuk tidak melepaskan pusat perhatian.

"Cinta itu indah, ya," ujarnya, memecah kesenyapan yang berlangsung dengan Jimin yang mulai mengusap lembut suraiku.

"Indah?" Aku bergumam singkat dengan tutur nada pelan dan kepala dimiringkan. "Maksudnya?"

"Cinta itu ... tidak pandang usia," tone beratnya benar-benar membuat ku untuk menajamkan indera pendengaran. "Seperti kasus saat ini. Ibu mu dan ... emm—siapa namanya?"

"Jungkook. Jeon Jungkook." Tanpa sadar aku menjawab cepat masih dengan tatapan penuh tanya di sepasang irisku.

"Ah, ya!" Jimin menjentikkan jemari. "Jeon Jungkook. Ibu mu dan Jeon Jungkook saling mencintai tanpa pandang usia. Ya, meskipun tidak terlalu jauh perbedaan umur yang terjadi diantara mereka."

"Jungkook—ah, maksudnya, Ayahku itu, sepertinya seumuran denganmu," ini hanya hipotesa ku yang tidak berdasar sama sekali. Hanya dengan menilai proporsi wajah dan tubuh, tanpa ada kepastian langsung dengan resmi. "Ini hanya kemungkinan saja. Aku tidak tahu pasti apa itu benar."

"Aku juga berpikiran sama denganmu." Jimin kini merubah arah fokus mata. Menatap ke depan dengan tatapan yang sangat sulit untuk kuartikan. "Omong-omong, bagaimana pertemuan mereka, antara Ibumu dengan Jungkook? Aku jadi penasaran."

Ah, benar. Aku juga tidak tahu pasti bagaimana mereka bisa saling kenal lalu kemudian cinta tercipta dengan sendirinya.

Maka, gestur yang kuberikan berupa gelengan seraya berkata, "Aku sama sekali tidak tahu dengan cerita awal mereka bertemu." Bibirku membingkai senyum. Pastinya itu pertemuan yang indah hingga mereka ditakdirkan untuk menikah. "Tentu saja indah, bukan?" tanyaku kepada Jimin.

Young Daddy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang