Setelah lebih dari sepuluh hari mengasingkan diri dari whatsapp, akhirnya beberapa alasan kuat mengundangku untuk kembali menyapa aplikasi itu dan menyambut pesan-pesan yang masuk.
Tak lain, lagi-lagi karena keputusan yang sudah matang, sudah kupikirkan beberapa hari yang lalu. Bahkan, sejak kehilangan separuh jiwaku, aku sudah memutuskan untuk tetap menunggunya pulang.
Karena, Andi.
Tentu saja di antara barisan-barisan pesan yang masuk, pesan dari Andi tidak ada, terhalang oleh pemblokiran yang aku lakukan hari itu.
Untuk mengirimnya pesan lebih dulu? Ah, tidak, aku tidak semudah itu mengungkapkan apa yang kuinginkan, lebih tepatnya aku memang tidak memiliki keberanian untuk menjenguk sosok itu kembali.
"Tha, Andi online, kan?" kirimku pesan pada Julytha.
Tak lama setelah itu, "Iya, sudah buka blokirnya, San?" balasnya.
"Sudah, Tha. Tapi ya itu, cuma bisa berharap, ada pesan masuk darinya."
"Aku bilangin aja deh ke Andi. bicarakan berdua baik-baik, San. Ini dia sekarang kelihatannya serius sama kamu."
"Iya-iya, sebenarnya masih belum siap menghadapi pesan-pesannya, Tha. Pasti nangis lagi."
Iya, dan sekarang sebelum pesan Andi masuk, air mata itu lolos, tak pernah bosan mengalir di pipiku yang kata Andi pada hari itu makin kurus dan banyak jerawatnya.
Notif handphoneku berbunyi sekali lagi, namun itu jelas dan jelas sekali bukan dari Julytha. Bukan! Tidak hanya sekali. Notif itu.. notif darinya, Andi.
Lima pesan darinya, dengan isi yang sama, tulisan yan menampilkan nama panggilanku.
"Kenapa, Dii?" balasku.
"Syana.." balasnya sekali lagi.
Andi mengirim sebuah foto, foto yang sama seperti yang Silvie tunjukkan untukku. Nama yang bertata di atas pasir bersama daun berbentuk hati membatasi keduanya.
Senyum getir tercetak begitu saja. Namun, kenyataannya berbeda. Ada permohonan yang begitu memelas untuk meminta si pengirim pesan ini agar cepat pulang. Permohonan yang diteriakkan hati, hati yang katanya begitu rindu.
Cepat pulang, Dii, ku mohon..
Dengan beberapa kata di bawah foto itu. "Sudah ditunjukkin Silvie, nggak?" tanyanya.
"Sudah, Dii." Meski basa-basi, yasudahlah, semesta, tak apa, dia pasti akan kembali, kan?
Tidak sedikit orang melekatkan pikiran bahwa mengajak mantan balikan sama seperti memakan air ludah yang sudah dibuang. Juga banyak yang bilang, memakan makanan yang sudah gugur itu akan beda rasanya, kemudian dikaitkan ke menjalin hubungan kembali bersama orang yang sama. Yang biasa orang sebut: mantan pacar.
Ya, barang kali dilihat-lihat, memang banyak yang begitu. Iya, kan? Logikaku juga tak ketinggalan untuk membenarkannya, bahwa bersama Andi lagi, sekalipun benar-benar kembali, tetap saja rasanya pasti akan beda, tidak akan seasik dulu mungkin.
Tetapi hatiku juga tak pernah mau kalah, dan dialah, yang selalu berhasil menguasaiku. Bahwa, keinginanku hanyalah dia pulang, dia kembali, dan, tidak akan pergi lagi. Pelukanku tidak akan tertutup untuk menyambut kepulangannya.
Aku hanya ingin dia kembali padaku, seperti apapun nanti perbedaan yang akan terasa.
"Syana di mana?" tanyanya lagi.
"Sudah di rumah, Dii."
"Boleh foto nggak, San?"
Foto, dalam keadaan berlinang butiran-butiran bening seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dii & San
Teen FictionKetika hati yang masih membekas lukanya, masih tersisa rasa perihnya, kemudian dijatuhkan lagi oleh Sang Pencipta untuk merasakan cinta. Hati yang sudah lama ia tutup dan berusaha ia rawat hingga sembuh, akhirnya disembuhkan oleh sosok baru yang had...