Sarah terus mengigit ujung kukunya yang sekarang sudah tumpul. Langkah kakinya lebar-lebar, berharap ia akan segera sampai ke kelasnya.
Bukan tugas rumah yang membuatnya gelisah seperti sekarang ini, melainkan bercak darah di seprai yang ia temukan saat setelah bangun dari tidur pagi tadi.
Dari temannya dan situs internet yang dibacanya, saat melepas keperawanan sebagian para gadis mengeluarkan bercak darah -apalagi jika kurang foreplay, juga rasa kurang nyaman di kewanitaan setelah melakukannya.
Sarah semakin khawatir, pagi tadi ia melihat bercak darah itu, ia juga merasakan perih luar biasa di kewanitaannya saat buang air kecil. Bukan hanya dua hal itu saja, Sarah sampai sekarang masih merasa tidak nyaman akan kewanitaannya, di dalam sana terasa ada sesuatu yang mengganjal meski kenyataannya tidak terisi apa apa, dan jangan lupakan lubang kewanitaannya yang sedikit menganga. Sarah mengecek semuanya tadi pagi, hingga ia harus menerima kenyataan bahwa sekarang ia terlambat mengikuti kelas, juga dihantui akan mahkotanya yang hilang.
Sebelumnya, Sarah adalah gadis suci yang belum pernah sekalipun melakukan hubungan intim, bahkan berciuman pun ia belum pernah melakukannya. Usianya masih 18 tahun, masih sangat muda pikirnya untuk melepaskan mahkota.
Namun apa sekarang? Sarah tidak lagi perawan, gadis itu kehilangan keperawanannya tanpa tahu siapa yang mengambilnya.
Tidak, semalam Sarah tidak mabuk. Setelah makan malam yang ditemani kesendirian usai, gadis itu lekas beranjak ke kamarnya untuk tidur.
Sudah,
Paginya ia terbangun dengan keterkejutan luar biasa.
Ia tidak bisa menangis, tidak ada gunanya menangis saat dirinya tidak tahu siapa pencuri mahkotanya itu. Yang gadis itu lakukan hanyalah berpikir siapa gerangan manusia biadab yang sudah menyetubuhinya secara diam diam.
Orang itu pasti sudah mengatur segalanya, pikir Sarah.
Pasalnya, Sarah tidak merasakan apa pun saat malam hari. Ia tidak merasa tengah digerayangi atau pun tengah disetubuhi. Semalam ia tertidur dengan pulas, benar benar pulas sampai mimpi pun tidak bisa mampir di tidurnya.
Sarah melirik anak kecil yang tengah lari larian di koridor. Ia tahu siapa gadis cilik berkuncir kuda dengan sepatu pink itu, gadis cilik itu ialah Anneta, putri dari guru Matematikanya.
Tanpa diduga, tangan kirinya yang semula bebas terayun ke depan-belakang mengusap perutnya yang rata.
Bagaimana jika aku sampai hamil?
Sarah mengepalkan tangannya, ia marah akan sekelebat pertanyaan di kepalanya.
"Sarah!"
Sarah dengan tiba tiba --seperti robot menghentikan langkah kakinya. Gadis itu mendongakan kepala, menatap anak laki laki yang melambaikan tangan padanya dengan senyum lebar.
"Kau terlambat Sarah? Murid macam apa kau ini." Tepukan mantap pada bahu Sarah terima.
Gadis itu masih setia membungkam mulutnya, hanya matanya yang sejak tadi bergerak ke sana kemari mencoba fokus menatap manik hitam kelam milik sahabatnya, Renan Aditya Pradipta.
"Adit," panggil sarah pada sahabatnya dengan gugup.
"Kenapa?" Jawab Adit dengan senyum yang belum kunjung surut.
"Aku harus ke kelas."
Adit mengerutkan dahinya, "Hm, baiklah. Tapi nanti kita ke kantin bersama, bagaimana?"
"Akan aku pikirkan," kata Sarah singkat. Gadis itu melenggang dengan cepat ke kelasnya.
Sarah bersyukur, kelas masih belum terisi guru padahal dirinya sudah terlambat 10 menit lamanya.