"Arka!" sahut seorang laki-laki berperawakan tinggi melerai kegaduhan warga. "Ada apa ini?" laki-laki itu menjadi sorotan warga namun tak ada seorang pun menjawab pertanyaannya dan lebih menyaksikan pernikahan Arka dan Yasmin.
Arka menekuk kepala dan mengerjapkan mata lama mengisyaratkan bahwa dirinya sedang dalam situasi tersungkur. Dirinya seakan menjadi pria bodoh dan berbalik dari pribadi yang cerdas. Malam itu, ia sangatlah lemah. Lemah raga, juga hatinya.
Rendy terkejut melihat rekan kerjanya itu berada di tengah-tengah warga yang terlihat marah. Ada apa? Bukan sendiri, ia melihat seorang wanita yang juga merupakan reporter duduk di samping Arka. Pemandangan itu mulai membuka pikiran ambigunya. Abu-abu. Gelap.
Penghulu yang ditunggu-tunggu tiba membawa beberapa lembar kertas. Seperti ini lah kejadian yang tidak diminta setiap gadis lainnya. Pernikahan terpaksa yang disaksikan oleh orang-orang yang diselimuti kabut amarah. Bukan disambut dengan gembira serta bunga melati.
Lembar kertas yang dibawa penghulu segera diisi dengan data diri mereka. Kemudian penghulu itu perlahan mengenakkan kacamata dan menjelajahi buku yang serupa dengan kitab-kitab berisi do'a pernikahan. Tak ada orang yang tersayang. Takdir kadang menyakitkan.
"Sebelumnya, kau memiliki barang berharga sebagai bukti maharnya?" bisik RT.
Diarah yang berbeda, pria tampan semakin kebingungan. Mahar? Gerutu pria itu. Ia melongok dan berusaha menyimpulkan jawaban disetiap pertanyaan nya.
"Saya tidak membawa satu pun barang berharga." Jawab Arka pelan.
Arka menunduk lesu. Energi dalam tubuh nya mulai berkurang. Ia tak sengaja menatap barang elektronik klasik setengah rusak yang menggantung di leher. Pikirannya tertuju pada benda itu, walau sejenak terjegal dengan kenangan dulu. Dia harus memberikan separuh dirinya pada wanita tak jelas. Terpaksa Arka mengeluarkan dan menyodorkan kamera favoritnya pada sebuah meja kecil yang telah disusun untuk acara ijab qobul. Kamera yang sudah menjadi bagian dari sejarah penting sebagai jurnalis. Apalagi, kamera itu hadiah dari sang Kakek yang tengah tenang di surga.
"Siapa nama dan wali mu?" Penghulu itu bertanya pada Yasmin.
"Yasmin Aishanatia, ayahku Andi Mahendra Siregar."
"Jabat tanganku, lalu ucapkan namanya dan nama walinya!" perintah penghulu pada Arka.
Dengan gemetar Arka mengucapkan kata pertama dalam sesi ijab qobul. Tak seperti biasanya yang cemerlang dengan bijaksana dalam berbicara didepan lensa kamera.
Apakah ini ujungnya? Kau gantikan nyawa dengan pernikahan semacam ini Tuhan? Apa salahku terlalu banyak hingga kau beri ini? Gumam pria itu dalam hati. Ia menyesal perbuatannya. Jika akan berakhir seperti ini, tak mungkin ia mau melakukan hal bodoh.
Arka menghela napas berat, "Sa-sa-saya ni-ni-ni-kahkan," dia gugup dan terhenti, membuat semua orang menghirup napas setelah sekian detik bersitegang.
"Tadi siapa nama wanita itu?" tanyanya berat. Semua orang menggelengkan kepala.
Penghulu itu berinisiatif untuk menuliskan nama lengkap Yasmin dan walinya pada secarik kertas. Dalam keadaan lapar dan terkantuk, serta luka yang menyayat kulit perlahan terasa perih. Namun, tak ada perizinan dari berbagai pihak untuk sekedar membersihkan darah dari tubuh mereka. Akhirnya mereka berdua sah menjadi sepasang suami isteri dengan hiasan bercak darah.
Syukurlah, meski begitu mereka mendapatkan kesempatan hidup dan menimbang alasan dari peristiwa mengerikan ini.
"Maaf, aku terlambat untuk menyelamatkan kalian." Rendy menyeret arka jauh dari keramaian, mereka memelankan suara dari Yasmin dan warga.
"Sudahlah, ini sudah terjadi. Aku resmi menikahi gadis itu."
"Entahlah, semuanya masih samar dilihat. Aku hanya bisa pasrah dan mengucapkan selamat kepada kalian."
"Tak perlu. Secepatnya kita akan bercerai,"
"Kenapa? Kasihan bayi yang dikandungnya!" Rendy terkejut membulatkan matanya.
"Bayi apa? Kita tidak melakukan apa-apa." elak Arka. Rendy semakin dibawa pada teka-teki yang belum ditemukan jawaban.
Arka menjelaskan apa yang terjadi atas kesalah pahaman warga terhadap dirinya dan Yasmin. Rendy mengangguk dan mengerti, rupanya Arka berhasil menyumbat mulut sahabatnya untuk tidak berbicara pada siapa pun, demi kariernya sebagai jurnalis handal di pelosok negeri. Ia tak mau karier yang dibangunnya dengan sejuta perjuangan terancam oleh kejadian sepele itu.
Kedua pria itu menghampiri Yasmin. Gadis yang satu ukuran mistar lebih rendah dari mereka.
"Kau tidur dimana?" tanya Arka dengan nada datar.
"Aku akan balik ke tenda!"
"Oh, silakan. Hati-hati di jalan. Jangan sampai kejadian tadi terulang lagi!"
"Dia itu wanita. Secara agama kalian terikat hubungan suami istri. Sebaiknya kau tidur disini. Temani istri mu. Biark aku berbicara pada RT untuk menginap satu malam. Besok, kita pulang ke Jakarta."
"Terserah! Aku sudah lelah." Balas Arka.
Yasmin tak bisa menolak, pasalnya memang sudah larut malam. Ia takut masalah itu kembali muncul dan membuat kekacauan lagi. Bagaimana pun caranya, ia harus bisa melelapkan mata sejenak, sekedar melepas ketegangan.
Untungnya RT tadi sangatlah ramah dan bersedia meminjamkan kamar. Sekarang dia berada di ruangan berukuran 3 x 4 meter bersama laki-laki yang baru ia kenal. Meski sekarang mereka telah sah menjadi suami istri.
Yasmin duduk di sisi ranjang berukuran lumayan besar. Ia menatap wajah melas didepan cermin berhias kayu jati dengan ukiran Jepara yang indah. Sedangkan Arka mendekat ke arahnya dengan tatapan mata yang susah ditebak.
Tatapan mereka sering bertemu. Tak jarang Yasmin menghamburkan pandangan ke lantai atau dinding disebelahnya. Langkah Arka semakin dekat dengan gadis itu, lalu menitik tepat dihadapannya. Kini posisi mereka sangat dekat, terpisah beberapa inci saja. Seketika jantung Yasmin berdengap kencang, wajarlah jantung wanita selalu berlebihan memompa dalam situasi tertentu.
Jarak mereka kian mendekat. Perlahan kening keduanya saling beradu. Yasmin berusaha menahan napas untuk menyamarkan bunyi jantungnya yang hampir putus. Pikirannya mulai rancu dan mengarah pada tindakan yang menjijikkan, padahal tidak begitu buruk bagi sepasang suami istri. Sungguh ia belum siap. Apakah itu ajakan seorang suami pada istrinya? Ia mengeluarkan peluh di berbagai pori-pori tubuh. Perasaan mulai bercampur aduk. Ia benar-benar baru merasakan gugup sehebat itu.
Apa yang akan ia lakukan? Jika sebelumnya saja dia berani menyentuh ku, apalagi dengan kondisi kita sudah menikah? Gerutu wanita dengan tubuh yang bergemetar, terdengar dari suara ranjang yang sedikit reot.
"Stt," tiba-tiba diraihnya mantel yang tergeletak dekat dengan posisi duduk Yasmin. Arka memalingkan wajahnya serta mengacuhkan apa yang dihadapannya.
"Hussh!" hembusan napas pelan terdengar, Yasmin merasa sedikit lega. Pasalnya, ia terlalu polos dalam menangani situasi seperti itu. Mungkin karena dia belum berpengalaman, padahal dua bulan lagi ia akan menikah. Karena laki-laki yang menjadi suaminya itu bukanlah Davin.
"Kau beristirahatlah di ranjang! Aku akan tidur disini." Arka menghamparkan mantelnya di lantai. Kemudian menutup mata dan mulai bermimpi.
Gadis lugu itu merasa tak enak hati melihat laki-laki itu harus terlelap di bawah. Sedangkan ia sendiri nyaman tidur di ranjang yang empuk. Yasmin tak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya, ia tak mau tidur satu ranjang dengan laki-laki yang tak tahu asal-usulnya. Meski benar, ia seorang reporter. Tapi siapa sangka reporter juga bisa melakukan hal yang tak diinginkan setelah tergeletaknya wanita sebagai umpan nafsu.
Yasmin membaringkan tubuh untuk melenyapkan rasa kantuk, walau hanya beberapa jam saja. Namun matanya tak bisa tidur, melainkan berjaga-jaga, siapa tahu laki-laki itu akan menyergapnya ketika tertidur pulas. Ia mencoba duduk dan menatap wajah Arka yang terlelap beralaskan jaket hijau tua.
![](https://img.wattpad.com/cover/176018469-288-k457899.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
FEUILLETON
Художественная прозаSemoga dengan tulisan ini membuat pembaca lebih menghargai setiap karya wartawan berita. Perjuangan, penolakkan, nyawa sekali pun sebagai taruhan demi menulis untuk masyarakat. Jika tentara rela mati demi negara, mereka rela mati demi berita.