3

3.6K 252 1
                                    

"Oh..." pikir Emily ketika di hadapan matanya, bulu mata pria itu terasa dekat. Emily merasakan bibirnya panas dan dikulum dengan lembut. Mata Emily terkatup, tidak mampu menahan diri untuk menikmati tekanan-tekanan kecil di bibirnya.

Ketika Emily terkesiap sesaat, pria itu memanfaatkan momen sekejap untuk menyelipkan lidahnya dan menyesap manisnya bibir Emily. Emily terkejut mendengar suara rintihan yang tidak tertahan dari tenggorokkannya, dan pria itu balas mengerang sebelum menciumnya lebih dalam.

Emily tidak pernah dicium pria, sekali pun. Ia selalu memimpikan bagaimana rasanya, menduga-duga suatu hari ia akan mengalaminya sendiri, dan merasakan bagaimana indahnya dicium oleh seseorang yang berpengalaman, dan mungkin... mencintainya. Lamaran dari Earl of Arundel mengenyahkan dan merenggut semua khayalan romantis Emily, membuat gadis itu memaksakan diri untuk melupakannya dan menerima nasibnya.

Namun, malam ini... segalanya berubah.

Emily dicium oleh seorang pria.

Karena ini pertama kalinya, Emily tidak tahu apakah pria penciumnya ahli atau tidak, berpengalaman atau tidak, tetapi... ia merasakan semua yang dijelaskan secara rinci dalam novel yang dipinjamkan Penelope kepadanya.

Perutnya melilit seperti dipenuhi kupu-kupu yang berterbangan kesana-kemari, nafasnya terasa sesak, ia tidak tahu caranya berpikir jernih, dan... tekanan-tekanan yang diberikan oleh bibir pria ini... menyalakan percikan-percikan di sekujur tubuh Emily. Membuat tengkuknya, pipinya, dan bibirnya terasa panas. Demikian juga bagian tubuh lainnya yang berada dalam dekapan pria itu.

Kesadaran Emily mulai kembali sepenuhnya ketika tangan pria itu merayap naik ke arah korsetnya, lalu mencengkeram gundukan lembut payudaranya dan bergerak meremasnya. Emily mendorong pria itu mundur, nafasnya terengah-engah.

"Ada apa manis? Sebelumnya kau agaknya cukup menikmati ciumanku..."

Rona merah merebak di pipi Emily. "Aku hanya... tidak tahu bagaimana harus... membalasnya," ujar Emily malu, namun ia masih sempat mengangkat dagunya angkuh, menolak mengaku kalah. "Itu ciuman pertamaku, aku berharap kau bisa mengendalikan tanganmu, Sir..."

Senyum melekuk di pipi pria itu, membuat Emily menyadari ada lekukan lesung pipi menawan di kedua sisi wajahnya. "Kurasa aku beruntung..." pria itu meletakkan satu tangannya di depan dada. "Aku merasa bersyukur menjadi pria yang mendapatkan ciuman pertamamu. Maafkan tanganku, tampaknya dia tergoda oleh kecantikanmu dan memutuskan untuk bergerak semaunya."

Emily tersenyum. "Itu alasan paling konyol yang pernah kudengar..."

"Tetapi bisa kulihat kau menyukai alasan konyolku..." balas pria itu dengan senyuman nakalnya. "Jadi, apakah aku dimaafkan? Aku bisa menghadiahkan satu ciuman lagi kalau kau menginginkannya..."

Emily tersenyum, "Mungkin lain kali... tidak malam ini..."

Mata pria itu berkilat berbahaya, membuat Emily sejenak mempertimbangkan apakah ada hal yang telah salah ia ucapkan. "Itu, My Lady, membuatku tidak bisa menahan diri untuk mengajukan pertanyaan berikutnya..." senyum pria itu. "Kapan aku bisa melihatmu lagi?"

"Apa?"

Pria itu mengedikkan bahu, seolah pertanyaannya sudah sangat jelas. Emily terkesima ketika pria itu menyentuh bibir Emily dengan ibu jarinya dan mengusapnya lembut, sembari dengan santai dan kasual ia berucap, "Jadi aku bisa tahu kapan aku bisa menghadiahkan satu ciuman lagi di bibirmu, My Lady..."

-OOO-

Baroness Lampson memandang Emily kagum. Ia tidak habis pikir bagaimana cara gadis ini menyulap gaun sederhananya yang berpita biru di pinggang menjadi berlipit dramatis dan terlihat lebih modern.

Daughter of The Duke - The Daughter Series #1Where stories live. Discover now