bagian 1

49 6 0
                                    

Tepat pukul 11.30 siang, kelas sastra berakhir. Seorang gadis berambut coklat terhentak dari lamunannya dan segera merapikan buku beserta alat tulisnya ke dalam tasnya. Seluruh mahasiswa berhamburan menuju pintu bergegas kepada keperluannya masing-masing.

"Angie" Yang dipanggil pun melihat ke sumber suara dengan malas.

"ya. Ada apa Mr. Williams?" jawab gadis itu sembari menghampiri meja dosennya. Dua gadis lainnya memberi tanda akan menunggu di luar dan diberi anggukan oleh Angie.

"Aku turut kecewa atas nilaimu yang merosot. Ada apa? Kau sakit? Atau ada hal lain yang mengganggumu?" tanya dosen tampan itu dengan serius.

"ti.. tidak. Tidak ada apa-apa. Semuanya baik-baik saja, Mr. Williams" elak Angie yang seketika teringat akan kekasihnya dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

"kau tahu, kau bisa menceritakannya padaku. Mungkin aku bisa membantumu atau minimal membuatmu lebih tenang" dosen itu menawarkan dan diakhiri dengan senyuman hangat.

"terimakasih atas tawaranmu, Mr. Williams. Kau sungguh baik sekali. Tapi maaf aku tidak bisa menerimanya. Aku harus pergi. Terimakasih."

Gadis itu melenggang melewati pintu sehingga hanya aroma tubuhnya yang tertinggal di ruangan itu. Dosen itu menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang selalu membuatnya mengeraskan rahang karena menahan sesuatu yang berkecamuk dalam tubuhnya.

"Angie Starr," pria berjambang halus itu memberi jeda lalu  menyenderkan punggungnya ke kepala kursi yang ia duduki  sambil memegangi dagunya dan menyunggingkan sebuah senyuman.

"aku tidak tahu seberapa lama lagi aku akan bersabar dan menunggu waktu yang tepat untuk mendapatkanmu. Tapi akan kupastikan secepatnya." Lanjutnya bermonolog lalu membereskan bukunya dan bersiap untuk kelas selanjutnya.

Di luar kelas sastra, kedua gadis tadi menunggu Angie dengan sabar lalu mengikuti Angie menuju area parkir dan meyetarakan langkah mereka. Salah satu dari mereka bernama Ashley melempar pertanyaan kepada Angie.

"apa semua baik-baik saja, Angie? Kau terlihat pucat" Menoleh, Angie membalas pertanyaan Ashley.

" benarkah? Ah, mungkin karena aku lupa memakai make up" ia mengakhiri pernyataannya dengan senyuman yang dipaksakan. Kedua temannya saling berpandangan menelisik sahabatnya yang terlihat aneh itu semenjak pertama kali melihat ia datang ke kelas dan mereka tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Angie.

"hey! Bagaimana jika kita ke kedai dan membeli cokelat panas? Tenang saja kali ini aku yang traktir" Kenzie membuka suaranya untuk memecah keheningan sekaligus membuat Angie agar merasa lebih baik setelah minum coklat. Karena dia tahu bahwa coklat dapat meredakan stress seseorang.

"ide bagus. Sudah lama kita tidak hangout bertiga lagi semenjak Angie mempunyai kekasih baru" Ahsley tertawa renyah sambil melihat ke arah Angie dan Kenzie bergantian lalu menyikut lengan Angie tanpa menghilangkan senyumannya. Sontak membuat Angie tersenyum. Kali ini senyumannya bukan senyuman paksaan lagi.

"baiklah baiklah. Maafkan aku karena jarang memiliki banyak waktu dengan kalian lagi. Dan ya, aku akan ikut minum cokelat panas"

Mereka masuk ke dalam mobil milik Kenzie lalu dengan cepat Kenzie melajukan mobilnya menuju Jalan Thielallee sehingga menimbulkan bunyi gemercit saat ban itu bergesekan dengan aspal.

Cokelat panas selalu benar-benar ampuh untuk membuat Angie lebih tenang dan melupakan kepenatannya sejenak dan membiarkan tubuh serta pikirannya rilex.

Cuaca diluar cukup dingin sehingga menambah nikmat untuk meminum minuman yang menghangatkan seperti saat ini. Ditambah interior kedai yang hampir semua dindingnya dari kayu cendana yang mahal sehingga menimbulkan wangi aromaterapi yang menguar saat melewati pintu masuk kedai. Tidak tanggung-tanggung, pemilik kedai ini membuat interior maupun ekteriornya terkesan mewah namun sangat nyaman, membuat pengunjung betah berlama-lama didalam kedai dan dapat menarik pengunjung lainnya untuk dimanjakan dengan dekorasi, aroma, dan menu yang disajikan.

Dirasa Angie sudah lebih tenang, Ashley mulai mengajukan pertanyaan pertamanya. "Apa semua ini ada hubungannya dengan Blake?" mata Ashley langsung menuju mata Angie. Untuk beberapa saat Angie menatap kosong mata Ashley lalu memutuskan kontak mata mereka dengan menoleh ke arah samping sambil membuang napas.

"ya," Angie memberi jeda, "dan aku sangat mengkhawatirkannya. Aku takut Ash. Sangat." Lirih Angie lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memegangi kepalanya yang terasa sedikit pening.

"apa yang dilakukan Blake, G?" kini Kenzie yang bertanya.

"Ia gila nikotin," ada jeda lagi yang cukup panjang disana. Tatapan Angie kembali kosong dan teringat akan kekasihnya.

"Ia juga pengedar sekarang. Ya Tuhan! Aku tidak ingin dia menjadi lebih brutal dan gila! Atau ditangkap atau yang lebih mengenaskannya lagi mati! Tidak tidak aku tidak ingin itu terjadi. Ash, Zie, tolong aku apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan kebiasaan Blake." Ucap Angie terisak-isak menghakhiri kalimatnya yang kini menjadi tontonan dan bisikan para pengunjung lain.
Sontak membuat Ashley maupun Mckenzie terhentak setelah mendengar penjelasan dari Angie. Karena mereka hanya tahu jika Blake adalah seorang pemakai.

"tenangkan dirimu, G" ucap Ash lalu mengusap punggung Angie yang kini tertunduk menahan tangisnya.

"kita akan membantumu mencari jalan keluarnya, kau tidak perlu takut. Kau harus tenang dan jaga kesehatanmu" lanjut Ashley.

Tangan Zie beralih mengusap lembut satu tangan Angie berusaha menenangkan sahabatnya itu.

"dan katakan kepada kami jika Blake melakukan sesuatu yang buruk padamu lagi"

"ya, benar. Katakan jika kau merasa tertekan pada Blake dan jangan pernah menyembunyikan sesuatu seperti ini lagi karena kami tidak ingin kau menderita, G." Sambung Ashley yang masih terus mengusap punggung Angie yang kini sudah berhenti menangis dan menatap kedua sahabatnya itu dengan haru.

"Dia juga masih bertindak berlebihan padaku," jeda beberapa detik. "lupakan. Terimaksih sudah ingin membantu dan maaf jika aku tidak pernah mengatakannya kepada kalian." Angie berkata sambil mengusap air mata di pipinya. Kedua sahabatnya tersenyum lalu menganggukkan kepala dua kali.

"ayo kita pulang. Dan beri sahabat kita yang satu ini istirahat" Zie berdiri lalu yang lain mengikuti.

Saat tiba di apartemen sederhanaya, Angie merebahkan tubuhnya ke kasur dan memejamkan matanya sejenak lalu beringsut ke kamar mandi menyalakan air hangat dan melepas semua helai pakaiannya ke lantai. Ia memejamkan mata saat aliran air yang hangat itu mengguyur kepala lalu turun perlahan hingga sampai ke kedua kakinya yang jenjang. Memberikan efek rileksasi pada tubuhnya.

Setelah selesai dengan kegiatannya di kamar mandi, Angie beralih merogoh lemari pakaiannya dan mencari baju tidur yang nyaman dikenakan. Ia berjalan ke ruang tamunya yang kecil dan duduk di sofa lalu menyalakan televisi dan mulai memilih-milih saluran. Sebelum ia mendengar suara ketukan di pintu, Angie mendengar sesuatu yang tidak asing lagi di dalam perutnya berupa tanda bahwa ia sedang lapar. Mengingat tadi siang ia hanya meminum segelas cokelat panas.

Angie beralih berdiri dan menuju pintu untuk membukakan pintu pada tamunya. Saat kunci dibuka dan gagang pintu diputar, air mata bergelinang memaksa keluar dari pelupuk matanya dan perempuan itu langsung menghambur dalam pelukan lelaki brengsek yang begitu dicintainya.

Blake Hamilton berdiri di pintu  membalas pelukan Angie sembari mencium puncak kepala kekasihnya dan menggendong Angie masuk kedalam  lalu menutup pintunya menggunakan satu kaki dan duduk di sofa yang tadi Angie duduki.

Kini posisi mereka berhadapan, Angie duduk dipangkuan Blake yang mengarahkan wajahnya tepat pada wajah Blake. Blake menyingkirkan anak rambut nakal yang menghalangi wajah cantik kekasihnya ke belakang telinganya dan menatap mata kekasihnya dalam-dalam lalu meraih dagu perempuan itu kemudian mengecupnya dalam-dalam, menyalurkan rasa rindu dan penyesalan yang dibalas Angie.
Refleks, Angie mengalihkan tangannya ke leher Blake sambil meremas rambut Blake pelan dan lelaki itu merapatkan tubuh mereka sambil terus bercumbu satu sama lain hingga mereka kehabisan nafas lalu keduanya melepaskan ciuman itu bersamaan dan menyatukan dahi mereka.

Angie mengusap rahang kokoh Blake dengan lembut, "aku tidak ingin kehilanganmu, Blake".

Passion (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang