01 | The Beginning

15 1 0
                                    


'Ya, setidaknya ini tidak seperti bayanganku sebelumnya' batin Mingyu sebelum memasuki ruangan barunya. Mingyu memang beranggapan kalau suasana rumah sakit jiwa itu menyeramkan dan tidak layak.

"Selamat datang di Elmore, kau bisa memulai pekerjaanmu besok. Kau akan keluar dari rumah sakit ini jika risetmu sudah selesai. Selamat bergabung tuan Kim" sambut seorang dokter pada Mingyu yang baru saja sampai.

"Terima kasih banyak, dokter" ujar Mingyu pada dokter tersebut. Dokter itu mengumbar senyum dan pergi meninggalkan Mingyu di kamar barunya.

Menurutnya tempat magangnya ini tidak terlalu buruk dibanding dengan apa yang dipikirkannya. Meskipun kamarnya hanya beberapa langkah dari kamar rawat inap pasien lainnya, ruangan Mingyu jauh lebih luas dan nyaman dengan fasilitasnya. Tentu saja kau bukan pasien disini, bodoh-pikir Mingyu.

Ya, mungkin saja Mingyu akan terganggu dengan para pasien penyandang sakit jiwa. Tentu Mingyu harus mau mengingat dia ingin menjadi Psikiater. Dan dia harus segera menyelesaikan risetnya disini agar dia mendapat gelar yang diinginkannya itu dalam 3 bulan. Waktu yang sebenarnya cukup singkat jika Mingyu melewatinya dengan baik.

Mingyu mulai merapikan barangnya, saat Mingyu tengah memindahkan bajunya ke lemari yang berada disamping ranjang. Mingyu terkejut melihat seorang anak perempuan yang sedang membawa biola tengah menatapnya di daun pintu ruangannya.

"Halo, Dokter Mingyu disini. Siapa namamu?" tanya Mingyu sembari menghampiri anak perempuan itu dan berjongkok di depannya.

"Dokter, berapa hasil dari 20 - 3?" Mingyu segera mengambil kesimpulan. Anak perempuan ini sepertinya mengalami stress karena tekanan belajar.

"Baiklah, gadis kecil. Masuk dan duduklah, kau akan menjadi pasien pertama dokter" Mingyu menuntun gadis cilik itu kedalam kamarnya dan mendudukkannya diranjangnya. Mengambil catatan beserta pena dan menghadap gadis tersebut.

"Anais" saat Mingyu hendak bertanya, seseorang berdiri di pintu masuk kamar Mingyu. Sepertinya suster tersebut memanggil anak kecil dihadapan Mingyu. Segera gadis itu berlari menuju suster itu, "kau bisa memulai tugasmu besok dokter, saat ini adalah jam pasien untuk makan malam dan kau juga akan bergabung di ruang makan. Dan juga, pastikan kau tahu peraturan dan jam saat berada di rumah sakit" ucap suster tersebut pada Mingyu yang masih berdiri mencoba memahami perkataan suster berwajah ketus dan dingin itu.

'Kurasa ini akan sedikit sulit' batin Mingyu.

***

"Nomor 178, kenapa kau tak menghabiskan makananmu? Habiskan atau kau akan menghabiskan makananmu beserta alatnya" ucap seorang suster pada gadis bergaun putih lusuh yang hanya memandang kosong makanan yang ada didepannya.

Tak lama dia menatap tajam wanita di depannya dan berkata, "aku tak ingin makan apapun." Wanita itu menghela nafas panjang, suster itu berpikir bagaimana cara agar pasien keras kepala ini mau memakan makanannya. Dan tak mungkin jika dia berkata, 'kau akan mati jika tidak makan, bodoh.' Karena itu memang tujuan dari gadis yang kurang lebih 4 bulan ini berada di rumah sakit jiwa ini.

"Apapun alasanmu aku akan memastikan makananmu habis, sekarang buka mulutmu. Kau hanya memakannya saja bukan" suster itu mulai menyuapkan sesendok makanan dan menghadapkannya kemulut gadis itu. Gadis itu hanya bungkam, tak membuka mulutnya sama sekali. Merasa risih, dia memukul tangan suster itu hingga sendok itu terjatuh dan makanan tersembur ke sembarang tempat.

Wanita itu segera mengambil sendok itu dan mengambil makanan itu dan menyuapinya lagi. Namun sekarang, wanita itu memaksa gadis itu membuka mulutnya dengan tangannya. Mau tidak mau gadis itu harus menelan makanan itu, gadis itu menolak dia memuntahkan semua makanan yang ada di mulutnya.

"Cukup! Kau membuatku muak, akan kubiarkan kau tak makan semalaman. Dan akan ku pastikan tak ada yang akan mengantarkanmu makanan. Agar kau tahu seberapa penting makanan disini" pekik suster yang sudah berumur dengan ekspresi wajah marah dan emosi yang berkelut itu sebelum menghempas pintu dengan keras. Gadis itu tetap diam dengan tatapan kosong.

Gadis itu mulai bergerak, berjalan menuju ranjangnya dan menidurkan tubuhnya. Sepertinya ini akan jadi malam yang panjang dan dingin.

"Cora" panggil seseorang saat gadis itu hendak pergi untuk bermimpi. Setelah tahu gadis itu belum memejamkan matanya, wanita itu masuk ke dalam ruangan itu dan menghampirinya dengan berjalan agak sempoyongan.

"Kau tahu, saat tadi makan siang aku memuntahkan makananku lagi. Tapi kata suster aku harus tetap makan, tapi anakku tidak mau. Dia berkata makanan itu tidak enak" ucap wanita berbadan dua itu pada Cora yang telah bangun dan duduk d tepi ranjangnya.

"Tapi kau memang harus tetap makan, kau ingin dia bermain denganku bukan?" ujar Cora. Tak lama wanita itu tertawa, mulai memukul perutnya. Sontak Cora berusaha menghentikan perbuatan wanita itu. Tak lama wajahnya berubah menjadi sedih dan mulai menangis.

"Anakku, maafkan ibu. Maaf" ucapnya didalam dekapan Cora. Dan tak lama wanita itu tertawa lagi.

"Tenang, Janne. Tenanglah" Cora berusaha menenangkan wanita berbadan dua tersebut. Dan saat wanita itu telah lelah, ia mulai tertidur saat sunyi semua sudah gelap.

Ya, memang kehidupan Janne benar-benar pilu. Mengingat saat pertama kali Cora menapakkan kaki di rumah sakit jiwa ini, Janne-lah yang menyambutnya dan memperkenalkan jabang bayinya yang kala itu masih berumur 4 bulan. Berjalan agak terseok menghampiri Cora dan tersenyum layaknya orang biasa.

Sifat Cora yang dingin dan cuek tak diperdulikan lagi oleh Janne. Dia pikir, Cora adalah orang yang cocok untuk menjaga dan bermain dengan anaknya kelak jika sudah melahirkan. Memang sampai saat ini Cora sudah menerima Janne begitu juga latar belakangnya. Gadis itu mengusap lembut kepala Janne lalu netranya beralih ke perut buncit wanita itu yang sekarang sudah menginjak 8 bulan.

Menurutnya masa lalu Janne lebih berat, hanya pada Cora dia mau menceritakan masa lalunya. Suatu hari dia menikah dengan seorang aktor orkestra yang berasal dari Spanyol, Rodion. Dia selalu menunggu suaminya pulang ke rumah, tapi selama beberapa minggu suaminya itu tak kunjung pulang.

Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menjemput suaminya di Spanyol. Setelah pagelaran, dia menghampiri suaminya diruang ganti. Tak percaya apa yang dia lihat, suaminya sedang bermesraan dengan wanita lain diruang ganti. Tanpa suara, Janne pergi dan tak ingin mencari suaminya lagi.

Dalam perjalanan, Janne sama sekali tak menghiraukan apapun. Sampai akhirnya dia masuk kedalam sebuah kasino dan meminum alkohol dalam jumlah banyak. Setengah sadar, dia dihampiri oleh seorang pria berdarah Inggris dan mengajaknya entah kemana. Setelah sadar, dia sudah berada dipinggir jalan dan dibangunkan oleh seorang pengemis.

Saat itu Janne tak tahu apa yang terjadi. Setelah beberapa bulan dia tahu dia hamil. Dia hampir bunuh diri setelah tahu apa yang dibuatnya, merasa sangat tertekan dan stress. Itu semua membuatnya terjebak dalam rumah sakit ini, bersama Cora. Bunyi cacing di perut Cora memecah keheningan, si empunya sudah tak peduli lagi berapa kali bunyi yang dihasilkan perutnya yang meronta ingin diisi. Dia hanya berpikir, bagaimana cara keluar dari tempat menyeramkan ini tanpa sepengetahuan siapapun. Setiap malam.

©xmhl_fv



Note;
Halo...
Ada sedikit catatan, mungkin cerita ini bakal sedikit agak berbobot karena ada materi tentang kejiwaan atau psikis.
Jadi aku harap kalian ga bosen dan mungkin bisa juga menambah wawasan kalian heheh...
Maaf, sejak aku publikasi tapi ngadat karena aku masih dalam masa ujian dan akan lulus:D /jadi curhat:v/
But, i hope you like it;)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lunatic {Kim Mingyu}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang