Jika aku menulis ini, itu artinya aku berada dalam kesendirian, titik.
Kini aku berada di selatan pulau, tepatnya di tepi pantai, lebih tepatnya di atas sebuah tempat duduk apa adanya yang kotor namun nyaman. Mengenakan jaket, aku duduk sendirian menyapa dinginnya malam, terkadang memejamkan mata, mendengarkan suara ombak, ditemani oleh segelas lemon tea hangat.
Sepi, melamun dalam gelap. "Looking at blank!" Batinku teriak.
Beberapa saat kemudian....
Bruk! "Hei! Ngapain sendirian di sini? Kamu ngelamun ya?" Karmelia menepuk pundakku, menyadarkanku dari nyamannya lamunan.
"Apaan?" Tanyaku, hambar.
"Kenapa, Kak? Kok sendirian aja malam-malam gini? Ngga takut setan?" Karmelia penasaran.
"Oh iya, nunggu pagi, hehe." Jawabku seadanya. "Setan? sorry, mereka takut malaikat." Lanjutku membanggakan diri.
"Malaikat? Iya iyaaa..., malaikat malam." Hardik Karmelia. "Ini kan masih jam delapan malam, Kak, masak iya mau nunggu pagi jam segini?"
"Pagi bisa datang kapan saja, ngga perlu hitungan waktu di jam tanganmu." Jawabku. Aku tidak sedang memaksudkan pagi dengan kemunculan Matahari. Bagiku saat ini, pagi adalah sesuatu yang menghangatkan namun juga menyegarkan. Dalam hatiku, andai pagi di sini.
Karmelia masih belum mengerti apa yang ku maksud dengan menunggu pagi, dia kemudian memutari bangku dan duduk di sebelahku. "Boleh aku duduk di sini?"
"Boleh." Jawabku.
"Pagi itu seseorang, ya?" Tanya Karmelia. "Dari tadi aku perhatiin kamu ngelamun aja?" Karmelia memiringkan kepalanya, menatap wajahku yang seketika terlihat seperti patung.
Memang, tatapanku pun kosong. Pemandangan dengan terangnya supermoon yang membuat laut berkilauan malam ini, bagiku hanyalah papan tulis hitam yang masih bersih dari coretan kapur. Benar-benar hitam pekat. Aku tak lagi memikirkan dan merasakan indahnya laut malam itu. Laut dan pemandangannya hanyalah papan tulis kosong, atau canvas kosong sehingga tak ada satu pun coretan cat yang dapat memalingkan perhatianku dari lukisan yang sebenarnya. Ya, lukisan sebenarnya ada di pikiranku. Ragaku untuk sesaat diam seperti patung, mataku menatap kosong. Yang tersisa adalah pikiranku yang bergerak liar ke sana kemari mempertanyakan pagi.
Aku sebenarnya hanya ingin tahu apa yang dirasakan pagi. Apakah pagi baik-baik saja? Keadaannya yang tiba-tiba tidak dapat dihubungi membuat perjalananku kali ini kacau. Aku harus pecah fokus untuk urusan pekerjaanku dan juga untuk pagi.
Namun, bagaimana pun keadaannya, aku tahu persis pagi pun mengkhawatirkanku seperti aku mengkhawatirkannya. Aku tahu persis pagi memikirkanku seperti aku memikirkannya. Dan itu cukup membuatku tenang.
"Kak?" Karmelia memanggilku, kali ini telapak tangannya diayun-ayunkan di depan mukaku berharap mataku menyadari keberadaannya.
"Eh, iya, maaf. Duh sorry ngelamun" Aku mengambil alih penuh diriku. "Lia, kamu ngga pake jaket? Dingin tau. Ambil jaket sana. Pakai. Sekalian bawa makanan ke sini. Nanti aku ceritain sesuatu."
"Cerita apa, kak?" Karmelia penasaran, namun aku seolah tak mendengarkan pertanyaannya. Aku benar-benar terfokus pada lukisan liar yang ada di pikiranku. "Hmmm... oke, Kak, aku ke villa dulu ya." Karmelia beranjak pergi meninggalkanku. Ku toleh ke belakang memperhatikan ia berjalan sendirian ke arah villa yang jaraknya kurang lebih 50 an meter dari tempatku duduk. Aku memperhatikan langkahnya, sampai kemudian ia masuk ke villa. Aku segera mengambil gawaiku, membuka whatsapp dan menulis status,
"....".
Begitulah, hanya empat titik. Terlihat kurangkerjaan, namun bagiku, itu bermakna. Itu bukan status Whatsapp biasa. Mungkin orang-orang di kontak Whatsapp ku menganggap itu hanyalah empat titik biasa. Tapi bukan itu. Aku merasakan ada luapan yang telah aku tuangkan ke dalam empat titik tersebut. kini, bebanku lebih ringan. Beban? Beban rindu? Entahlah....
Aku menunggu Karmelia datang....
-Bersambung ke Part 2-
YOU ARE READING
Titik Empat
RandomMemikirkan apa yang ku rasakan dan merasakan apa yang ku pikirkan...