Enam

51 11 0
                                    

Hari berikutnya aku belum bertemu dengan Ayya, dan sudah pasti ia betah di sini. Sebenarnya aku ingin sekali bertemu dengan Ayya, tapi tak memiliki alasan kepentingan, dan juga takut mengganggu waktu luangnya. Ya, aku mengingat wanita itu, hatiku berdesir ketika kutatap dirinya, meski hanya sekilas dan itu pun tidak sempurna. Ia memiliki kulit putih, tidak terlalu tinggi. Astaghfirullah, kok malah zina pikiran? Ya Rabb ....

"Izzan!"

Suara Fadhil membuyarkan lamunanku tentangnya. Bagus juga sih, agar pikiranku tetap jernih dari perzinahan.

"Mikirin apaan kamu, Zan?"

"Owh, enggak tuh. Aku kepikiran saudariku aja, dia betah atau nggak."

"Oiya, kamu belum cerita tentangnya, jangan lupa cerita ya?"

"Iya siap."

Aku menceritakan Ayya pada Fadhil, dan sungguh, ia sepertinya tertarik, tapi tidak mungkin juga. Hanya Allah yang tahu hati kita ini.

=*=*=*=*=

Sore ini, aku berniat untuk bertemu dengan Ayya, dan tentunya Fadhil ingin menemaniku bertemu dengannya.

"Zan, jadi kan ketemu Tsurayya?"

"Kok jadi kamu yang semangat ya?"

"Haha, emang gak boleh?"

"Serahmu lah, Dil."

Setiap jam mungkin dia menanyakan hal itu padaku, jadi gak? kapan? pertanyaan-pertanyaan yang berakhiran modus. Haha, mungkin sudah lama dia tidak melihat kaum hawa di sini, emang sulit sekali kita berbincang dengan kaum hawa. Ya, meski satu sekolah dan tak dipisah, tetap kita harus memiliki jarak dan sikap seorang santri.
Sore pun tiba, dan akhirnya dengan girangnya Fadhil, kita bergegas menemui Ayya. Bagaimana caranya?

Ya, kantin.

Kantin bertempat di tengah diantara Asrama Putra dan Asrama Putri, aku meminta salah satu petugas kantin untuk memanggil Ayya dan bertemu di kantin ini. Sebelum Ayya datang aku dan Fadhil memesan makanan, Oiya, makanan di sini terjangkau harganya. Santri di sini bisa membeli apa pun yang ia mau.

"Zan, kok kayanya aku deg-degan ya?"

"Giliran tadi aja, cerewetnya minta ampun. Sekarang, Ayya nya udah dateng kaya patung. Gimana seh?"

Aku tertawa dengan perilaku Fadhil sekarang ini, biasanya mulutnya itu cerewet kaya seorang cewek sedang ribut. Tapi, kali ini ia diam seperti seorang yang sangat pemalu, ditambah ketika Ayya datang, mukanya merah, pucat, dan mulutnya seperti terkunci oleh gembok yang tak berkunci.

"Assalamualaikum, Mas Izzan."

"Eh udah dateng, Waalaikumussalam, Ya. Sini, aku pengen ngomong deh."

"Iya, Mas."

aku dan Ayya masih berbincang, sedangkan Fadhil, ia menghabiskan makanannya dan sesekali mencomot makananku. Biarkanlah, semoga perut dia kenyang.

Kali ini, pandanganku jatuh pada sosok wanita itu lagi, sempurna sekali. Wajahnya putih, matanya kebiru-biruan, dan ya. Itu adalah bidadari syurga.

"Mas liat apaan sih?"

Deg
Lagi-lagi Ayya membuyarkan pandanganku, aku tak tahu harus jawab apa kali ini, Ayya sudah terlanjur melihat aku dan objek yang baru saja aku lihat.

"Mas?"

"Eh ... Apa, Ya?"

"Gitu banget liatin Kak Fathia."

"Apaan sih, dek. Ngga, aku liat menu aja. Oiya, kenalin temen Mas, namanya Mas Fadhil."

Aku mengubah topik pembicaraan, dan ya. Fathia. Namanya juga cantik, cocok dengan parasnya tapi entah bagaimana orangnya. Tapi, Fadhil. Ia salah tingkah karena aku tunjuk dan kukenalkan pada Ayya, ia mencubit lenganku.

"Eh, Dil. Sakit dong lenganku."

Haha, ia semakin marah padaku, sebenarnya ia senang, tapi karena baru pertama kali bertemu dengan Ayya, saltingnya minta ampun.

"Jadi gini, Fadhil ini teman pertamaku, Ya. Kebetulan, ia mau nemenin Mas ketemu kamu."

"Owh begitu, Mas."

Fadhil hanya tersenyum melihat Ayya, tapi masih belum ada pembicaraan dengannya, mungkin masih malu dan ragu untuk menanyakan satu hal pada Ayya.

"Eh, Ya. Tadi siapa namanya? Fathia ya?"

"Mmm ... Iya, Mas. Tuhkan liatin dia."

"Syut! Berisik ih, Hanya Allah, aku dan kamu yang tahu, Ya."

"Mas Fadhil enggak? haha."

"Ya lah dia termasuk juga."

Fadhil terkejut ketika namanya disebut oleh Ayya, aduh. Makin-makin perilakunya nanti.

"Eh, Mas. Aku duluan ya, udah kan urusannya, soal Kak Fathia, nanti Ayya bantu. Assalamualaikum."

"Haha, iya. Udah kelar kok. Waalaikumussalam."

Percakapan senja tadi sudah selesai, kulihat wajah Fadhil senyum-senyum sendiri, ia bahagia bertemu dengan Ayya. Hadeuh, dan kali ini aku bahagia juga, pertemuan kedua ini, aku mengenal namanya. Ya, meskipun itu dari Ayya bukan dirinya langsung. Tuhkan? Zina lagi ... Zina lagi, dosa Zan. Ini pondok buat cari ilmu bukan cari istri! Astaghfirullahal Adzim.

Bidadari Penggenggam SyurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang