"Ternyata aku bukanlah milikmu, hanya saja aku mencintaimu. Tapi, kubersabar hingga kau tau bahwa ini terasa sakit."
~*~
Suara kebisingan itu mengganggu ketika aku bersama indahnya mentari senja. Aku baru saja merebahkan tubuhku di atas kursi. Menatap keramaian kota, mendengar alunan melodi jalanan. Namaku Haidar Izzan, sebut saja aku Haidar atau Izzan pun tak apa. Baru saja aku menempuh kursi kelas 10 di Sekolah Menengah Atas. Orang tuaku mempercayai seorang guru di Pesantren, dan sudah pasti masa SMA ini kuhabiskan di Pesantren. Lagi.
Setelah lama menikmati senja dengan kopi hitam yang kuracik tadi, aku bergegas menuju kamar dan mengingat kejadian-kejadian masa lalu ketika aku masih Sekolah Dasar. Teringat wanita yang selalu bersamaku kala itu, Arisha. Ah, iya. Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah ia berubah? atau tetap pun mungkin akan terlihat cantik. Wajahnya cantik, terlihat lucu ketika ia cerewet. Sebenarnya, aku menyukainya sejak dulu, hanya saja aku tak berani mengungkapkannya dan juga aku takut tak bisa berteman lagi dengannya jika aku tertolak.
"Izzan! Ayo bersiap ke Masjid sudah mau Maghrib!" Itu suara ummi atau ibuku. Terdengar jelas menerobos gelapnya mimpi dan khayalan.
"Iya, Ummi." Kujawab dengan santai karena aku sudah bersiap sejak tadi.
Setelah kubersiap aku menuju Masjid sebelum Adzan dikumandangkan. Aku berjalan dengan santai dan lagi-lagi aku teringat Arisha. Aku ingin bertemu dengannya, tapi. Aku tak tahu sekarang dia dimana, nanti deh aku tanyakan sama Ummi, barangkali tahu.
Setelah kuakhiri shalatku bersama jema'ah lainnya, aku bergegas menuju rumah karena ada satu hal yang penting yang harus aku tanyakan pada Ummi, sejenak terpikir olehku mengapa aku begitu antusias ketika bertentangan dengan hal ini. Apakah ini disebut cinta? Tapi sepertinya tidak. Astaghfirullah ... Sadar, Zan! Baru saja kau membuat Allah cemburu atas perbuatanmu! Hati kecilku seakan menyeru hingga seakan terdengar oleh daun telingaku.
"Assalamualaikum, Ummi." Sahutku ketika kulihat Ummi sedang menyiapkan makan malam.
"Wa'alaikumussalam, Kamu udah pulang, bapak mana?"
"Bapak, masih di Masjid, Mi."
"Ya sudah, sini bantu Ummi menyiapkan makan malam."
"Iya, Ummi."
Setelah semua hidangan sudah siap, aku menuju kamar untuk mengganti kemejaku dengan kaus oblong yang biasa aku pakai sehari-hari. Dari tangga, aku bisa melihat Ummi yang sudah duduk menunggu di meja makan, tapi Bapak tak kunjung datang. Mungkin ini kesempatanku untuk menanyakan hal itu pada Ummi.
"Ummi, aku ingin menanyakan satu hal."
"Hal apa, Zan?"
"Tau Arisha, Mi? Yang dulu selalu bersamaku."
"Iya, ada apa?"
"Tidak, hanya saja aku ingin menemuinya."
"Owh, rumahnya tak jauh dari kita, hanya melewati 3 rumah ke arah kiri."
"Owh begitu, oke deh Mi, In sya Allah aku besok akan bersillaturrahim."
"Ya sudah, sekarang kita makan. Suara jejak kaki Bapak sudah terdengar di luar."
Rumah Arisha tak jauh dari rumah ini, lantas apa aku pergi kesana? atau tidak? Aduh kok jadi dilema begini ya? Ada apa sih sebenarnya? Oke deh setelah sarapan besok aku datang ke rumahnya saja. Bismillah.
=-=-=-=-=
Kring ... Kring ...
Ah, suara jam itu. Baru saja aku memasuki mimpiku, sudah terbangun. Pukul berapa ini? kulihat di luar jendela masih terlihat gelap, sunyi. Samar-samar mataku melihat jam itu sekitar jam 3 Pagi. Ah, mungkin itu kode Allah agar kita lebih mendekatkan diri pada-Nya.
Aku berjalan menuju kamar mandi di luar kamarku. Ternyata, habis airnya. Ya sudah, mesti ke kamar mandi bawah. Masih dalam kondisi mengantuk aku berjalan, hingga aku sampai di depan pintu kamar mandi. Airnya membuatku ingin memasuki selimut lagi, tak seperti di Pesantrenku dulu, cuacanya tak sedingin di sini, hingga airnya pun tak pernah kedinginan.
Setelahh aku berwudhu, aku menuju Musholla. Kulihat Bapak sudah i'tikaf di sana, mungkin dari sebelum aku bangun ia sudah berdiam diri di Musholla. Aku merasa iri pada Bapak, ia selalu bisa menjaga sunnah Rasulullah. Di banding aku? Aku hanya hamba yang banyak berdosa, hanya cinta, cinta, dan cinta yang aku pikirkan. Bodohnya aku.
Menjelang adzan Shubuh, aku merebahkan punggungku dengan menyender di salah satu tembok di Musholla. Sebab jika aku tidur terlentang, atau tengkurap aku bisa tidur melebihi apa yang diinginkan. Hingga Shubuh pun tiba, aku kembali berwudhu agar tidak mengantuk hingga selesai shalat.
Seusai shalat shubuh, aku menuju kamar dan hendak tidur kembali. Tapi, Bapak melarangku katanya nanti rezeki dipatok ayam. Aku percaya dengan omongan itu, tapi rasa kantukku tak bisa terkalahkan untuk kali ini. Hingga akhirnya aku tertidur pulas.
=-=-=-=-=
Kali ini sinar mentari menembus celah-celah jendelaku, karena menyilaukan mataku, dan aku pun terbangun. Ummi sudah berteriak agar aku turun dan bersiap sarapan.
"Izzan! Turun cepet! Nanti keburu dingin!"
"Iya, Ummi. Aku sudah di kamar mandi!" Ucapku yang sedikit menghilangkan kebawelan Ummi.
Setelah jiwaku kembali sadar, aku langsung mandi dan turun ke bawah untuk sarapan.
"Ummi!"
"Sudah sana makan! Jangan manja terus"
"Haha, iya Ummi."
Dengan lahap kuhabiskan masakan Ummi yang sangat lezat. Seketika Ummi mengingatkan obrolan tadi malam.
"Zan, katanya mau ke Rumah Arisha?"
"Iya, sebentar lagi aku kesana."
"Owh, iya deh."
Percakapan singkat itu diakhiri oleh perkataan Ummi, dan aku langsung bergegas mencari Rumah Arisha.
"3 Rumah dari sini, 1 ... 2 ... 3 ... Emmh, Ini!"
Ketika aku selesai menghitung rumah, pandanganku tak berubah hingga aku terdiam dalam satu pandangan, Arisha. Mimpi apa aku semalam? Itu ... Itu Bidadari.
"Izzan?"
Masih terdiam dan melihat wajahnya sampai ia menyadarkanku.
"Arisha?"
"Iya, sudah lama kita gak pernah bertemu, Zan. Gimana kabarmu?"
"Ee ... Iya. Baik, kamu?"
"Baik juga, Eh ayo sini masuk."
Aku memasuki gerbang rumahnya, jiwaku masih terdiam, bukan karena rumahnya, tapi Arisha. Ia berubah menjadi wanita yang sangat cantik. Sudah seperti Bidadari Syurga, meski aku tak tahu bagaimana kesempurnaan Bidadari Syurga yang Allah ciptakan.
"Izzan, jangan melamun dong. Kamu mau minum apa?"
"Emm, tidak usah kok. Aku hanya ingin mampir saja kok. Itupun hanya sebentar."
Aduh! Kok malah ngucapin gitu? Padahal pengen lebih lama dengannya. Bodoh dasar bodoh!
"Owh begitu, lagi pula aku juga ingin mengantar Mama belanja. Lain kali, kita ngobrol lagi ya."
"Iya."
Aku bergegas pulang kembali dengan rasa kecewa pada diri sendiri, bodohnya diriku ini. Apa aku ungkapkan rasa ini pada Arisha? Aku sudah mulai dewasa, begitu juga Arisha. Tidak ada salahnya kan? Oke deh untuk selanjutnya, aku akan ungkapkan rasaku padanya. Semoga ... Arisha satu pendapat denganku, tapi bagaimana jika ia menolaknya? Sudahlah tak mungkin ia menolak diriku yang tampan ini. Aduh Izzan mulai deh kambuh khayalannya. Tapi tak apalah mengkhayal kan gratis. Lagi pula tak ada yang tahu selain aku juga Allah. Dan Arisha akan tahu ketika aku mengucapkan rasaku padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Penggenggam Syurga
Teen FictionTerkadang kita merasakan kepiluan, dan berganti menjadi kebahagiaan. Begitu pun sebaliknya. Karena kupercaya pada cinta, menggenggam syurga didasari oleh genggaman cinta Sang Bidadari. Apa yang dirasakan ialah dilema, yang sangat menghantui pikirann...