Di suatu pagi yang cerah, Moza terbangun tidurnya. Entah pukul berapa Moza tertidur, yang jelas sulit untuk Moza memejamkan matanya.
"Nona sudah bangun?"
"Astaga, Lezzi kau sangat mengejutkanku."
"Maaf, Nona," sesal Lezzi.
"Tak apa, ada apa kamu pagi-pagi sudah di dalam kamar ini?"
"Nona, Tuan Mark meminta saya untuk membangunkan Anda. Tuan ingin mengajak Anda untuk memeriksa kandungan."
"Dengan siapa aku akan pergi?"
"Dengan Tuan, Nona."
"Apa Tuan Lexi sudah datang?"
Tuan Lexi? Saya rasa belum Nona, sekalipun tuan muda kembali ke New York. Ia jarang berkunjung, ia akan tinggal di mansion pribadinya."
"Lexi memiliki mansion?"
"Iya, Nona."
"Lalu di mana orang tua mereka tinggal?"
"Nyonya besar telah meninggal 3 tahun yang lalu, sedangkan tuan besar tinggal di Singapura," jelas Lezzi. Moza tidak lagi bertanya. Terlalu malas untuknya mengenal Mark lebih dalam.
"Lezzi, kalau begitu aku akan mandi dulu," ujar Moza. "Saya akan siapkan Nona." ujar Lezzi seraya pamit pada Moza.
Moza berjalan perlahan menuruni anak tangga, ter- lihat Mark telah menunggunya di lantai bawah.
"Sudah siap?" tanya Mark seraya membantu Moza untuk menuruni anak tangga.
"Kita mau ke mana?"
"Lezzi tidak memberi tahumu?"
"Sudah! Kita akan ke dokter kandungan."
"Ya, tapi maaf, aku tidak bisa menemanimu. Pergilah bersama Lezzi."
"Kenapa?" tanya Moza menuntut jawaban.
"Tunanganku akan datang dari belanda," ujar Mark masih dengan nada tenang. Lain halnya dengan Moza yang menelan salivanya sulit.
"Oh...." jawab Moza ber-oh ria. Walaupun kenyataannya begitu banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan kepada Mark, tapi diurungkannya.
Sejak kapan Mark memiliki tunangan? Kenapa bisa aku tidak tahu?? Apa karna selama ini aku di Indonesia? batin Moza.
Moza dan Lezzi pun meninggalkan mansion. Tinggal. lah Mark yang sedari tadi menatap kepergian Moza.
Semenjak pengakuan Moza akan status bayi yang di kandungnya, Mark semakin enggan untuk mendekati Moza, bukan karena dia merasa benci, tetapi sebaliknya perasaannya terhadap Moza semakin besar. Entah sejak kapan perasaan ini muncul, Mark sendiri tidak yakin dengan perasaannya. Tapi melihat kedekatan Moza dengan adiknya Lexi waktu itu membuat dia kesal dan marah. Dan saat itulah Mark sadar, bahwa dia mencintai Moza.
Dan menurut Mark, menghindar adalah jalan terbaik agar hubungan Moza dan adiknya berjalan baik. Sampai akhirnya Mark memutuskan mendekati mantan kekasih- nya yang memang selama ini sudah mengajak kembali pada Mark, meskipun hubungan itu belum bisa disebut seperti dulu, karena sampai sekarang pun Mark masih menggantung hubungan itu.
"Santiana, bisa kamu datang ke rumahku?" ujar Mark pada seseorang di seberang teleponnya.
"..."
"Baiklah, aku tunggu." Mark pun memutuskan panggilan secara sepihak.
***
Sementara itu di dokter kandungan.
"Janinnya sehat nyonya, tapi nyonya harus banyak istirahat jangan terlalu kelelahan dan banyak pikiran!"
"Terima kasih Dokter. Kalau begitu saya permisi," pamit Moza dan berlalu pergi keluar dari ruangan.
"Saya senang mendengar perkataan dokter tadi, Nona," ujar Lezzi.
"Saya juga Lezzi, em ... Lezzi."
"Iya, Nona?"
"Bisa tidak jangan panggil aku dengan sebutan 'nona'. Panggil aku Moza saja."
"Tapi saya tidak bisa Nona."
"Saya mohon Lezzi, bagaimana kalau ini permintaan dari anakku?" ujar Moza seraya mengelus perutnya. Lezzi tersenyum.
"Baiklah Non eh maksudku Moza." Moza terkekeh.
"Lezzi, aku ingin sesuatu." ucap Moza seraya menggigit bibir bawahnya.
"Kamu ingin makan apa Moza? Saya akan belikan."
"Em ... tapi aku rasa sulit cari di sini."
"Memangnya apa yang kamu inginkan?"
"Aku ingin gado-gado." Tampak Lezzi berpikir sejenak.
"Jenis barang apa itu Moza? Aku baru dengar."
"Itu bukan barang Lezzi, itu jenis makanan. Di Indonesia dulu aku suka makan itu."
"Apa di sini ada?"
"Aku rasa tidak Lezzi, lalu bagaimana ini?"
"Aku akan sampaikan pada Tuan Mark. Aku yakin Tuan akan mencarikannya untukmu."
"Tak perlu Lezzi."
"Tak apa Moza. Ayo, sekarang kita pulang dulu," ajak Lezzi kepada Moza.
Mereka pun kembali pulang. 30 menit kemudian, mereka telah sampai di mansion milik Mark.
Moza pun turun secara perlahan dengan dibantu Lezzi. Sangat terkejut dengan apa yang Moza liat di depannya. Tampak Mark sedang asyik berciuman dengan seorang wanita yang saat ini sedang berada di pangkuannya. Satu kata yang dirasakan Moza saat ini, 'Hancur'. Entah kenapa hatinya begitu sakit melihat Mark sedang berciuman dengan seorang wanita, yang Moza yakini adalah tunangan Mark.
Moza berdehem kecil agar dua makhluk di hadapannya itu sadar akan kehadirannya.
"Oh, kamu sudah pulang?" tanya Mark. Seraya mengelap bibirnya, bahkan tatapan matanya pun hanya tertuju pada wanita itu.
"Ya," jawab Moza singkat. Alih-alih beranjak pergi, Moza berdiam diri di sana.
"Sayang, dia siapa?" tanya Santiana.
"Dia Moza, calon adik iparku," jawab Mark seraya merapikan rambut Santiana.
"Maksudmu Lexi? Dia masih muda bukan? Apa dia akan menikah?"
"Iya sayang, tak apa bila ia ingin, toh Lexi juga sudah mencetak bayi di rahimnya," jawab Mark.
"Maksudmu? Oh... jadi wanita itu sedang hamil anak Lexi, begitu?" tanya Anna lagi.
"Iya," jawab Mark singkat.
"Lalu kapan kau akan menikahiku?"
"Tentu saja, secepatnya, walaupun bukan denganmu." Tentu saja ucapan terakhir Mark hanya ia ucapkan dalam hati.
Moza sangat sakit melihat pemandangan yang ada di depannya itu. Air matanya seakan memaksa untuk keluar.
"Aku ingin ke kamarku dulu," ucap Moza dan tidak ada satu pun yang menjawab dari Mark mau pun Anna.
Semoga paman Lexi cepat datang dan menjemput kita ya, Nak. Ibu sudah tidak betah berada di sini, batin Moza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard CEO
Romance18+ Cerita ini ganti judul ya .. (Handsome CEO bastarad) Jangan di copas ya,karna cerita ini hasil mikir sendiri,bukan plagiat.. _______/////________ moza gadis sederhana dan polos yang memiliki berjuta impian .. . . tapi apa jadinya bila impian it...