3. Laki-Laki Yang Dikuatkan

8 1 0
                                    

Menjelang semester genap. Kamu dan Nafis berpisah. Sekadar berpisah, bukan putus. Itu yang kuanggap. Karena nyatanya, hubungan kalian putus, tapi dengan baik. Nafis pergi ke Paris, bersama dengan ayah ibunya yang mencari nafkah di sana. Kalian sepakat putus. Sebelum melanjutkan hubungan ke arah yang lebih dalam, dan membuat rindu ingin bertemu menjadi luka tanpa obat.

Aku tidak merasakan kegembiraan mendengar kabar itu. Aku sudah payah untuk mengejarmu. Sudah belajar melupakanmu. Meski susah, tapi kata 'bisa' aku yakin itu ada. Terlebih, aku juga mulai dekat dengan Ceri. Perempuan sekelasku yang ternyata diam-diam selama ini sudah menyukaiku sejak lama.

"Gimana kalau kita jadian?" Tanya Ceri di pesan singkat yang ia kirim.

Kami sudah sering bertukar pesan. Tiap malam, pagi. Sesudah bangun tidur, menjelang akan tidur. Kami dekat lewat pesan singkat. Sementara kenyataannya, aku memang tidak pandai berbicara fasih di depan orang, terlebih wanita. Seringnya kami bertukar pesan, telah sampai pada kondisi status "Teman Tapi Mesra Tapi Bercanda". Kami sering bermesraan, meski kami melakukan itu sebagai candaan. Sampai jelas sudah, bahwa canda itu adalah keseriusannya untuk membuat kami jadian. Dan jadilah kami. Sejoli muda dengan cinta monyetnya.

Kami jadian di tanggal 23 Februari, bertepatan tiga hari sebelum ulang tahunku. Saat aku berulang tahun, Ceri memberiku jam weker, dengan harap aku bisa lebih disiplin bangun lebih pagi-dan lebih dulu yang mengirim ucapan selamat pagi kepadanya-. Hubungan kami terasa menyenangkan. Awalnya. Sampai aku tahu aku berada pada tahap bosan dengan hubungan ini.

Entahlah. Kata-kata mesra itu tidak menyihirku lagi menjadi budak cinta yang banyak orang bilang. Rayuan dan gombalan manisnya dulu, sudah tak manis lagi. Tidak ada lagi senyuman saat membaca pesan. Tidak ada lagi telpon sampai larut malam. Yang tersisa hanyalah ucapan "selamat ...." dan "jangan lupa ...." sampai berpuluh-puluh kali dalam sehari.

"Selamat makan,"

"Jangan lupa makan,"

"Jangan lupa salat,"

"Jangan lupa mandi,"

"Selamat tidur,"

...

23 April, kami sepakat putus. Tiga hari setelah Ceri ulang tahun, dan aku memberikannya tumpangan sepeda yang kami pinjam dari teman kami, Andik, sampai rumahnya.

Suara sesenggukannya menghiasi telpon di malam itu. Merasa iba itu tidak baik. Melanjutkan hubungan hanya akan mengulang hal yang sama. Cinta itu sudah lewat. Perasaan itu tidak akan kembali. Kesenangan itu sudah fana. Apa yang selamanya hanya jadi sementara. Nikmatilah, cara cinta remaja ini bekerja.

...

Ceri belum bisa lepas. Butuh lebih dari lima bulan sampai kami benar-benar membuat jarak. Sebentar lagi ujian nasional. Kami harus belajar.

Mama memaksaku untuk mengambil kursus atau les di bimbel. Aku menolak, karena itu tidak terlalu bermanfaat buatku. Pada akhirnya, aku mengalah dan mengikuti kata mama. Aku ikut bimbel di Gama.

"Wah, kita ketemu lagi!"

"Eh, Sani?!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Omega RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang