Antara Ambisi dan Harapan

185 2 1
                                    

Nadya mengancing baju kemejanya, kemudian merapikannya, dan mengecek kembali penampilannya di cermin. Ia mengambil sikat rambut dan menyisir rambutnya yang hitam, panjang, dan bergelombang. Ia menjepit poninya ke belakang. Setelah itu ia menatap wajahnya yang sudah didandani di cermin, dan ia menghela napas panjang.

"Sudah siap?" Tanyanya pada diri sendiri, "Oke."

Kemudian Nadya mengambil tas kerja dan blazer-nya dan menuruni tangga rumahnya untuk kemudian berjalan ke arah garasi. Ia membuka pintu mobil, menyalakan mobil Jazz-nya, dan mulai memanaskannya. Selama mobil dipanaskan, ia membuka kembali iPad-nya untuk mengecek ulang file pekerjaan yang semalaman suntuk ia kerjakan, sebuah Presentasi Kerjasama antara perusahaan catering terpopuler di Indonesia dengan perusahaannya tempat ia bekerja sekarang, perusahaan bekas ayahnya bekerja dulu. Ia mengangguk-angguk setiap ia merasa hasil kerjanya sudah bagus dan membalik halaman demi halaman. Setelah semuanya sempurna, ia mengecek kembali mobilnya, dan setelah beberapa menit, ia siap berangkat. Dengan membaca basmalah, ia berangkat.

Sepanjang jalan ia mendengarkan lagu-lagu tahun 60-an dan ikut berdendang. Ia suka sekali dengan lagu-lagu lawas yang disukai ayahnya. Nadya sama sekali tidak emosi dengan keadaan jalanan Jakarta yang sudah mutlak macet. Ia selalu menikmati setiap detik di dalam hidupnya dan selalu bersemangat karena ayahnya selalu bilang, "Ada tiga kata yang bisa kita pelajari tentang kehidupan : it goes on." Awalnya Nadya sangat terkagum-kagum dengan kutipan cerdas dari ayah tercintanya tersebut, setelah itu ia mendengar kelanjutannya, "Itu kutipan dari seorang tokoh, Dek, namanya Robert Frost." dan hingga saat ini Nadya selalu tersenyum saat mengingat kembali lucunya momen itu, dan membuat Nadya semakin kagum dengan ayahnya. Ayahnya sangat bijaksana dan berwawasan luas. Bersyukur Nadya memiliki sifat seperti ayahnya.

Satu setengah jam terombang-ambing di tengah kemacetan Jakarta, akhirnya Nadya berhasil sampai dengan selamat di pelataran parkir kantornya di sebuah bandar udara besar di Tangerang. Lima tahun sudah Nadya melakukan perjalanan lintas provinsi demi pekerjaannya : Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. Tapi di sinilah asyiknya. Ia bisa berlama-lama di jalan, dibandingkan ia harus cepat-cepat sampai rumah dan bertemu dengan kakak sulungnya yang sangat pemarah dan tidak pernah memberikan pengabdiannya kepada ayah Nadya. Selain itu, Nadya biasanya mampir dulu ke toko kue untuk beli roti atau pastry untuk ayah dan kedua ponakan tersayangnya. Mereka bertiga tidak pernah lepas dari setiap ingatan Nadya. Apapun Nadya kerjakan demi mereka semua, apalagi setelah kepergian ibunda tercintanya tahun lalu karena penyakit diabetesnya sudah dangat parah dan menjadi komplikasi. Nadya tidak ingin berlama-lama bersedih karena ia ingat kutipan ayahnya, life goes on. Ia harus tetap berjalan ke depan dan melupakan semua duka yang sudah dilewati.

Sampai di ruang kerjanya, Nadya disapa oleh bosnya, Bu Mirna. "Kamu makin hari makin cantik aja, Nad." sapa Bu Mirna dengan sangat ramah. Nadya tertawa kecil, "Nggak ah, Bu. Ibu bisa aja." kemudian Bu Mirna pamit untuk ke ruangannya, dan Nadya segera membuka komputernya. Sudah banyak e-mail yang masuk ke dalam kotak suratnya, dan semuanya adalah Surat Lamaran Pekerjaan. Ia membaca satu per satu, betul-betul teliti, mensortir kira-kira yang mana yang akan diteruskan ke Bu Mirna, dan yang mana yang akan dibuang. Terkadang pekerjaan Latisha, sekretaris pribadi Bu Mirna, agak kurang baik menurut Nadya. Latisha sesekali tidak sengaja mengikutsertakan pelamar yang tidak memenuhi kriteria. Dan Nadya-lah yang bertugas untuk memperbaiki semuanya.

Saat Nadya tengah sibuk mensortir e-mail, kemudian datanglah Ilham dan Ibnu--si "Pasangan Heboh"--ke dalam ruangan Nadya. Nadya tersenyum jengkel melihat mereka berdua yang selalu berjalan bergandengan tangan, padahal mereka bukan pasangan gay. Masing-masing sudah memiliki istri, bahkan Ibnu sudah memiliki seorang putri berusia tiga tahun.

"Eeeeh, ada si Asisten Manajer." goda Ibnu. Nadya balik menyapa dan kembali mengerjakan pekerjaannya.

"Nad, udah sarapan belum?" tanya Ilham sembari mengangkat-angkat alisnya dengan jenaka, bermaksud untuk membuat Nadya tertawa. Tetapi karena Nadya terlalu serius dengan pekerjaannya, ia hanya tersenyum dan matanya tetap menghadap layar komputer.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13, 2012 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mayday, Captain! (Prolog)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang