WAKTU terus berjalan dan sudah semestinya segala hal di dunia akan bergerak mengikutinya. Jimin sadar bahwa telah banyak hal yang berubah, termasuk adik kecilnya yang kini bertransformasi menjadi pemuda tampan, bahkan tingginya pun menandingi tinggi tubuh Jimin.
Tetapi Jimin menyayangkan beberapa hal, seperti: senyum Jungkook yang tak pernah lagi dipersembahkan untuknya atau tatapan penuh binar Jungkook yang berubah jadi pandangan sarat akan kebencian jika melihat dirinya. Jungkook seperti sosok asing yang tak Jimin kenal—atau barangkali Jimin yang telah mengasingkan diri, hingga tak mampu mengenali adik sendiri. Intinya sama, terasa asing.
Kira-kira sudah berapa lama Jimin tak berada dalam jarak sedekat ini dengan adiknya? Dua, tiga, atau empat tahun? Lama sekali, sepertinya.
Meski harus merasa sulit untuk sekadar bernapas akibat Jungkook yang terlalu erat mencengkram kerah bajunya, mencium aroma parfum khas sang adik sudah cukup mampu menggusur perasaan sesak dan diganti oleh ketenangan luar biasa yang sedikit mengobati rindu pada hati. Walau di titik akhir, sebaris kata yang meluncur bebas dari mulut Jungkook kembali menciptakan goresan baru di atas luka yang belum mengering.
"Diam, Jimin! Pembunuh sepertimu tentu saja tidak akan pernah bisa mengerti perasaan orang lain!"
Tidak. Aku bukan ....
"Tapi seharusnya kau tidak membentak Mama."
"Tutup mulutmu, Sialan!"
"Jungkook!"
Suara mama memecah ketegangan, sukses membuat kepalan tangan Jungkook stagnan di udara—tadinya bisa saja sudah melayang keras pada rahang Jimin dan menyisakan memar ungu kebiruan di sana. Jimin melirik mama dari ekor mata sipitnya, setelahnya ia memalingkan pandang dan memasang senyum miris.
Selalu saja seperti ini. Mama hanya sedang berusaha untuk tidak membiarkan Jungkook membuang tenaga sia-sia atau cuma tidak mau melihat Jungkook melukai tangan sebab memukul Jimin. Tidak, memang begitu. Jimin terluka pun, mama sudah tidak peduli. Benar sekali.
"Sudahlah. Aku muak dengan keluarga ini!"
Tubuh Jimin terhuyung, sedang Jungkook merampas jaket yang tersampir di kursi dan kedua tungkainya melaju menjauhi dua entitas yang masih bergeming di tempat.
Hening menginvasi udara selama beberapa saat, di sekon kelima belas, suara gesekan kursi kayu dan lantai marmer menggema. Mama duduk sembari memijat pelipis yang terasa pening. Jimin menarik kursi yang berada paling dekat dengan Mama, mengembuskan napas sejemang sebelum berkata hati-hati, "Mama baik-baik saja?"
"Iya, Mama baik. Tidak ada yang perlu kau cemaskan."
"Tetapi tadi Jungkook menaikkan suara saat berbicara padamu, Ma."
"Kau tahu, Jimin?" Si pemuda hanya menautkan kedua alis tanda tak mengerti saat pembicaraan dirasa malah melenceng dari jalur semestinya, namun di sekon selanjutnya ia mulai memahami kondisi. "Toko bunga kita sedang sepi pengunjung beberapa hari belakangan ini."
Jimin menganggukkan kepala. Semenjak ada toko bunga baru di seberang jalan—tepat di depan toko bunga keluarganya—penghasilan yang didapat jadi tidak seberapa. Terlalu banyak kerugian, sebab banyak bunga yang layu dan tak terjual. Padahal hanya itu satu-satunya usaha yang menopang kehidupan mereka bertiga selepas papa pergi ke pangkuan Tuhan.
"Padahal banyak sekali kebutuhan yang harus kita penuhi, bukan? Mama sudah memikirkannya. Ini terdengar buruk, tetapi mau bagaimana lagi, hanya ini satu-satunya jalan keluar, Jimin." Di sekon ini Jimin merasa napasnya seolah terlilit di paru-paru dan ia bisa saja mati mendadak karena tercekik karbon dioksida tatkala mama lanjut berkata, "Mama akan menghentikan sementara pendidikan salah satu di antara kalian. Tetapi kau lihat sendiri kan adikmu tidak menyetujuinya."
Ah, Jimin mengerti. Penyampaiannya halus sekali.
"Tak apa, Ma. Jadi Jimin yang harus mengalah, ya." Menyematkan segaris senyum yang tak sampai menyentuh mata. "Jimin akan menundanya sampai tahun depan atau barangkali akan masuk perguruan tinggi bersama Jungkook nanti."
Mama mendadak memasang wajah bersalah. "Tidak, Jimin. Mama tidak bermaksud seperti itu."
"Jimin mengerti, Ma. Hanya menunda saja kan. Aku punya kesempatan di lain waktu. Setelah ujian akhir, aku akan langsung mencari kerja."
"Surat itu hanya tinggal diberi tanda tangan. Mimpimu di sana—"
Jimin keburu menyela dengan napas yang tersangkut di tenggorokan, "Jimin tak apa, Ma, serius."
Serius, Ma. Rasanya sakit sekali.
Alih-alih membuat keadaan terasa lebih baik, Mama justru menampilkan senyum lega secara terang-terangan—sontak saja itu malah melukai perasaan Jimin. Menusuknya terlalu dalam dengan belati tak kasat mata. Hanya sampai di sana saja usaha mama?
"Syukurlah kalau Jimin mau mengalah."
Kakak memang harus selalu mengalah pada adiknya. Mama sering berujar seperti ini dulu. Haha. Tidak, tidak. Semuanya memang hanya berpusat pada Jungkook, mama hanya tidak ingin menghancurkan anak bungsunya. Jimin dahulu selalu berpikir seperti itu. Kini dia semakin mengerti, sebab Jungkook adalah cetakan sempurna dari papa, sosok yang akan membuat mama merasa jika papa masih hidup—masih bernapas di sekitar mereka. Jadi, mama pasti akan berpikir berulang-ulang bila ingin menyakiti Jungkook.
Jimin terlalu hafal. Dia pun sudah sangat mengerti. Tetapi ada sebagian dari dirinya yang menolak untuk memahami, pertanyaan seperti: Kenapa aku? Kenapa harus aku? selalu terputar di pikiran.
Sejemang merasa gamang tatkala seabrek memoar berusaha merangsek masuk bagai ombak besar yang menghantam karang pikiran, hingga melahirkan kembali sejumput perasaan tak nyaman yang memenuhi benak. Lantas sebelum itu benar-benar datang, Jimin bangkit—berjalan tergesa meninggalkan mama yang termenung menatap punggung anak sulungnya yang mulai merentangkan jarak.
Namun sebelum melewati pintu utama Jimin sempat berteriak, "A-aku cari angin dulu, Ma!"
"Jimin, kau mau ke mana, Nak?! Habiskan sarapanmu dulu."
Pemuda itu tidak menjawab, ia justru meraih sepeda, mengayuh benda tersebut secepat yang ia mampu. Menuju tempat di mana ia akan memperoleh ketenangannya kembali, menjauhi rumah yang sudah tak terasa hangat, dan pergi meninggalkan mama yang selalu bersikap palsu padanya dan sejenak melepas bayangan sang adik yang sudah tak mau menganggapnya sebagai kakak.
Terkadang Jimin sudah merasa lelah, namun ia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Untuk sekarang rasa-rasanya sangat menyakitkan. Tubuhnya bergetar menahan tangis—namun kedua matanya berkhianat saat aliran hangat membasahi pipi—bersamaan dengan kaleidoskop suram yang terputar.
Darah Papa.
Tangisan Mama.
Tatapan sinis Jungkook beserta rentetan makian yang lolos dari bibirnya.
Kobaran api yang menyala-nyala.
"Tidak! Hentikan semuanya!"
Tidak memedulikan tatapan aneh yang dilayangkan orang lain padanya sepanjang perjalanan, Jimin hanya terus berusaha menggoes hingga sepedanya mengantar sampai tujuan. Butuh waktu beberapa menit untuk sampai, kemudian ia berhenti mengayuh ketika destinasi telah terpampang di hadapan. Tangannya sibuk mengusap kasar likuid yang masih mengalir membasahi muka. Bahkan Jimin tidak lagi peduli pada kalimat: Laki-laki itu tidak boleh cengeng. Harus kuat apapun keadaannya.
Sial. Sial. Persetan!
Jimin tidak terlahir sekuat itu. Dengan tangan yang masih menciptakan gentaran, ia berusaha merogoh saku celana—mencari ponselnya guna menghubungi seseorang. Seorang sahabat yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri. Tempat ia mengeluh dan mengadu, sesekali. Wadah yang ia sebut sebagai rumah ternyaman untuk berlindung tatkala banyak pikiran negatif yang berlarian di dalam kepala. Menjilati bibir sejenak seraya menunggu panggilannya terjawab. Mengetukkan jari gelisah pada setang sepeda, lalu senyum terpatri di bibir kala suara serak khas bangun tidur menyapa rungu.
"Halo, Jimin. Ada apa?"
Jimin melempar atensi pada gulungan ombak yang menyapu pesisir pantai sembari berusaha meraih suara yang sempat tertahan. "Temukan aku, Taehyung." []
KAMU SEDANG MEMBACA
Phoebus
Fanfiction[TAMAT | SUDAH DIBUKUKAN] phoebus; sun. cahaya yang ia miliki kian meredup bersama sekon demi sekon yang ditempuh olehnya diiringi dengan rasa sakit yang terus bergelantung tanpa tahu diri. pada akhirnya jimin justru berpijak di atas keputusasaan, d...