Part 1 : Aku Menyukaimu, Shiena

9 1 7
                                    

Perempuan itu masih terduduk memegang gawainya sedari tadi. Di bawah pohon ceri yang rimbun. Memberi teduh pada wajahnya yang putih. Bibirnya kecil, hidungnya sedikit mancung. Apa yang bisa aku sukai darinya adalah rambut hitam panjangnya yang diikat seperti ekor kuda.

Dia tampak menunggu seseorang. Gelisah. Berkali-kali memangku dagu. Jarinya mengusap-ngusap layar gawai. Dugaanku dia hanya memainkan menu, memastikan gawainya tersebut selalu aktif.

Datanglah dari sisi barat, motor sport kekinian warna merah. Mereka tampak bersitegang saat wajah mereka sudah saling bertemu. Dengan ending perempuan itu tetap menaiki motor pemuda tersebut. Mereka meninggalkan fakultas jurusan perempuan itu.

...

Satu bulan lagi. Aku meyakini mereka akan putus, dan aku bisa mengisi hati perempuan tersebut. Yang aku dengar mereka sudah jadian selama tiga bulan. Sulit buat akur. Si cowo tipe yang keras, perempuannya sebaliknya. Klasik. Tidak ada yang mengira. Dulu mereka begitu mesra, saat masa-masa pra-pacaran. Pada akhirnya begini juga.

Sebuah hati itu ibarat rumah. Tidak bisa dibiarkan kosong. Tugasku adalah menyiapkan diri mengisi kekosongan hati perempuan itu. Oke, penyebutan 'perempuan itu' terasa menyusahkan. Namanya, Shiena. Shiena Asmira.

Aku mengiriminya pesan. Setelah aku tahu nomor hpnya lewat perjalanan yang panjang.

"Ini Shiena?"

"Maaf ini siapa?" balas pesannya cepat.

"Aku Noran. Aku tahu nomormu dari Viska, sahabatmu. Kamu pacaran dengan Aldo, kan?"

"Iya, kamu temannya Aldo?"

"Yap, aku pernah satu sekolah saat SMA dulu dengannya. Sempat akrab juga sih."

"Sempat? Apa sudah tidak lagi? Kenapa?"

"Dia menyusahkan. Beberapa kali sering memanfaatkanku. Tidak mau disalahkan. Eh, sebentar ... ini jadi seolah kita sedang menggunjingkannya."

"Tidak apa, aku pacarnya. Aku harus tahu tentang dia."

Obrolan kami membicarakan Aldo, pacarnya. Berjam-jam habis. Dari mulai mengirim pesan, aku menyarankan untuk telepon saja. Dia setuju. Pembicaraan kami selesai, saat hari mulai akan berganti.

"Terima kasih ya, Noran. Aku jadi tahu Aldo."

"Iya, Shiena. Mudah-mudahan kamu kuat. Semoga bisa langgeng."

...

Keesokan harinya, Shiena jadi banyak curhat denganku tentang hubunganya dengan Aldo. Juga lusanya, dan besoknya lagi. Sudah seminggu. Setidaknya kami selalu mengirim pesan setiap malam. Menghabiskan malam panjang lagi, bersama. Kesimpulan itu datang.

"Aku sepertinya mau putus saja, Nor."

"Kenapa? Sebentar lagi tanggal jadian kalian yang keempat bulan. Ini sudah waktu yang cukup lama untuk seseorang jadian."

"Aku tidak kuat, Nor. Aldo benar seperti yang kamu bilang. Dia egois. Tidak mau disalahkan. Dia selalu menyudutkanku. Membuatku yang selalu merasa salah. Memanfaatkan perasaan cintaku yang benar tulus buat dia."

Aku meneleponnya. Mendengar isak tangisnya. Berkali-kali sampai aku memulai pembicaraan.

"Kalau ini membuatmu tersiksa dan sampai membuatmu menangis begini. Lebih baik putus saja."

"Iya, Nor. Malam ini juga aku akan memutuskannya."

Kami mengakhir pembicaraan. Shiena pada akhirnya putus dengan Aldo. Kata Shiena, Aldo sampai memaki-makinya, merendahkannya. Aku menguatkannya. Sebisaku.

Aku mulai memberi perhatian. Sedikit demi sedikit. Sampai dari yang biasanya aku menghubungi dia duluan, kini dia duluan yang menghubungiku.

Ah, mungkin waktunya. Ini sudah seminggu. Aku rasa cukup.

"Shiena ..." Alunan perkataanku, aku lembutkan.

"Iya, kenapa, Nor? Kangen? Hehe" aku terbayang dia bicara demikian dengan wajah yang tersenyum malu. Ini sudah jadi biasa. Kami mulai sering bercanda. Meski pada dasarnya, Shiena sendiri yang memulai guyonan.

"Aku menyukaimu, Shiena. Kamu mau jadi pacarku?"
Terang. Jelas. Ini sebuah pernyataan.

"Iya, Nor. Aku mau." Ada jeda sebentar sebelum dia menjawab ini.

"Apa kamu juga menyukaiku?"

"Iya, Nor. Kamu bikin aku nyaman. Bikin aku dijauhkan dari orang seperti Aldo. Aku senang kalau kamu jadi pacarku."

"Syukurlah. Jadi sekarang kita pacaran, kan?"

"Iya, Nor." ada isak tangis kecil, sepertinya ini yang dikatakan orang 'terharu'.

"Oke, kita putus, Shiena."

"Maksud kamu?"

"Iya ... beberapa menit lalu kan kita pacaran. Sekarang kita putus."

"Apasih. Enggak lucu kamu!"

"Aku serius pacaran sama kamu. Aku serius mutusin kamu. Aku sudah tahu rasanya. Terima kasih."

"Rasa apa?"

"Ya ... rasa pacaran sama orang, kemudian langsung putus."

"Kamu gila, Nor!" Tangis haru itu sepertinya bukan lagi menjadi sebentuk tanda kebahagiaan.

"Kamu yang ketiga bilang aku gila, Shiena. Tapi, jujur aku menyukaimu. Menyukai rambut ekor kudamu. Itu saja."

Dering terputus berbunyi. Ah. Ternyata begitu reaksinya. Aku ingin tahu, kalau saja kita pernah bertatap muka satu sama lain. Kalau dia tahu, selama ini aku juga bohong tentang teman Aldo dan lainnya. Kalau dia tahu .... Tapi ya, sudahlah. Ini cukup.

Tinta Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang