Chapter 09: Brother

2.1K 359 78
                                    

SAAT itu, Hoseok sudah beranjak remaja, telah mengerti dikit demi sedikit pemikiran para orang dewasa yang terkadang jauh lebih kekanakan dari pada anak-anak yang belum merasakan pubertas.

Uang di atas segalanya. Apa-apa tentang benda bernilai itu. Katanya kau tidak bisa hidup tanpa uang; kau tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan oksigen yang dibagikan secara percuma oleh Tuhan. Boleh jadi memang seperti itu, tapi agaknya terlalu berlebihan jika harus putus berharap hanya karena tidak memiliki benda yang bernama uang itu, bukan?

Menjadikan uang sebagai dewa, padahal uang adalah benda yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.

Tetapi mau bagaimana lagi, manusia terkadang buta; hilang arah karena masalah yang sebenarnya sepele meski di satu sisi persoalan keuangan memang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Bahkan ayah dan ibu mempermasalahkan soal keuangan; finansial mereka yang jatuh; kehidupan keluarga yang jadi serba kekurangan karena tidak memiliki sepeser pun pundi-pundi.

Hoseok tadinya ingin mengumandangkan kabar gembira di rumah, menyombongkan diri sebab ia berhasil menjadi juara dalam perlombaan menari, membawa sebuah medali dan segepok uang yang barangkali bisa mengangkat sedikit beban yang menghimpit ayah dan ibu. Tetapi kebahagiaan itu seolah menguap begitu saja. Tungkainya terasa seperti terpantek di depan kamar ayah dan ibu yang pintunya setengah terbuka. Di dalam sana ada dua tubuh yang terkapar tak bernyawa dengan mulut yang sama-sama berbusa dan juga sebotol racun hewan pengerat yang sisa dari isinya tumpah membasahi lantai. Memoarnya kembali terputar pada sebaris ucapan ayah di tempo hari.

"Lebih baik kita mati bersama, dibanding harus menderita sepanjang hidup."

Hoseok jadi bingung, dirinya itu harus menyesal atau merasa senang?

Menyesal karena tidak ikut mati bersama atau merasa senang sebab lolos dari kematian yang konyol. Tetapi yang pasti, dirinya jadi merasa melompong. Bahkan tetap begitu kosong tatkala seseorang datang memeluknya sambil terisak dengan menyelipkan gumaman maaf berulang kali. Hoseok tidak menyahut, dia malah memusatkan atensi pada dua gundukan tanah yang masih basah, namun pikirannya berkelana mencari jawab untuk permohonan maaf yang dilancarkan oleh orang yang merengkuhnya. Tetapi di otaknya terus terputar kalimat, kenapa kakak baru ingat pulang ketika ayah dan ibu sudah memilih untuk berpulang.

Setelahnya Hoseok hanya tinggal berdua dengan kakaknya—Jang Hanbin. Menempati rumah yang terasa beku sebab Hoseok yang bersikap dingin dan acuh tak acuh pada Hanbin. Alasan kenapa dia bersikap demikian hanya karena Hoseok terlalu bingung untuk memulai kehidupan yang hanya didampingi oleh seseorang yang selama ini tak pernah ada di sisinya.

Waktu memang bisa mengubah segalanya, bukan? Sekon demi sekon yang sudah terlampaui agaknya mampu membuat ikatan yang semula renggang lambat laun kembali tersambung. Hoseok mulai terbiasa dengan presensi kakaknya dan menjadikan sepiring nasi goreng buatan kakaknya sebagai makanan favorit. Menjadikan senyum lebar kakaknya sebagai bentuk semangat. Hoseok menjadikan kakaknya sebagai tempat terhangat untuk pulang.

Tetapi kehangatan itu perlahan berubah menjadi panas ... apinya besar sekali. Hoseok tak ingat semuanya—namun yang ia tahu, dirinya melihat sang kakak yang tengah terbatuk-batuk di dapur seraya mencari celah untuk keluar dari rumah yang tengah dijajah api. Ia perlahan mencoba mengikis jarak guna membantu kakaknya, namun balok kayu sukses menghantam tengkorak dan membuat dirinya hilang kesadaran. Beruntungnya ia selamat, sempat ditolong orang yang tengah berusaha memadamkan api, tetapi tidak dengan kakaknya. Jiwa Hanbin lebur bersama rumah yang kini sudah runtuh sebab fondasinya yang dimakan api. Lagi-lagi membuat Hoseok kembali tenggelam dalam rasa kehilangan.

Ternyata benar, alasan mengapa penyesalan selalu di tempatkan di akhir supaya manusia merasa terpukul dan bersalah. Begitu agar kita bisa menghargai sesuatu yang ada; tidak mengabaikan presensi; tidak terus larut dalam perasaan ganjil yang membuat diri menjadi manusia egois.

PhoebusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang