2. Laki-Laki Paling Lemah

7 1 0
                                    

Kamu punya sakit yang aneh. Saat itu di sekolah. Cuma ada dua anak yang memakai kerudung. Lina, si murid pindahan saat kelas 6, dan kamu, Sani, perempuan yang  spesial buatku. Belum ada satu kuartal berjalan. Kamu melepas kerudungmu. Ceritamu, kulitmu sedikit bermasalah ketika tertutupi kerudung. Mungkin dia tidak bisa menahan lembab. Tapi aku tidak menyalahkan siapapun. Apalagi kerudungmu, dan keputusanmu berkerudung dan melepasnya. Barangkali memang belum waktunya. Semoga sekarang kamu sudah sehat dan bisa berkerudung lagi. Jujur, kamu tampak semakin cerah dengan kerudung putih kala itu.

Aku selalu mengagumi ketika kamu menangis. Air matamu berharga. Tangisanmu bukan karena orang-orang yang menyakitimu -siapa juga orang bodoh yang akan menyakitimu-, tapi karena kepergian teman-teman atau guru-guru dari sekolah. Aku masih ingat ketika Bu Pin, memutuskan untuk berhenti mengajar. Kamu yang menangis paling dalam. Lalu ketika Niken, dan Ambar harus pindah ke luar kota, kamu juga menangis paling dalam. Padahal kamu tidak terlalu akrab dengan mereka, tidak terlalu dibanggakan dengan Bu Pin. Tapi kamu menangisinya. Kenapa? Ah, kamu memang setulus dan sebaik itu.

Aku tidak pernah melihatmu punya masalah. Atau mungkin kamu memang pandai menutupinya dengan keceriaanmu. Kamu selalu membantu mereka yang punya masalah. Masalah khas anak-anak SD. Cinta monyet, uang atau barang yang hilang, dimarahi guru, berantem karena nama orangtuanya diejek, dan banyak lagi. Kamu selalu jadi pengadil yang baik. Satu senyummu bisa membuat teduh dan reda setiap badai di sekelilingmu.

...

Saat kami diharuskan memilih untuk melanjutkan ke SMP mana. Aku sudah menyiapkan jauh hari. Jauh sebelum ujian nasional. Memastikan nilai passing grade-ku tinggi. Sehingga sekolah manapun pilihanmu, aku akan bisa ke sana saja. Mengikutimu. Mengejarmu. Walaupun kamu tidak menoleh. Tapi selama kamu masih dalam pandanganku. Itu cukup.

...

Kami masuk ke SMP yang sama. Syukurku tak terhingga.  Meskipun kami harus berbeda kelas. Aku di kelas 7-3, kamu di kelas 7-6. Sainganku semakin banyak. Bahkan termasuk diantaranya, siswa yang tidak naik kelas. Anak badung, dan nakal, Dion. Olehmu, kamu tundukkan. Ketika kebetulan kita di satu angkutan umum yang sama, aku, kamu, Dion, dan ketiga temanmu. Dion berbuat nakal, menyudutkan salah seorang siswa dari SMP kami, memukulnya, karena untuk menunjukkan kekuatannya semata.

"Dion, aku enggak suka kayak gitu. Aku enggak suka cowok yang nakal." Tegasmu.

Dion berhenti, duduk tenang. Kembali mengobrol hal-hal tidak jelas dengan teman-temanmu yang lain.

Aku? Aku cuma duduk di pojok dekat pintu. Menaruh telinga, jadi saksi kejadian itu. Tempat duduk pojok samping pintu, hanya untuk orang yang ingin gampang turun. Untuk orang yang tidak peduli dengan hal di dalam angkutan sambil menikmati pemandangan. Dan untuk orang sepertiku.

...

Sani jadian?!
Heboh hatiku saat itu. Tapi ketika tahu siapa cowoknya. Aku sadar, aku tidak bisa lebih baik darinya. Dia adalah Nafis. Cowok terpintar di kelasnya. Saat itu kami sudah kelas 8. Kebetulan mereka juga sekelas. Tapi mereka sudah dekat dari kelas 7. Mereka dekat ketika saat latihan paduan suara -Sani ikut paduan suara-. Nafis mengiringi dengan permainan 'gila' organnya. Mereka klop banget. Sani yang bersuara merdu. Dan Nafis si pemusik handal. Disamping organ, dia juga ahlinya memetik senar-senar gitar.

Saat tahu itu semua. Aku mencoba menenangkan diri. Memahami keadaan yang memang sejak awal tidak memihakku. Memahami keadilan yang memang sejak awal tidak ada buatku. Aku harus paham. Aku tidak lebih baik.

Di detik itu, aku harus berusaha melupakanmu. Berhenti mengingatmu. Berhenti juga berangan-angan tentangmu. Mencari cinta baru. Kalau ada.

Omega RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang