Era melirik Eve —teman seatapnya untuk enam bulan ke depan— dengan mulut penuh makanan. Pemuda itu tersenyum senang, gadis itu ternyata mau meluangkan waktu untuk menemaninya makan malam —walau gadis itu sama sekali tak menyentuh makanan yang ada di sana. Sedang diet, kah?
"Kau hanya tinggal sendirian?" Tanya Era memecah keheningan di antara mereka. Perlahan pemuda itu menelan makanannya, mengambil air putih, meneguknya hingga tandas sebagai tanda bahwa ia telah menyudahi makan malamnya.
"Iya." Jawab Eve singkat. Eve segera membereskan piring kotor milik Era dan mencucinya.
Era sendiri telah berdiri menyandarkan tubuhnya di pantry dapur. Mengamati gerak-gerik gadis itu tanpa sadar bahwa gadis itu merasa risih pada perbuatannya.
"Apa kau masih lapar?" Eve bertanya tanpa berbalik menatap pemuda itu yang kini terkejut.
Pemuda itu tersenyum sembari memperlihatkan gesture menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tidak."
"Jika begitu, sebaiknya kau beristirahat." Eve meletakan piring cuciannya pada sebuah rak kecil di sana. Gadis itu mengelap tangannya yang basah menggunakan serbet, berbalik menatap Era. "Ini sudah larut." Lanjutnya berucap.
"Sebenarnya, ini bukan jam tidur ku." Aku Era jujur. "Aku terbiasa tidur di jam yang menunjukan angka kecil."
"Begitukah?"
"Ya. Apa aku bisa meminjam teras mu?"
"Tentu."
"Terimakasih."
Eve memaklumi ucapan Era. Paham betul, wajar jika pria dewasa seumuran Era mengalami gangguan tidur yang biasa disebut insomnia. Memilih tak banyak bertanya untuk apa dan apa yang akan pria itu lakukan di terasnya, pada akhirnya Eve memutuskan untuk pamit mengerjakan pekerjaannya yang lain.
.
.
.Suara alunan musik jazz milik Miles Davis berjudul I Fall in Love to Easily, sayup-sayup terekam dalam indera pendengaran Eve. Gadis itu terbangun menyibakan selimut tebal yang menutupi tubuhnya dan berdiri membuka tirai kamarnya.
Ketika ia berlalu menuju ruang tamu, ia melihat piringan hitam berputar mengalunkan musik jazz milik Miles Davis yang lainnya. Apakah Era yang memutarnya?
Derap langkah Eve terus terdengar samar mendekati pintu rumah yang sedikit terbuka. Dapat gadis itu tebak dengan mudah, siapa lagi yang bisa membuka itu kalau bukan Era —Alasannya cukup logis, di rumah ini mereka tinggal hanya berdua.
"Ku mohon mengertilah, aku kesini untuk mencari pengalaman bekerja."
Eve berjengit ketika mendengar dengan jelas erangan frustasi Era di teras rumahnya. Sungguh, gadis itu tak berniat untuk menguping pembicaraan Era bersama seseorang di seberang telfon.
"Clara, aku tak berniat berdebat dengan mu. Aku lelah. Sudah berapa kali ku bilang. Aku tidak lari. Aku akan menikahi mu tahun depan. Jadi berhentilah merengek seperti anak kecil."
"Percay— Clara? Clara?" Sambungan telfon terputus sepihak.
"Argh..." lagi-lagi Era mengerang frustasi —dua kali lebih keras dari sebelumnya— pemuda itu tiba-tiba tersadar akan kehadiran seseorang yang sedari tadi berdiri di belakangnya namun mencoba untuk kembali melangkah. "Eve?" Panggilnya dengan raut wajah terkejut. "Apa aku membangunkan mu?"
"E—erh itu, maaf aku tidak bermaksud menguping." Bukannya menjawab, Eve salah tingkah, gadis itu seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah kedapatan mencuri sesuatu.
Sejenak, Era tertegun. Pemuda itu mengerutkan keningnya lalu mengerti kemana arah pembicaraan Eve. Senyum lembut terkulum dari kedua sudut bibirnya. "Ya, aku tahu." Balasnya singkat. "Apa aku membangunkan mu?" Melirik jam di dinding yang masih menunjukan pukul 5 pagi, Era merasa tak enak hati pada gadis dihadapannya. "Maaf, aku memutar musik sepagi ini." Ucapnya —lagi— berharap agar gadis itu tak bertanya lebih lanjut mengenai apa yang ia lakukan beberapa saat yang lalu —walau Era paham, tahu betul, Eve tak mungkin mau muluk-muluk mencampuri urusan orang lain— setidaknya itulah yang ia nilai saat pertama kali mereka bertemu.
Sadar dengan kode singkat —terselubung— dalam kalimat perkataan Era yang terakhir, Eve menggeleng pelan. "Tidak, aku memang terbiasa bangun di jam begini. Aku ingin menyiapkan sarapan. Mau ku buatkan kopi atau teh, mungkin?"
Era tersenyum lega, penilaiannya terhadap Eve memang sepenuhnya benar. Melegakan. "Kopi saja."
.
.
.Kepulan asap putih menguar dari dua cangkir gelas berbeda isi —Eve dengan cangkir berisi tehnya dan Era dengan cangkir berisi kopinya. Kedua manusia berbeda gender itu memutuskan untuk duduk di halaman belakang rumah, memanjakan mata dengan pemandangan indah pepohonan di pagi hari musim dingin.
"Hari ini, kau ingin kemana?" Era bertanya membuka percakapan di antara mereka.
"Ke klinik. Kau sendiri ingin kemana?" Tanya Eve sembari menyodorkan sepiring cookies yang baru saja di ambilnya dari oven.
Era mengambil cookies itu, melahapnya perlahan dan kemudian mulai menjawab. "Aku tidak punya rencana. Mungkin kau bisa memberi saran —tempat yang bisa ku kunjungi?"
Eve tampak berpikir sejenak. "Banyak tempat wisata yang bisa kau kunjungi di sini. Kau bisa berjalan kaki mengelilingi area bersajarah di Castle Combe Village, mengunjungi St. Andrew's Chruch yang memiliki jam abad pertengahan paling tua di Inggris , atau kau bisa berjalan di tepi sungai Byboork. Pemandangan di sana sangat indah." ucap Eve memberi saran.
Kedua alis Era saling bertautan. "Berjalan di tepi sungai? Di musim dingin?"
Eve mengangguk mengiyakan. "Memangnya kenapa, apa ada yang salah?"
Era tersenyum menggelengkan kepalanya. "Tidak, hanya saja apa yang indah dari sungai yang membeku?"
"Menurutku sungai yang membeku itu sangat indah. Kau harus melihatnya."
"Kalau begitu, maukah kau menemaniku kesana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY [ˌserənˈdipədē]
FanfictionAku pernah kehilangan, aku pernah kesepian, aku pernah hidup di dalam keputusasaan. Menunggu seseorang yang tak tahu kapan akan kembali. Namun, Tuhan mengirim mu untuk ku. Hadiah yang tak pernah ku cari. Terimakasih, karena telah menjadi pendamping...