Blake memejamkan matanya, merasakan sentuhan penuh kasih dari Angie. Ia melayangkan jari jemarinya menuju ceruk leher Angie. Memberikan usapan dengan ibu jarinya.
"Aku disini. Tenanglah, sayang."
Suara berat itu terdengar kembali, sontak membuat keduanya membuka mata dan saling menatap. Membuat Blake mengangkat kedua sudut bibirnya yang memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan Angie tidak dapat menahan tawanya."sebaiknya kita isi perutmu agar tidak meronta lagi. Aku akan menelpon restoran pesan antar." Blake merogoh sakunya guna mencari keberadaan ponselnya.
"dari mana saja kau setelah seminggu menghilang?! Ya Tuhan, kau tahu aku sangat khawatir padamu, Blake. Aku kira sesuatu yang buruk sedang terjadi. Dan ya, ini untukmu karena telah membuatku nyaris gila!", Angie melayangkan pukulan tepat pada perut Blake yang membuat pria itu meringis kesakitan.
"ow, hey! Ya. Ya. Maafkan aku. Maafkan aku telah membuatmu khawatir dan membuatmu seperti gelandangan yang kacau dan kelaparan" suara tawa keluar dari mulut Blake. Seketika membuat Angie mengerucutkan bibirnya dan memukul lengan Blake pelan.
Blake kemudian menekan beberapa digit angka pada ponsel yang ia genggam sedari tadi. Setelah itu ia mulai berbicara pada seseorang diseberang sana.
Kurang lebih dua puluh menit menunggu, akhirnya pesanan mereka tiba. Angie dengan lahap memakan pasta dan kentang gorengnya. Pria dihadapannya menatap ke arahnya lama tanpa diketahui sambil mengunyah makanannya perlahan.
"Aku mendapat lima belas ribu Euro dari penjualan dua minggu lalu. Kita bisa meninggalkan kota ini dan hidup bersama."
Angie terbelalak mendengar setiap kata yang dikeluarkan Blake dari mulutnya. Tidak, ia tidak bisa menerima ide gila yang dilontarkan Blake dengan seenaknya itu. Dalam benaknya, Angie murka dan melontarkan beberapa pertanyaan yang harus dia jawa sendiri "Apa dia tahu tentang apa yang dibicarakannya?! Apa dia sudah kehilangan akalnya?! Atau apakah dia sedang mabuk?! Dengan uang sebanyak itu dan pekerjaan beresikonya, tidak." Angie tidak akan pernah mau mereka terkena masalah lebih jauh lagi. Sudah cukup kejadian tempo hari lalu. Tapi kelihatannya lelaki ini masih belum jera.
"sayang .." lelaki itu menyelipkan anak rambut nakal yang menghalangi wajah cantik milik kekasihnya ke belakang telinganya. "kau tampak sedikit terkejut." lekaki itu melanjutkan.
Pernyataan itu lebih mirip pertanyaan di telinga Angie. Ia memasang raut wajah bingung dan seperti mengatakan "hell, yeah tentu saja." Angie memejamkan matanya mencoba menetralisir pikiran dan perasaannya. Bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi di urungkan kembali. Dan akhirnya, hanya kata inilah yang keluar setelah ia membuka matanya perlahan sambil menghembuskan nafas berat.
"Blake, aku.. aku tidak bisa."
Sekarang, Blake lah yang memasang raut wajah bingung seraya berkata, "mengapa? bukankah kita akan bebas melakukan apa yang kita inginkan?"
"ya, kau benar. Tapi, kita terlalu ambil resiko. Aku tidak mau pada akhirnya kau ditangkap dan akhirnya aku ditinggal sendirian dalam waktu yang lama. Blake, kumohon. sebaiknya kau tinggalkan pekerjaan ini. Aku tidak ingin sesuatu yang lebih buruk dari yang kemarin terjadi padamu, dan pada kita. Dan bagaimana dengan kuliahku? kuliahmu juga? dan teman-temanku. Aku tidak ingin mencari kampus baru." Ada rasa panas di sekitar pelupuk mata gadis itu dan seolah-olah pandangannya kabur karna terhalang cairan bening yang kini menumpuk disana.
Angie tidak tahu jika sedari tadi Blake membendung emosinya yang meronta ingin dikeluarkan. wajahnya merah padam, nafasnya cepat dan tubuhnya bergetar.
BRUGG!! meja kecil dihadapan mereka kini menjadi sasaran kemurkaan Blake, kini sasaran selanjutnya adalah gadis itu. Angie terlonjak dari tempatnya duduk. Ia gemetar ketakutan kemudian dengan cepat menundukkan kepalanya. "Oh, tidak. Sisi lainnya," batin Angie. Angie tahu bahwa ini tidak pernah berakhir dengan baik. Ia tidak pernah suka pada sisi kedua dari Blake. Pemarah, pemberontak, sangat egois, dan kasar. Tidak lebih dari beberapa menit lalu Angie baru saja senang melihat keberadaan Blake lagi. Tetapi kini, ia harus tersiksa lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Passion (18+)
RomantizmAngie Starr adalah seorang mahasiswi semester III berkebangsaan Amerika yang berkuliah di Berlin. Hidup sederhananya karena didikan sang Ayah. Namun, pendirian yang mati-matian ia pertahankan itu runtuh semenjak jauh dari orang tuanya dan mengenal s...