Sepasang Kursi Tua

101 11 7
                                    

Kret... Kret... Kret

Bunyi kursi itu. Rayap-rayap mulai rakus mencumbui. Warna coklatnya mulai pudar. Tampak rapuh berjungkat-jungkit di sudut kamar. Temaram lampu membuat suram. Ah, kasihan sekali dilihat bagai termakan usia. Sepasang kursi tua yang tertata rapi di kamar menghadap jendela.

Dua orang si empunya masuk dari luar kamar. Menduduki kursi yang tampak renta. Berbincang, tertawa menunjukan garis-garis halus di seluruh wajah. Tangan-tangan dengan kulit mengkerut mencoba menggoyangkan kursi renta. Dan masih sibuk dengan canda berdua. Jika dilihat seperti romantisme remaja penuh cinta.

Katanya dulu mereka dijodohkan. Si perempuan berumur dua puluh tahun. Si lelaki berumur dua lima tahun. Sudah tiga satu tahun merajut hidup bersama. Rambut yang dulu hitam, kini berubah warna menjadi putih. Tubuh mereka yang kokoh mulai ringkih. Mata yang jernih mulai rabun. Kehidupan melapukan mereka.

Dari mereka aku tau, kau dilahirkan penuh cinta. Meski dari sebuah perjodohan tetap saja kau ada karena kasih dan sayang. Kau lahir hari Senin, dua belas Shafar 1411. Malam, malam menjelang subuh kau dilahirkan. Air ketuban ibumu pecah lebih dulu. Ibumu meringis tertahan menahan sakit. Ayahmu yang terlelap terjaga dengan tergesa. Mereka pergi ke bidan desa dengan tertatih ayahmu memapah ibumu. Sayup-sayup ibumu merintih kesakitan. Oh, aku tidak mampu membayangkannya.

Jangan kau bayangkan, mereka pergi dengan kendaraan cepat. Ayahmu lah yang memapah ibumu berjalan, sesekali menggendong. Tertatih mereka dengan pakaian rumah lusuh menemui bidan desa. Jangan kau bayangkan juga, jalan yang dilalui dekat. Cukup jauh mereka tertatih. Sampai waktu menjelang subuh, barulah kau lahir.

Untaian kata mereka bercerita padaku, kau kecil begitu nakal. Baru terpejam mata mereka di gulitanya malam, kau merengek. Ibumu berjaga menunggimu terlelap. Sesekali didendangkan ibumu senandung syahdu. Hampir tiap hari kau begitu. Ibumu dan ayahmu bergiliran menungguimu terlelap di malam gulita.

Kau kecil begitu lincah. Dari ibumu, aku tahu kau suka berlari. Jangan lupakan bekas luka di lutut kirimu, itu tanda kau kecil begitu agresif kata ibumu. Tiap hari ada saja ulahmu. Merecoki pekerjaan ayahmu, begitu kau suka. Kau suka membongkar-bongkar peralatan ayahmu. Lalu kau akan mengobrak-abriknya. Jika begitu kata ibumu, ayahmu akan menggendongmu di pundaknya.

Masihkah kau ingat? Saat usiamu lima, mereka mengajakmu ke taman bermain. Kau hobi merengek. Meminta ini dan itu. Kata ibumu tertawa padaku, mereka menahan lapar agar kau dapat mainan yang kau suka dan semangkuk bakso yang kau mau. Meski begitu, mereka begitu bahagia melihatmu. Ah, mungkin kau tak ingat lagi.

Ayahmu bercerita padaku, kau suka sekali bakso. Mungkin masih kau suka kini. Ayahmu sepulang berdagang akan menyisihkan uang untung dari berjualan setiap harinya agar kau bisa memakan makanan kesukaanmu tiap seminggu sekali. Jangan kau pikir, harga bakso begitu murah. Bakso makanan sedikit mewah bagi mereka. Kau akan berteriak girang jika sudah melihat ayahmu menenteng kantong kresek hitam di hari yang kau tunggu.

Ibumu tersenyum padaku. Kata ibumu, kau pintar. Ibumu bangga padamu. Kau ingat tidak? Saat penerimaan hasil kelulusan sekolah menengah pertamamu? Kau mendapat lima besar nilai tertinggi di sekolahmu. Ibumu bercerita menangis haru dengan gemetar menjabat tangan guru. Saat penerimaan hadiah, ibumu tersenyum bangga dan ayahmu bertepuk tangan dengan keras. Mereka sangat bangga padamu.

Kau merengek saat pendaftaran masuk sekolah menengah atasmu. Kata ibumu, kau ingin masuk di sekolah yang menjadi incaranmu yang mahal biaya pendidikan. Ibumu berkata sambil tersenyum padaku. "Tidak apa-apa, anakku pintar. Aku masih bisa kerja serabutan."

Ayahmu menyahuti dengan gurau kepadaku. "Benar, aku masih sanggup berkeliling berdagang jam dan servis jam. Kulitku belum hitam-hitam betul."

Aku tersenyum mendengar mereka berkata demikian. Gurat kasih dan sayang tampak dari wajah keriput mereka. Ibumu ingin kau jadi orang besar. Mereka ingin kau tidak seperti mereka. Kau pintar, kau harus jadi orang besar. Mimpimu harus terwujud, begitu mereka berkata kepadaku.

Tentu kau tidak tau, betapa berat mereka melepasmu saat kau ingin melanjutkan pendidikanmu untuk mengejar cita-citamu? Kata ibumu, sedikit tidak rela melepasmu belajar ke tempat yang jauh di luar pulau. Tapi ibumu masih ingin kau jadi orang besar. Dengan berat hati ibumu melepasmu. Doa tak lepas terucap dari hatinya mengantar kepergianmu ke luar pintu.

Ayahmu becerita padaku, mengantarmu untuk pergi menggapai cita-citamu bukan hal yang mudah. Kau perempuan. Ayahmu berwalang hati melepasmu. Kata ayahmu, air mata jatuh ke pipi saat kau tidak nampak lagi. Diiringi kau dengan do'a.

Dengan pujian, begitu kata ibumu kau lulus sekolah tinggimu. Mereka pergi dengan berhutang ke sana-sini untuk menatapmu memakai baju hitam dengan toga kebesaran. Ibumu berujar, kau benar-benar kebanggan mereka. Kau harapan baru untuk mereka. Setitik air mata disudut mata ibumu saat berucap padaku.

Ayahmu tidak melepas senyum bercerita padaku. Kau, anaknya. Anak kebanggaannya.

Kau dewasa masih suka merajuk. Kau ingin meniti karirmu di kota. Kau ingin mewujudkan cita-citamu. Kata ibumu, saat kau diterima bekerja di perusahaan besar, ibumu berpuasa tiga hari menunaikan nazar. Tidak putus doa pengharapan untukmu.

Dari mereka aku tahu, ayahmu berhutang untuk membeli ponsel usang agar mendengar kabarmu.
Di depanku, dengan tangan gemetar dan mata mulai senja. Ibumu menghubungimu.

Aku dengar kata ibumu. "Nak, kapan kau pulang? Kami rindu."

"Aku sibuk, Bu. Nanti kucari waktu," katamu.

"Baiklah kalau begitu. Kau jangan lupa makan. Jaga kesehatan dan jangan lupa berdoa pada Tuhan." Ibumu berkata di depanku.

"Iya. Sudah ya bu. Aku sibuk." Itu yang ku dengar jawabmu.

Ibumu tersenyum maklum menatap ponsel usang. Ibumu berkata padaku, kau sudah sukses. Kau sibuk, oleh karena itu kau jarang pulang. Ibumu berkata padaku. Ibumu tetap bangga kepadamu. Kau anak kebanggan ibumu.

Di lain hari tangan ringkih ayahmu memencet tombol ponsel usang menghubungimu di depanku. Terdengar bunyi operator olehku hingga tiga kali. Baru yang ke-empat, kau angkat.

"Nak, kau sehat? Kau sudah makan? K__," ujar Ayahmu dengan terbatuk batuk.

"Pak, aku sibuk. Aku ada rapat. Nanti kuhubungi," potongmu cepat.

"Baiklah. Bapak tunggu," ujar Ayahmu lemah.

Di depanku, ayahmu menunggu panggilan. Kau tidak kunjung menghubungi. Ayahmu tersenyum. Ayahmu berkata padaku, kau sudah sukses. Kau sibuk sekarang. Ayahmu bangga padamu. Kau anak kebanggaan ayahmu. Sepasang tua renta bangga padamu. Senyum tulus bahagia mereka bercerita padaku.

*

Kau lihat itu? Sepasang kursi tua, berjungkat-jungkit tertiup angin. Kursi tua yang makin tua. Sepasang kursi tua yang kesepian ditinggal sang empunya. Sepasang kursi tua tampak tidak terawat. Alas pijakan kursi goyang tua itu mulai lapuk termakan usia. Mungkin dia rindu sang empunya. Sang empunya yang dengan setia biasa menghabiskan waktu bersamanya.

Kau tahu? Dari ayah dan ibumu aku belajar bahwa rumah adalah sebaik-baiknya tempat kembali. Rumah sebaik-baiknya tempat untuk pulang. Dan orangtua adalah sebaik-baiknya tujuan pulang. Sekarang kau liat kursi itu kosong. Tampak dingin. Sepasang kursi tua yang malang.

Baiklah kita sudahi bahasan ini. Orang-orang pengajian empat puluh dan tujuh hari orang tuamu sudah pulang. Aku pun ingin kembali ke rumah. Pesanku, jangan kau putus kirim do'a.

***
Selesai

Coretan untuk mereka, untuk sebuah kata maaf... Dari anak yang sok sibuk,




Kepada, Kamu ... [[CERPEN]]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang